Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

1

Bandar Udara Internasional Berlin-Schönefeld

Caera melangkah menuju ke pelataran bandara internasional di Berlin. Ia segera masuk ke dalam taksi. Datang ke Berlin bukanlah hal baru bagi Caera karena wanita berusia 21 tahun ini kerap mengunjungi kakaknya, ya walaupun hanya dua tahun sekali. Caera menyebutkan alamat tempat apartemen kakaknya berada dan taksi segera mengantarkannya ke tempat tersebut.

"Apa yang terjadi?" Caera bertanya pada supir taksi karena taksi tersebut berhenti mengemudi.

"Ban mobilnya pecah, Nona. Sebaiknya anda gunakan taksi lain saja."

Caera ingin memaki keras namun hal itu tidak akan menyelesaikan masalah, ia segera keluar dari taksi tersebut setelah memberikan beberapa lembar uang setempat.

Caera melirik ke sekitarnya, banyak yang berubah dari Berlin. "Oh, Caera, tentu saja tempat ini berubah, hanya keuanganmu yang dari tahun ke tahun tidak berubah sama sekali." Caera mengomeli dirinya sendiri. Ia segera menarik koper berisi barang-barangnya yang sedikit. Caera tidak membawa semua barangnya karena itu merepotkan, ia menjual rumah beserta isinya dan hanya membawa barang-barang yang menurutnya penting saja.

Sebuah mobil berhenti di dekat trotoar yang dipijaki Caera.

"Nona, butuh tumpangan?" Seorang pria di dalam mobil bertanya pada Caera. Pria tersebut cukup tampan dan bersetelan rapi, tipe pria yang sangat Caera sukai.

"Apakah tidak merepotkan jika saya menumpang mobil anda?" Tanya Caera.

"Tidak apa-apa, saya tadi melihat anda turun dari taksi yang dibelakang." Jawab pria tersebut.

Caera tersenyum tipis, dewi dalam dirinya mengatakan tentang keberuntungan Caera yang bertemu dengan pria itu.

Pria tadi segera keluar dari mobilnya, memasukan koper milik Caera ke mobilnya dan membukakan pintu mobilnya untuk Caera. Pria ini tidak terlalu kaya, itu menurut penilaian Caera dari mobilnya yang tidak terlalu mewah.

"Terimakasih." Kata Caera.

Pria tadi tersenyum kecil matanya kini menatap mata Caera, "Aku bahkan belum mengantarmu, Nona." Ia kembali melihat ke jalanan dan melajukan mobilnya. "Jadi kemana aku harus membawamu?"

Caera tersenyum malu, astaga, ia bahkan lupa menyebutkan alamat rumahnya karena terlalu asik memandangi wajah pria tampan di sebelahnya. Caera memang tidak bisa menahan diri jika melihat pria tampan berkarisma seperti pria di sebelahnya.

Caera menyebutkan alamat apartemen kakaknya dan pria itu mengangguk paham, ia tahu alamat tersebut.

"Kita belum berkenalan," Kata pria tadi memecah keheningan. Caera yang melihat ke luar jendela segera kembali melirik ke pria yang sulit ia tolak karismanya. Damn! Caera mengumpat, ia ingin sekali menyentuh wajah pria itu.

"Caera Qiandra."

"Nama yang indah. Aku, Marsh Sherlock."

"Marsh," Caera menyebutkan nama itu.

"Benar, seperti itu." Kata Marsh. Ia suka Caera memanggilnya seperti itu. "Kau baru datang ke Berlin?" Marsh bertanya lagi.

"Hm, aku dari Detroit. Aku datang kemari untuk tinggal bersama kakakku."

"Ah, Detroit."

"Apa pekerjaanmu?" Caera tidak bisa menahan dirinya.

"Seorang detectif yang baru memulai karir." Marsh merendah, nyatanya ia sudah sangat terkenal dalam dunianya, ia adalah salah satu dari detectif terbaik di Eropa.

Caera makin menyukai sosok pria di sebelahnya. Ternyata pria itu bukan hanya keren penampilannya namun juga pekerjaannya. Astaga, Caera ingin kasus hatinya dipecahkan oleh Marsh.

"Kenapa tersenyum?" Marsh bertanya pada Caera yang sudah membayangkan tentang kasus hatinya.

Caera berhenti tersenyum, ia menyelipkan anak rambutnya ke daun telinga. Astaga, dia tertangkap basah. "Tidak, hanya tersenyum saja." Caera tidak bisa mencari alasan lain, otaknya terlalu lambat untuk mencari sebuah alasan klise.

"Aku pikir kau mentertawakan pekerjaanku."

"Tidak, tidak seperti itu. Detectif adalah pekerjaan yang sangat keren." Caera berbicara cepat dan jujur, akhirnya Caera menggigit ujung lidahnya. Ia benar-benar harus mengelem bibirnya.

Marsh tertawa kecil, "Terimakasih untuk pujiannya, Caera."

Selanjutnya mereka diam, Marsh menyalakan penyetel musik agar suasana tidak berubah jadi canggung. Caera menyukai jenis musik classic yang Marsh putar, sangat lembut.

Mobil Marsh berhenti di sebuah apartemen yang terletak di tepi kota Berlin.

"Terimakasih, Marsh." Caera berterimakasih pada Marsh yang sudah mengeluarkan kopernya dari bagasi.

"Sama-sama, Caera. Senang berkenalan denganmu."

"Senang berkenalan denganmu juga, Marsh."

"Aku harus segera pergi sekarang."

"Baiklah, hati-hati dijalan dan sekali lagi terimakasih untuk tumpangannya."

"Hm." Marsh berdeham lalu segera masuk ke dalam mobilnya kembali.

Caera segera melangkah ke lobby apartemen tersebut.

♥♥

Universitas Berlin.

"Pelajaran selesai, sampai jumpa pada pertemuan selanjutnya." Shawn menutup buku tebal yang ia baca. Ia segera keluar dari ruang mengajarnya dengan para mahasiswi yang mengejarnya.

"Pak Shawn, tunggu." Seorang mahasiswi memangginya.

Shawn segera membalik tubuhnya. "Ada apa, Sella?"

"Ini, saya membuatkan khusus untuk Pak Shawn."

Shawn melirik ke kotak yang Sella bawa, ia tidak tertarik sama sekali namun dia harus menerima apapun yang diberikan orang padanya.

"Aku ambil." Shawn mengambil kotak itu lalu ia segera membalik tubuhnya lagi dan melangkah meninggalkan Sella yang terus menatapnya dari belakang.

Shawn membuka tempat sampah, ia segera membuang kotak yang bahkan ia tidak ingin tahu apa isinya.

"Sella, kau melakukan hal yang sia-sia." Teman Sella mendekat Sella, semua mahasiswi normal di kampus tersebut menyukai Shawn yang fisiknya tidak memiliki cela sedikitpun. Iris birunya menenggelamkan dan begitu memabukan, bagaikan sebuah lautan luas yang siap melahap siapapun yang coba untuk berdiri diatasnya.

"Tidak, dia tidak mungkin terus menolakku. Aku pasti akan mendapatkannya." Sella percaya diri, wanita itu adalah wanita yang selalu mendapatkan apa yang ia inginkan jadi ia tidak akan terima jika ia terus ditolak seperti ini.

Shawn melangkah angkuh melewati koridor kampus tempatnya bekerja. Saat ini Shawn menjadi dosen pengganti, dosen yang harusnya mengajar adalah seorang profesor yang sangat dekat dengan Shawn namun karena profesor tersebut tengah melakukan penelitian maka Shawn harus menggantikannya terhitung sudah 2 tahun hingga saat ini. Andai Shawn tidak begitu dekat dengan dosen tersebut maka Shawn tidak akan mau menghabiskan waktunya dengan mengajari orang. Ia tidak suka terkurung dalam tempat itu.

Di parkiran sebuah mobil Lamborgini Veneno sudah menunggu Shawn.

"How's your day, Shawn?"

"Sangat membosankan." Shawn sudah duduk di satu-satunya kursi yang tersisa di mobil dengan harga mahal itu.

"Kalau begitu mari kita bersenang-senang." Kata sahabat baik Shawn itu.

"Dimana yang lainnya?"

"Mereka sudah menunggu di restoranku."

"Jadi permainan macam apa yang akan kita mainkan kali ini?" Shawn menatap ke sahabatnya yang memiliki wajah khas orang Italia.

"Menangkap dan melepaskan." Jawab Arkan.

Shawn menyunggingkan senyuman iblisnya, ia suka permainan jenis ini. Benar-benar menyukainya.

Arkan mengendarai mobilnya dengan cepat, pria itu menganggap jalanan umum adalah lintasan balap, dia tidak peduli jika ada orang yang mati kecelakaan karena ulah ugal-ugalannya.

"Sampai," Arkan membuka seatbeltnya begitu juga dengan Shawn. Seorang valet datang dan memarkirkan mobil milik Arkan.

Mereka melangkah masuk ke restoran Arkan namun tempat sesungguhnya bukan restoran tersebut melainkan sebuah tempat besar yang berada di belakang restoran tersebut. Arkan adalah tipe pria sakit jiwa yang memiliki tempat rahasia yang sangat berbahaya, di dalam tempat itu terdapat banyak sekali senjata tajam, disana juga terdapat beberapa wanita yang menjadi tahanan Arkan. Wanita-wanita tersebut adalah hasil buruannya di perdagangan manusia, namun Arkan tidak memperlakukan wanita-wanita tersebut seperti manusia melalinkan seperti binatang. Arkan memang suka menyiksa orang, ia benar-benar menyukai bau darah dari wanita-wanita yang ia siksa.

Di dalam sebuah ruangan besar nan mewah terdapat 5 pria yang sedang duduk di sofa berbentuk setengah lingkaran.

Mereka adalah sahabat-sahabat Shawn. Dalam sejarah hidupnya, Shawn hanya memiliki 6 sahabat dekat yang sudah ia anggap sebagai saudaranya sendiri.

Orang pertama adalah, Arkan Faexa, Chef dan juga pemilik banyak cabang restoran berbintang lima. Orang kedua adalah, Aiden Uinseann, Dj dan pemilik club-club malam besar di Eropa. Orang ketiga adalah Alan Alvredo, seorang model papan atas yang sangat terkenal. Orang keempat adalah Alarix Zeroun, seorang dokter sekaligus pemilik sebuah rumah sakit swasta di Berlin. Orang kelima adalah Alvin Gavriel, seorang arsitek terkenal yang mendesign bangunan-bangunan mewah di semua belahan bumi. Orang keenam adalah Anders Emmrick, seorang pemilik perusahaan yang bergerak dibidang perhotelan. Shawn memang memiliki teman-teman yang sangat baik dalam finasial, dan Shawn sendiripun seorang pemimpin organisasi bawah tanah yang sangat sukses. Kekayaan Shawn sendiri tidak akan habis dalam 7 turunan.

"Shawn, I miss you so badly." Alan bangkit dari tempat duduknya dan melangkah mendekati Shawn.

"Aku rasa seminggu yang lalu kita baru bertemu, Alan." Shawn mengomentari ucapan Alan.

"Benar, kau menjijikan sekali, Alan." Aiden mengomentari tingkah Alan.

"Sudah jangan bertengkar. Ayo kita mainkan permainan kita." Kata Alarix menengahi.

"Benar, mari kita bermain." Alvin juga sama dengan Aiden yang sudah tidak sabar lagi bermain.

Permainan yang mereka lakukan pasti mengaitkan wanita, penyiksaan dan pembunuhan. Hanya 3 hal ini yang membuat mereka semua senang. Seven Psychopath begitulah mereka menyebut diri mereka, dimana mereka semua menggilai darah dan teriakan kesakitan orang lain.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel