Pustaka
Bahasa Indonesia

The Time Machine

99.0K · Tamat
Romansa Universe
80
Bab
1.0K
View
9.0
Rating

Ringkasan

Tiga orang mahasiswa itu melihat dengan penuh gelora mesin yang berada di hadapan mereka. Di museum yang sekaligus pusat penelitian yang sepi itu mereka mengotak-atik mesin yang sudah penuh dengan karat peninggalan Jepang setelah perang dunia kedua, bermodal sebuah rakitan mesin yang diprint Kevin dari mesin pencari di internet. “Shit, Jerman dan Jepang memang sangat maju teknologinya,” umpat Kevin mahasiswa tingkat pertama Teknik Kimia itu. Si jenius terus mengumpat dalam berbagai bahasa asing, dan meskipun dia adalah mahasiswa Teknik Kimia namun Kevin sangat canggih di bidang Fisika dan segala unsur penunjangnya. Sudah terlalu lama Kevin mengotak-atik mesin, membuat Rara lelah dan Tapa mulai khawatir dengan penjaga Laboratorium itu. Tapa melihat ke sekitar dengan nafas memburu, takut ketahuan. “Tapa… Rara!” teriak Kevin. Teman mereka itu perlahan hilang dari pandangan terhisap mesin yang sedang menyala. Jantung Tapa berhenti berdetak dengan sigap dia menarik tangan Kevin, namun yang ada dia malah terhisap bersama. Rara yang melihat adegan seperti film-film Hollywood di depannya berlari, menerjang ke arah mesin, mengikuti dua orang laki-laki itu.

Zaman Kuno

Bab 1 Tiga Serangkai

Bab 1 Tiga Serangkai

Gerakannya cukup cepat, tali sepatu berwana gelap kembali terikat pada kets dongker yang simple. Pemiliknya mendesah berat. Bertekad mengganti tali sepatu yang lebih pipih agar tak sering menghentikan langkah.

Rambutnya terlalu panjang untuk laki-laki rapi, berwarna hitam sedikit kemerahan. Wajah tampannya tak berselera menatap ke depan, ia berdiri. Kevin namanya, pemuda tahun pertama pada jurusan teknik kimia itu menatap tempat ibadah sembari menunggu temannya. Tangannya bersedekap di depan dada.

Di dalam sana terdapat dua temannya yang masih mengerjakan ibadah. Rara, perempuan mungil itu sedang melipat rapi mukenanya, sedang Tapa sungguh sangat lama. Kevin heran, jika berdoa di sini saja selama itu bagaimana jika di rumah sendirian? Tentu saja akan sangat lama, pernah sekali saat menginap pemuda itu duduk hingga satu jam lebih lamanya. Entah apa yang sedang dilakukan Tapa, setidaknya itu cukup baik karena sedang beribadah.

“Huft!” Lagi-lagi Kevin menghela napasnya, Tapa memang sukses membuatnya kesal. Kevin ini suka buru-buru, lama berdoanya Tapa sudah menjadi masalah berat untuknya. Kakinya ingin segera melangkah pergi sampai ke tempat tujuan mereka, museum sejarah bangsa dari awal kedatangan proto dan deutro Melayu hingga masa Indonesa pasca merdeka.

Laki-laki yang mengambil Fakultas Teknik itu nyatanya sedikit tertarik dengan kejadian masa lalu, menurutnya teori black hole atau sejenis itu adalah nyata. Sebagai maniak ilmu pengetahuan utamanya bidang Kimia juga Fisika, ia paham betul jika pengetahuan terus maju maka pemetaan otak tentang merangsang logika hal yang aneh akan berkembang. Misalnya saja komunikasi jarak jauh yang mungkin jaman dahulu dianggap sebagai khayalan semata, kendaraan bermotor, pesawat hingga macam teknologi lainnya seperti hadirnya robot sofia. Semua itu terasa masuk akal ketika ilmu pengetahuan bisa menjelaskan dan manusia menangkapnya dengan logika.

Kadang, Kevin juga bingung dengan teori big bang keluar dari aturan hukum fisika itu sendiri, bingung dan sering membayangkan reaksi kimia macam apa yang ada di dalam tubuhnya. Banyak berpikir membuat otaknya tak mampu menangani hal sepele seperti meluangkan waktu mengikat tali sepatu. Itu semua membuatnya malas.

“Lama!” tegurnya pada Tapa yang dibalas cengiran. Rara sudah berdiri dan berjalan mendekat setelah tadi sibuk mengikat tali sepatunya.

“Ayo kita jalan lagi,” ajak Rara segera. Melihat tampang si pemikir itu membuatnya tahu jika dia sedang kesal dengan sepupunya, Tapa. Mustafa nama aslinya, tetapi ia memang sering dipanggil Tapa.

Tapa memandang Kevin yang sedang kesal di sebelahnya, terkekeh singkat ia berbisik. “Menurut sejarah yang aku baca, setelah Ken Arok yang marahnya tidak bisa dibendung dan sifat buru-burunya itu, dia berhasil membalas jasa empu Gandring dengan menghunuskan keris pesanannya sendiri. Kamu tahu apa akibatnya, keris itu menuruti permintaan pembuatnya, haus darah dan membalaskan kematiannya pada Ken Arok dan segenap keturunannya.”

Kevin memutar bola matanya sebal. Temannya ini selain sangat taat pada agamanya juga sangat taat pada guru SMAnya. Hafalan kelas sepuluh itu bahkan tak menempel sempurna di hati Kevin. Kevin sadar betul Tapa sedang menyindirnya agar meredakan amarah, siapa juga yang sedang marah? Kevin hanya kesal telah membuang waktu banyak.

“Bentar lagi sampe ke museum loh, jangan bertengkar terus. Dokumennya dibawakan?” Semuanya mengangguk singkat.

Dokumen yang dimaksud Rara hanyalah surat pengantar dari fakultas mereka. Tujuan utamanya ke mueum yang sekaligus jadi pusat penelitian itu adalah untuk sebuah misi, ketiganya sepakat mencari tahu kebenaran mengenai sebuah mesin yang teronggok diam di museum itu. “Lagi pula senyum sedikit Vin, senyum! Menurut buku yang aku baca, kalau sering senyum kan dopamin naik, nah bisa mengurangi stress karena kamu bakalan bahagia terus!” Perkataannya diakhiri senyuman.

Kevin menoleh, menatap cukup lekat perempuan mungil itu. Sebagai gadis pecinta kedamaian, ia memilih ilmu sosial untuk menunjang cita-citanya sebagai sosiolog.

Kevin yang menatap, Rara yang terkekeh. “Kalau mau senyum, ya senyum aja.” Rara menelengkan kepalanya singkat lalu memutar tubuh hendak berjalan lagi.

Gadis itu independen, meski seorang perempuan, ia selalu menujukan pada orang tuanya bahwa dia cukup mandiri untuk tinggal sendiri. Keduanya orang tuanya berada di Kalimantan berasama sang adik. Papanya dipindah tugaskan hampir dua tahun lalu. Dulu Rara menolak ikut, dia memilih mengawali perjuangan masa depannya di Jakarta. Tinggal bersama Tapa adalah keinginann ibunya. Dia jadi jauh lebih lekat dengan sepupunya itu karena ini.

Kevin sendiri seorang piatu, dia sering menginap di tempat Tapa. Bukannya apa-apa, selain karena ketiganya sudah dekat semenjak SMA. Kevin juga menjadi lebih irit sebab ibu Tapa senang menyajikan makanan pada tamu. Dia seorang perempuan yang akan menjamu tamu bagaikan raja, suka memasak dan sangat ramah. Hobi masak ibu Tapa tentu menguntungkan bagi Kevin yang sangat malas memikirkan hal remeh seperti itu.

Kevin suka ilmu exact, semua yang ia pikirkan itu tentang kebenaran dan ketepatan. Tentang apa pun yang ada di dunia ini mulai dari sifat fisikanya atau pun kimia. Semua buku sepertinya sudah ia lahap hingga membutnya sering dijuluki maniak. Sikapnya cukup keras kepala, tak mau ribet tetapi pikirannya selalu saja lebih ribet dari siapa pun. Kevin, laki-laki itu juga menggantungkan hidupnya pada pengetahuan, membutanya sangat percaya dengan kemajuan teknologi yang terkadang membuatat Tapa geleng kepala.

Tapa, sepupu Rara itu selain taat beragama juga menguasai sejarah bangsa. Mulai dari sejarah kehidupan menurut sains dari tercetusnya teori big bang, lalu asal usul manusia, keberadaan manusia pertama di Nusantara, animisme dinamisme. Masa kerajaan dari Kutai hingga Mataram, dari Samudra Pasai hingga Demak. Juga mengenai masa penjajahan dari datangnya Portugis dan Spanyol, terjajahnya bangsa hingga kemerdekaan yang ia banggakan berasal dari ulama tauladannya. Tapa selalu menyukai itu, ia juga menyukai berbagai bidang lainnya. Cita-citanya menjadi Arkeolog terbaik membuat ia mengambil jurusan Arkeologi.

Meski tiga orang itu memiliki karakter yang bebeda juga cita-cita mulai yang berbeda pula. Kedekatannya cukup dalam hingga tak cukup jika dikatakan sebatas teman. Misi kali ini pun tercetus saat liburan semester pertama mereka. Ketiganya ingin meneliti sebuah mesin yang masih jelas keberadannya di museum itu.

Bukan Rara apalagi Tapa yang mengusulkan pertama kali, tentu saja itu Kevin. Jika Rara boleh kekeh dengan keinginannya, ia akan meminta mereka pergi ke berbagai tempat di Jakarta guna meneliti hubungan antar manusia yang makin ke sini makin aneh jalinannya. Jika Tapa yang menang usulannya, tentu ia akan senang jika diajak mendaki atau melakukan perjalanan menjelajahi tempat bersejarah.

Karena keduanya lebih waras dari Kevin, tentu saja juga karena misi ini sama menariknya dengan usulan masing-masing. Jadi di sinilah keduanya, berdiri di depan sebuah museum terkenal di kotanya.

“Kita yakin mau meneliti mesin itu dari sini?” ulang Tapa untuk kesekian kalinya yang entah mengapa perasaanya tak enak. Laki-laki dengan buff yang masih terpasang rapi di kepala membuat siapa saja yang melihatnya terpana. Dia memincing menatap curiga ke arah Kevin.

“Yakin!” jawab Kevin mantap, wajah datarnya masih melihat gedung itu, bergantian matanya menatap surat di tangannya. Saat mata itu beralih menuju wajah Tapa, Kevin mengangkat alisnya. “Apa?”

Tapa mengedikan bahu tak acuh. “Tidak apa-apa, curiga saja kamu mau melakukan hal tidak waras di dalam sana.”

“Aku tidak bawa air raksa ke sini, tidak bawa juga bom peledak. Tidak akan membuat museum ini roboh.” Perkataannya cukup panjang, Rara bahkan terkekeh mendengar pernyataan itu.

Dengan dongkol Tapa memalingkan kepalanya sembari membantin, “tidak bawa apa-apa sih iya, tapi otaknya yang tidak waras suka lebih bahaya daripada bom waktu yang dia bawa.”

“Kalau komunikasi yang terjalin bagus, hubungan kita juga makin erat.” Rara melirik dua orang itu bergantian. “Yang satu irit bicara, yang satu suka mengumpat di dalam hati.”

“Siapa yang mengumpat?” tanya Tapa tersinggung.

Rara hanya tersenyum menatap sepupunya. “Yang menyanggah yang melakukan, orang yang merasa itulah yang melakukan.”

Kevin sendiri tersenyum miring. “Gunanya mulut untuk berbicara.” Sarkas, tapi tidak menunjukan kebencian. Memang begitu perangai Kevin.

“Aku hanya ragu saja pikiran kamu tambah tidak waras setelah masuk ke dalam.”

“Penelitian ini juga tidak waras,” gumam Rara yang masih didengar jelas dua temannya.

***