Bab 6 – Ratu Akar
Hari berikutnya datang tanpa peringatan. Tidak ada matahari, tidak ada suara pagi, hanya perubahan aroma di udara—dari bau tanah basah menjadi bau manis yang aneh, seperti nektar dan kayu lapuk.
Lucien membawa Lyara ke sebuah jalan setapak yang baru muncul—jalur di mana akar-akar membentuk tangga alami menurun ke lembah tersembunyi.
"Ke mana kita?" tanya Lyara, menjejak hati-hati.
"Ke jantung hutan. Tempat tinggal Ratu Akar," jawab Lucien. Suaranya datar, tapi nadanya tak menyembunyikan kehati-hatian. “Dia yang menjaga keseimbangan antara dunia manusia dan dunia hutan.”
Lyara menelan ludah. “Apa dia musuh?”
Lucien tidak menjawab.
Tangga akar itu akhirnya berhenti di depan sebuah pintu gerbang alami—lengkungan raksasa yang terbentuk dari pohon menyatu dan akar menjulur. Di atasnya, terukir dalam kayu yang membusuk: “Tempat Awal dan Akhir”.
Mereka masuk.
Hutan di dalamnya berbeda. Di sini, pepohonan lebih tinggi, daunnya keperakan, dan akar-akar melayang di udara, berdenyut seperti urat nadi. Di tengahnya, duduk sosok ratu di atas takhta akar yang menjulang, mengenakan mahkota dari tulang dan bunga busuk.
Ratu Akar.
Wajahnya setengah manusia, setengah kayu. Mata kirinya berlendir, sementara mulutnya tersenyum tipis penuh ironi.
"Ah... penjaga dan tumbal terakhir. Akhirnya kalian datang," suaranya bergetar seperti daun kering dibakar.
Lyara berdiri kaku. Aura ratu itu menekan jiwanya, seolah ada ratusan suara berbisik di kepalanya, semua berasal darinya.
"Apa kau yang mengutukku?" tanya Lyara.
Ratu Akar tertawa. Suaranya menggema seperti cabang pohon patah.
"Aku hanya pewaris kutukan. Bukan penciptanya. Tapi... aku bisa memberimu jalan keluar, jika kau mau."
Lyara menatap Lucien yang tiba-tiba diam. Rahangnya mengeras, dan pandangannya tertuju pada tanah. Ada sesuatu yang tidak ia katakan.
"Apa syaratnya?" tanya Lyara waspada.
Ratu Akar berdiri. Tubuhnya tinggi dan menjuntai. Dari telapak tangannya tumbuh akar kecil yang bergerak seperti jari.
"Satu jiwa harus tetap tinggal. Sebagai pengganti. Hutan menuntut keseimbangan. Jika kau ingin bebas... maka dia harus tinggal," katanya sambil menunjuk Lucien.
Darah Lyara berhenti mengalir sesaat.
Lucien masih diam.
"Dan kalau aku menolak?" tanya Lyara.
Ratu Akar tersenyum lebih lebar. "Maka kau harus bertahan… sampai akhir. Sampai hutan selesai membongkar segalanya dari dalam dirimu. Dan tidak semua manusia bisa utuh melewatinya."
Lyara menggenggam belatinya. “Aku bukan tumbal. Dan aku tidak akan mengorbankan siapa pun hanya untuk keluar dari tempat ini.”
Ratu Akar menunduk. “Kita lihat… seberapa lama moral manusia bertahan.”
Dengan satu gerakan tangan, akar-akar mengangkat Lyara dan Lucien, mendorong mereka keluar dari wilayah itu. Angin mendesir keras dan kabut hitam mengepul.
Mereka terhempas kembali ke tepian sungai kering. Lyara terduduk, napasnya memburu. Lucien bangkit perlahan, wajahnya muram.
“Kau tahu soal itu, ya?” tanya Lyara. “Kau tahu kalau satu-satunya jalan keluar… adalah dengan meninggalkanmu di sini.”
Lucien tak menjawab.
“Tapi kau tetap membawaku ke sana?”
Matanya bertemu milik Lyara. “Aku ingin tahu… apakah kau akan memilih menyelamatkan diri sendiri.”
Lyara berdiri, marah. “Dan kalau aku iya? Apa kau akan ikhlas mati di hutan ini?”
Lucien hanya menatapnya. Lalu berkata pelan:
“Ya.”
Dan untuk pertama kalinya sejak masuk ke hutan ini, Lyara merasa bukan takut… tapi tersentuh.
