Chapter 9
Ruangan hening itu seolah mendukung situasi tegang yang sedang terjadi. Dua orang di dalamnya masih duduk berhadapan dengan pikiran masing-masing. Tidak melakukan apapun, hanya sibuk bergelut dengan batin mereka sendiri.
Naya meremas bantal sofa dengan gemas. Sudah 15 menit dia duduk di ruangan Rezal setelah pria itu mengatakan hal yang membuatnya terkejut. Naya tidak melakukan apapun di sana. Dia hanya menurut saat Rezal memintanya untuk duduk selagi pria itu memeriksa hasil rapat yang dia catat.
"Pak?" panggil Naya saat dia sudah tidak kuat dengan keheningan. Jika terus diam seperti ini lebih baik dia keluar. Jujur saja, melihat Rezal dengan wajah datarnya membuatnya takut. Naya malah kembali teringat dengan pertemuan awal mereka di restoran dulu.
"Saya nggak minta kamu bicara." Rezal menjawab acuh.
"Kok Pak Rezal tiba-tiba marah?" Naya mengerutkan dahinya tidak suka.
Rezal menghela nafas lelah dan melempar buku catatan yang dia baca ke atas meja. Naya sempat terkejut melihat itu, dia merasa pria itu tidak menghargai hasil kerjanya.
"Maaf, saya cuma nggak suka liat cewek yang terlalu ramah sama semua cowok."
Naya mencibir, "Bapak nyindir saya?"
Rezal mengangkat kedua alisnya, "Kamu tersindir?"
Lagi-lagi Naya mengumpat dalam hati. Sebenarnya ada apa dengan pria di hadapannya ini?
"Kalo nggak ada apa-apa mending saya keluar, Pak." Naya bergumam.
"Ya udah, kamu boleh keluar."
Naya dengan cepat meraih buku catatannya dan beranjak pergi. Sebelum benar-benar keluar, dia kembali menatap Rezal.
"Pak?" panggilnya. Rezal hanya bergumam tanpa menatap Naya. Pria itu terlihat menyibukkkan diri dengan komputer di depannya, "Cemburunya Bapak nggak keren." Lanjutnya yang kali ini membuat Rezal mendongak terkejut.
Cemburu?
***
Rezal keluar dari bank saat sudah selesai dengan urusannya. Ketika akan masuk ke dalam mobil, suara panggilan yang lembut membuat langkahnya terhenti. Dia berbalik dan mendapati wanita yang tidak asing lagi untuknya. Wanita yang sudah bertahun-tahun menghilang dari hidupnya.
"Kamu di sini, Zal?" tanya Luna, teman kuliahnya dulu.
Rezal sempat terkejut melihat kehadiran wanita itu. Bagaimana tidak jika yang dia tahu, Luna tinggal di Kalimantan bersama suaminya. Namun lihat sekarang, wanita itu berada di depannya saat ini.
"Kamu di sini, Lun?" tanya Rezal tidak bisa menahan rasa penasarannya.
"Iya, aku pindah lagi ke Jakarta."
Jantung Rezal seperti di remas mendengar itu. Jujur saja, hubungannya dengan Luna tidak begitu baik setelah masa lalu yang mereka lalui. Bisa dibilang, wanita itu yang membuat Rezal betah untuk melajang sampai sekarang. Bukan berarti dia tidak bisa move-on, Rezal yakin jika rasa itu sudah lama hilang dari hatinya. Bahkan saat mengingat masa lalu itu hatinya kembali sakit.
"Sama suami?" tanya Rezal basa-basi. Jujur saja dia ingin menyudahi percakapan ini.
Luna tersenyum dan mengangguk. Sedetik Rezal sempat terpaku melihat senyum yang masih sama seperti dulu, tapi senyum itu bukan miliknya lagi dan dia juga tidak menginginkannya lagi.
"Udah lama aku nggak denger kabar kamu. Padahal aku nungguin undangan kamu di Kalimantan."
Rezal tersenyum kecut dan menunjukkan tangan kirinya, tepat pada jari manisnya. "Belum nikah."
Lagi-lagi Luna tersenyum. Pantas saja jika wanita itu menjadi primadona kampus dulu. Luna begitu anggun dan menarik. Setidaknya itu yang Rezal lihat darinya dulu. Berbeda dengan sekarang.
"Kalau gitu aku duluan ya." Tanpa basa-basi Rezal masuk ke dalam mobilnya dan pergi.
Mendengar jika Luna kembali ke Jakarta membuat hatinya sedikit panas. Apa dia akan kembali terbayang-bayang akan masa lalu?
***
Rezal kembali ke kantor saat jam makan siang sudah hampir habis. Dia melihat para karyawannya sudah duduk dengan tenang di mejanya masing-masing, tapi tidak dengan Raga. Pria itu terlihat memainkan gitarnya dan bernyanyi pelan. Rezal tidak mempersalahkannya karena Raga bekerja dengan baik selama ini. Pria itu memang hobi menyanyi, tak heran jika selalu ada gitar di manapun dia berada. Rezal tidak melarang, dia akan memberikan kebebasan pada karyawannya selama itu tidak mengganggu pekerjaan dan melanggar protokol perusahaan.
"Anak magang ke mana?" tanya Rezal menarik kursi untuk mendekat ke arah Raga.
"Cieee, yang nyariin Naya."
Rezal mendengkus dan mengambil koran di atas meja, mencoba mencari kesibukan sambil menunggu jam kerja yang akan kembali dimulai.
"Ke toilet kayanya, Pak." Arman menjawab, masih fokus pada game di ponselnya.
"Pak, duet yuk. Live Instagram." Raga mulai membuka ponselnya untuk memulai live. Kapan lagi dia bisa mendapat kesempatan untuk panjat sosial dengan managernya yang banyak penggemarnya ini.
"Kamu yang nyanyi, saya yang main gitar." Rezal meraih gitar Raga dan mulai mencocokkan nada.
Matanya beralih pada pintu saat Naya muncul dengan wajah pucatnya. Mata mereka bertemu dan saling bertatapan selama beberapa detik. Naya yang melihat Rezal berada di mejanya hanya bisa mengumpat dan mengalihkan pandangannya. Jujur saja, dia masih kesal dengan tingkah pria itu tadi pagi. Hanya kesal, karena Naya yakin jika besok dia akan kembali terpesona pada Rezal.
"Nay, duet yok!" ajak Raga.
Naya menggeleng dan mulai bersandar pada mejanya, "Nggak ah, Mas. Yang ada Mas Raga mendadak tuli denger suaraku."
"Kamu kenapa? Kok pucet?" Raga bertanya saat menyadari Naya yang terlihat lemas.
"Nggak papa kok. Biasalah cewek, hari pertama perut suka sakit." Naya menunjuk perutnya. Pantas saja emosinya tidak terkendali hari ini, ternyata tamu bulanannya datang secara mendadak. Bahkan wajah tampan Rezal di depannya tidak mampu meredakan kekesalannya.
"Pulang aja kalo nggak kuat." Fira memberi saran. Sebagai sesama wanita, dia tahu apa yang dirasakan oleh Naya.
"Nggak papa kok, Mbak. Sakitnya nggak seberapa kalo dibandingin sama omongan orang."
Mendengar itu, Rezal reflek menghentikan petikan gitarnya. Dia melirik Naya yang ternyata juga menatapnya. Jadi gadis itu menyindirnya? Tak ingin ambil pusing, Rezal kembali memainkan gitarnya, mengabaikan obrolan para karyawannya yang mulai tidak jelas.
"Pak, nggak ada camilan ya?" tanya Jedi yang sedari tadi hanya diam. Pria itu merenggangkan punggungnya setelah cukup lama berkutat dengan video yang dia edit. Jika bukan karena deadline, dia tidak akan mau menggunakan jam makan siangnya untuk duduk di depan komputer seharian.
"Pesen donat sana," tawar Rezal tanpa mengalihkan pandangannya dari gitar.
"Sama minumnya juga ya, Pak?" Arman ikut berbicara yang hanya dibalas anggukkan oleh Rezal.
Naya yang mendengar itu meraih tas makannya dan memberikannya pada Jedi, "Aku masih ada kue, Mas. Buat ganjel perut kalo mau."
"Nggak kamu makan?" tanya Jedi menerima tas yang Naya berikan.
"Nggak mood makan."
"Dasar cewek. Lagi biasa aja susah dipahami, apalagi kalo lagi PMS. Behh makin jadi," celetuk Raga.
"Nay, Ibu kamu jualan kue kan ya?" Jedi tiba-tiba bertanya sambil memakan kue Naya.
"Iya, Mas. Kenapa?"
"Kenapa nggak kamu jual aja di kantor? Lumayan kan kita ada camilan tiap detik."
Naya tertawa mendengar itu. "Kan lagi magang, Mas. Masa jualan?" Lagi-lagi matanya melirik Rezal yang masih sibuk dengan kegiatannya. Apa pria itu selalu acuh seperti ini? Bahkan sindirannya tadi tidak berpengaruh sedikitpun untuknya.
"Boleh juga tuh. Nggak papa, bawa aja. Ya kan, Pak? Boleh kan?" Fira bertanya pada Rezal.
"Terserah. Saya nggak masalah selama kalian masih bisa fokus kerja," jawab Rezal.
"Kita sih bisa fokus, Pak. Nggak tau si Raga tuh, dia kan doyan makan." Dengan kesal Raga melempar Arman dengan koran.
"Oke, nanti aku coba omongin sama Ibuk."
"Eh, Nay. Si Edo minta nomermu nih. Kasih nggak? Tiap detik telepon terus udah kayak pengangguran."
Mendengar itu, Rezal menegakkan duduknya dan meletakkan gitar Raga di atas meja. Ucapan Jedi membuatnya malas untuk kembali bermain. Naya menyadari apa yang dilakukan Rezal. Pria itu terlihat duduk dengan tegang. Lihat tangan yang terlipat di dada itu? Begitu angkuh dan menjengkelkan.
"Kasih aja, Mas. Nggak papa," jawab Naya masih menatap Rezal. Sedetik setelah mengatakan itu, mata mereka bertemu. Naya tersenyum manis, mengabaikan tatapan Rezal yang tampak mengintimidasinya.
"Serius? Aku kasih nih ya." Naya hanya mengangguk.
"Oke, jam istirahat udah habis. Kalian kerja lagi, nggak usah banyak bercanda. Kalau saya denger suara ketawa kalian dari dalem, nggak akan ada bonus yang cair." Rezal berdiri dan masuk ke dalam ruangannya, mengabaikan karyawannya yang bingung akan perubahan suasana hatinya yang begitu cepat.
Naya menunduk dan mengulum bibirnya, mencoba menahan diri untuk tidak tersenyum. Niat awal dia hanya ingin menggoda, tapi ternyata dia tidak menyesal akan hasilnya.
"Cemburunya Pak Rezal beneran nggak keren," batin Naya.
***
TBC
