Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Lelaki Misterius

Seolah-olah disiram satu ember air, tubuh Sintia bersimbah keringat. Dia kalap, napas menderu semakin cepat. Dada kembang-kempis. Merupakan reaksi yang wajar jika seorang manusia mengalami ketakutan. Momen menjijikkan baginya saat sesuatu menerobos masuk dan merobek-robek pakaian, sedangkan perlawanan saja tak dapat dilakukan.

Semakin erat Sintia menggenggam kain yang mengikat tangannya. Kedua kaki serta otot-otot mengeras seolah sesuatu akan keluar dari sana. Tidak mungkin dia bisa melihat makhluk yang sedang menindih tubuhnya ketika rasa takut semakin mencengkeram pikiran.

Sintia kalang kabut. Apakah harus pasrah membiarkan makhluk itu melakukan hal paling tabu baginya? Sekuat tenaga dia berpikir yang dialaminya tidaklah nyata. Itu hanya ilusi semata dengan serangkaian proses yang tentu tidak dia ketahui sehingga berada di tempat tersebut secara tiba-tiba. Apakah mungkin makhluk itu adalah penunggu pohon beringin di luar makam?

Buang-buang waktu. Sintia harus secepatnya melawan sebelum makhluk tersebut melakukan sesuatu yang lebih buruk. Meskipun sakit terasa di kaki dan tangannya akibat jerat kain yang mengikat, Sintia tak berhenti berusaha agar terlepas dari jerat dan bebas.

Setidak-tidaknya bebas dari perlakuan menjijikkan lebih baik meskipun tak menutup kemungkinan dia bisa saja terluka. Daripada harus menerima sesosok makhluk asing memperkosanya secara liar, lebih baik mati hingga terbebas dari dunia yang memberatkan segala pikiran.

"Le ... paskan!" Suara Sintia berhasil keluar dari tenggorokan setelah sekian menit tertahan.

Berkali-kali berontak, berkali-kali makhluk itu menambah cengkeraman makin kuat. Sintia mendapat satu tamparan keras yang membuat tenaganya berkurang saat melakukan perlawanan. Makhluk itu justru mencengkeram lehernya, lalu melanjutkan apa yang seharusnya dilakukan. Dia sepenuhnya pasrah dengan tatapan kosong. Akalnya tak lagi berfungsi.

Meski pandangan sayu, dia masih bisa melihat si makhluk perlahan menjauh dari tubuhnya. Yang dilihatnya hanya punggung sang makhluk yang perlahan menghilang setelah keluar dari kamar itu.

Air mata menitik, Sintia lelap dalam kegelapan. Hati kecilnya menyerukan nama Tuhan, tetapi terlambat karena bubur tak dapat diubah kembali menjadi nasi. Tubuhnya menggigil bagai dihantam es hingga lebur, mengubur tubuhnya.

"Tuhan, ampuni dosa-dosaku."

-II-

Ranjang dengan kasur lusuh dipenuhi kecoak dan ulat adalah satu-satunya hal yang Sintia lihat saat bangun dari alam bawah sadar. Ada sesuatu yang aneh menurutnya karena bisa bergerak bebas; berguling ke kiri dan kanan tanpa merasakan sakit di tangan dan kaki. Matanya merayapi bagian tangan dan kaki, dia telah terlepas sepenuhnya dari kain yang menjerat. Sebetulnya tidak dapat dipercaya, tetapi itu adalah sesuatu yang terjadi. Siapa orang yang membebaskan tangan dan kakinya? Apakah mungkin makhluk misterius yang menggerayangi tubuhnya itu? Bagaimana bisa?

Daripada berpikir keras sehingga membuat kepala seolah ditindih batu besar, Sintia bangkit dari ranjang. Matanya menerawang sebelum akhirnya memeriksa pakaian yang telah compang-camping dan robek di mana-mana. Saat mengingat kembali kejadian itu, air mata menganak sungai. Memangnya siapa yang akan dia salahkan? Apakah mungkin menyalahkan makhluk yang sama sekali tak diketahuinya? Lagi pula, benarkah makhluk itu penunggu pohon?

Menolehkan pandangan ke sebuah meja persegi yang tampak lapuk, Sintia melihat sebuah topeng dan jubah. Dia mengernyit karena tak asing dengan jubah hitam di sana. Dia kemudian meraihnya, terlebih topeng yang tampak mengerikan dengan bentuk mata keluar tersebut sangat mirip dengan bentuk wajah si makhluk asing. Dia semakin yakin makhluk itu bukanlah penunggu pohon.

"Bajingan! Siapa kamu sebenarnya? Aku janji akan mencarimu! Aku janji. Kamu iblis keji yang merenggut kesucianku. Manusia laknat. Manusia berhati setan!"

Sintia meremas jubah itu, lalu membawanya beserta topeng; keluar dari gubuk reyot. Yang tersisa dalam dirinya hanya kesedihan dan amarah. Bergejolak, teraduk pahit dalam nestapa neraka penyesalan.

Pendapat awal yang muncul di kepalanya adalah bahwa dirinya berada di dalam makam, kini dipatahkan oleh kenyataan. Dugaannya benar-benar meleset. Dia tak tahu berada di mana. Sekeluarnya dari gubuk, hanya pohon-pohon yang matanya lihat. Sintia sesungguhnya berada di tengah hutan.

Meski kenyataan telah menusuk ulu hati, dia tak menghentikan langkah sedetik pun. Ke mana pun kaki membawanya, dia tetap berusaha keluar dari hutan tersebut. Sayangnya, matahari kembali berganti rembulan, dia kelelahan, tubuhnya roboh. Napas sesak, punggungnya bersandar di batang pohon.

"Di mana aku sebenarnya? Apa yang terjadi? Kenapa bisa aku ada di sini?"

Segudang pertanyaan dilontarkan hati kecil Sintia, tapi tak satu pun jawaban bisa ditemukan. Mau tidak mau, dia harus mencari tahu. Kehidupan normalnya kini hanyalah khayalan belaka. Tak ada seorang pun yang terpikirkan di kepalanya untuk disalahkan.

Sekian Joule Sintia kehilangan tenaga. Bahkan itu berefek pada mata yang tak sedetik pun dapat membuka. Pikiran lelah, hatinya resah, hanya tidur yang bisa mengembalikan kekuatannya.

Saat tengah lelap, terdengar derap langkah bersamaan dengan suara ranting pohon yang patah. Sang empunya berdiri tegap menatap Sintia yang terpejam. Dia meraih jubah hitam dan topeng yang tergeletak di samping sang wanita.

Setelah cukup lama menatap topeng menyeramkan berwarna merah itu, sang lelaki mengenakannya, begitu pun dengan jubah itu. Sintia tak kunjung sadar, maka lelaki tersebut mengangkatnya. Sintia kembali dibawa ke gubuk reyot.

Rembulan berwarna jingga setidak-tidaknya memberitahukan bahwa malam begitu kelam dengan sejuta misteri yang ada. Sintia tidak pernah menyadari bahwa dunia malam yang disukainya ternyata dapat membawa menuju masalah yang rumit. Setidak-tidaknya dia jadi tahu, atau mungkin menuju proses kesadaran bahwa dunia malam tak selamanya indah. Meski hanya sebagai pengendap ego, tetapi ulahnya telah membawa pada kehancuran. Sintia hancur, takdir menertawai.

-II-

Membuka mata sampai pendengaran kembali berfungsi. Sintia mendengar suara kursi goyang dengan tempo pelan. Asalnya dari ruangan sebelah yang gelap gulita. Meskipun tak memiliki pintu, dia tak dapat melihat apa pun di ruangan itu karena gelap yang menyelimuti.

Ada yang jauh lebih penting daripada berpikir tentang gubuk dan orang misterius. Sudah berapa hari dia berada di tempat kumuh menyeramkan itu? Apalagi perutnya sudah lama tak diisi. Tak lama kemudian, suara perut menjadi penanda: dia lapar. Tenggorokan kering, bibir pecah-pecah, rambut acak-acakan. Dia harus mendapatkan makanan dan air minum. Namun, di mana dia bisa mendapatkannya? Dia tidak punya daya dan upaya. Berpikir pun hanya menambah kepalanya makin terasa menyakitkan.

Demi mengobati rasa penasaran, dia berjalan ke ruangan asal suara kursi yang bergoyang. Karena beberapa waktu lalu sepatu hak tingginya patah, dia jadi bertelanjang kaki. Itu bagus, karena bisa mengurangi derap berisik yang bisa membuat orang misterius tidak menyadari jika dia sedang menuju ke ruangan gelap itu. Meski begitu, tak bersuara pun tidak menjamin orang tersebut tidak menyadari yang dilakukan Sintia. Seperti yang dia sadari, jubah dan topeng yang dia dapatkan juga menghilang. Alangkah yakinnya Sintia bahwa yang mengambil jubah serta topeng barusan adalah orang misterius. Dia pula yang membawanya kembali ke gubuk reyot nan kumuh.

Sintia berusaha mengatur napas. Dengan begitu, dia bisa melangkah dengan yakin dan kemungkinan orang misterius tidak akan menyadari keberadaannya. Akan tetapi, pemikiran itu segera terbantah saat sebuah tangan membekap mulutnya dan satu tangan lain menutup matanya. Jelas tidak pasrah; Sintia berontak, berusaha melepaskan tangan itu. Namun ternyata itu hanya perlawanan sia-sia. Perbedaan kekuatan mereka sangat jauh.

"Diam! Jangan melawan!"

Dugaan Sintia benar setelah mendengar bariton itu: bukan makhluk gaib yang memperkosanya, melainkan manusia berhati setan. Entah siapa, tetapi suara itu terdengar tegas. Bisa dia bayangkan bahwa lelaki itu jauh lebih tinggi dan berbadan besar.

Air mata kembali mengalir, menerobos dari sela-sela jemari tangan si lelaki.

"Cengeng! Jangan menangis!"

-II-

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel