Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

8. Sakit Tapi Tak Berdarah

Risa tengah menemui wali kelasnya untuk pengajuan kepindahan sekolah.

"Kamu yakin Ris? Gak nunggu setelah semesteran saja." Bu Heni wali kelasnya menasehati.

"Gak bisa Bu, kan Ibu tahu sendiri masalah saya."

"Baiklah kalau begitu. Oh iya kamu sudah bilang sama Dito dan Citra?"

"Belum Bu. Saya mohon jangan sampai mereka tahu ya."

"Apa tidak sebaiknya kamu kasih tahu mereka Ris?"

"Saya gak tega Bu. Mereka sahabat setia saya. Saya takut mereka sedih."

"Ya sudah kalau begitu."

"Saya pamit ya Bu."

"Iya, hati-hati pulangnya."

"Iya Bu, mari."

Risa keluar dari ruang guru kemudian berjalan menyusuri koridor sekolah yang mulai sepi. Sampai di dekat ruang perpustakaan dia berpapasan dengan Arjuna. Keduanya tampak canggung apalagi Arjuna tengah jalan dengan cewek cantik yang Risa tahu adalah teman seangkatannya dan memang dia sangat cantik sekaligus populer. Risa memilih berlalu pun Arjuna. Mereka sama-sama menganggap diri mereka tak saling kenal.

"Kamu kok biasa aja."

"Emangnya Risa harus ngapain?"

"Marah-marah, nyakar, adu jotos, nangis-nangis bombay khas cewek lah."

"Ck. Gak penting banget."

Abizar cuma tersenyum tipis. Risa menatap heran ke arah Abizar.

"Kenapa? Ganteng ya?"

"Ganteng sih, sayang AC."

Risa langsung berjalan menuju pintu gerbang. Abizar mencekal lengan Risa.

"Ayuk jalan."

Risa menatap Abizar dengan heran.

"Ck."

"Aw...." Risa kaget karena Abizar langsung menarik tangannya sehingga mau tak mau dia pun mengikuti langkah Abizar dan naik motor milik Abizar.

"Kita mau kemana Kak?"

"Makan."

"Owh ... mau traktir Risa."

"Hem iya."

"Oke. Ayuk."

Hening.

"Kamu tumben mau aku ajak makan."

"Kak Abi juga tumben mau ngajak Risa makan."

"Pengen."

Sejak dulu aku ingin dekat sama kamu tapi lidahku terlalu kelu, batin Abizar.

"Aku juga pengen diajak," ucap Risa.

Sebelum aku pergi Kak, setidaknya ada sedikit kenangan manis dengan Kak Abi, batin Risa.

"Kak Abi gimana hasil ujiannya, bisa jawab gak?"

"Bisalah, gampang. Kamu?"

"Lumayan."

"Harus bisa jadi yang pertama lagi loh, jangan kalah saing sama Kak Abi."

"Pastilah. Eh Kak Abi mau daftar kemana?"

"UI."

"Wow keren, pasti kedokteran. Iya kan?"

"Iya."

"Gak kepengin kayak Om Fatih, Kak."

"Gak, pengin beda."

"Bagus itu."

Mereka menikmati perjalanan dengan disertai obrolan. Baik Risa dan Abizar merasakan seperti de javu. Dulu mereka juga akrab, lima tahun yang lalu. Sayang, sejak kejadian itu mereka jadi saling menghindar. Yang satu merasa tak percaya diri, sedangkan yang satu merasa bersalah. Padahal tak ada satupun dari mereka yang salah.

*****

"Akhirnya, selamat tinggal ujian. Selamat datang makanan. Kenyang aku makan persoalan apalagi persoalan matematika, kimia sama fisika hadeh," curhat Citra.

"Hehehe. Nanti ke rumah aku yuk, aku mau buat soto Sokaraja. Sekalian nanti kita ajak Dito."

"Soto Sokaraja? Mau-mau. Dit ...."

"Iya, gak usah teriak-teriak." Dito duduk di dekat Risa.

"Kenapa?"

"Ke rumah aku. Aku masak Soto Sokaraja."

"Oke. Sekarang aja yuk."

"Ayuk."

Citra dan Dito mengikuti Risa. Sepanjang jalan menuju gerbang mereka tertawa bersama. Citra dan Risa naik angkot sedangkan Dito mengendarai motornya.

Sampai di rumah, Risa segera menghangatkan kuah sotonya, membuat sambal, menyiapkan bihun dan tauge. Tadi pagi dia dan eyangnya sudah menggoreng ayam dan kerupuk, menggoreng kacang tanah dan menghaluskannya. Risa segera meracik soto untuk kedua sahabatnya kemudian menghidangkannya.

"Silakan dimakan."

"Horeeee."

Citra dan Dito makan dengan lahapnya.

"Mmmm ... enak ... nyami," celetuk Dito.

"Hemmm ... akhirnya bisa makan soto ini lagi. Kangen tahu gak Ris."

"Hehehe. Maaf baru bisa bikinin lagi. Nanti kalau mau tambah tinggal ngambil ya. Udah aku racikin. Aku mau nganter buat tetangga sebelahku dulu."

"Oke," sahut kedua temannya kompak.

Risa membawa lima mangkok soto sokaraja komplit. Dimana sambal dan kuahnya dipisah. Hal ini bertujuan agar soto bisa dimakan kapan saja. Dan Tante Maira tinggal memanaskan kuahnya.

"Wah, kamu bikin soto Nduk."

"Iya Tante, nanti Tante tinggal manasin kuahnya aja."

"Iya-iya kebetulan si kembar masih di sekolah, Om Fatih juga masih kerja. Cuma ada Abizar tuh di teras belakang sama temannya. Jatahnya Tante buat temannya Abi aja."

"Di rumah masih banyak Tan, ntar Risa racikin satu lagi buat temennya Kak Abi."

"Okelah, tapi Tante harus ke tempat Bu Mulyo dulu ini mau arisan. Boleh minta tolong panggilin Abi sama Rangga biar pada makan dulu."

"Oke."

Risa segera menuju teras belakang untuk memanggil Abizar. Sampai disana, Risa tertegun karena namanya sedang masuk dalam pembicaraan.

"Rencana kamu berhasil rupanya."

"Rencana yang mana?"

"Rencana biar Risa melihat dengan mata kepalanya sendiri, apa maksud Arjuna deketin dia."

"Ooo."

"Kamu kok tahu sih kalau Arjuna emang ada maksud tertentu sama Risa."

"Nalar aja lah Ngga, orang dengan tampang kayak dia kok mau deketin Risa. Kalau bukan karena tulus ya pasti ada maunya."

"Iya. Tapi kok kamu sadar kalau Arjuna gak tulus."

"Feeling aja. Kayaknya gak mungkin seorang Arjuna begitu tergila-gila sama Risa."

"Iya sih, pas aku pancing Arjuna. Ngaku juga dia kalau pengin bikin Risa berubah jadi cantik. Kayaknya bangga dia kalau misinya berhasil. Apalagi aku dapat info tambahan dari Dani teman sekelasnya, kalau Risa jadi bahan taruhan tahu."

"Yang bener?"

"Beneran, kalau berhasil Arjuna bakalan di traktir liburan ke Bali sama temen-temennya."

"Dasar Arjuna," lirik Abizar namun matanya berkilat marah.

"Hahaha, kamu kenapa Bi?"

"Gak."

"Hahaha. Kamu marah ya Risa jadi bahan taruhan?"

"Ya iyalah. Lagian Risa polos banget, gak mungkinlah orang kayak Arjuna mau pacaran sama dia. Orang mantannya Arjuna cantik semua."

"Tinggi, langsing, putih dan gak tonggos giginya. Hahaha. Itu kan maksud kamu Bi."

"Hemmm."

"Lagian kalau Risa cantik, pasti tetangganya yang udah jadiin dia pacar kan Bi? Buktinya si tetangga malah cenderung cuek sama Risa, malah kayaknya ogah deket-deket juga hahaha."

Abizar hanya menatap sinis ke arah Rangga.

"Apa? Aku bener kan? Kalau Risa cantik pasti kamu udah jadiin dia pacar dari dulu, tapi buktinya enggak kan? Bukankah artinya dia gak cantik di mata seorang Abizar hahaha."

Mata Risa mulai berkaca-kaca. Cukup. Cukup sudah. Risa segera berbalik dan memilih keluar rumah. Hatinya sakit. Sakit tapi tak berdarah. Rupanya semua orang memang selalu melihat kekurangannya. Risa segera menuju ke rumahnya. Sesampainya disana, Risa segera menumpahkan tangisnya. Kepada kedua temannya dia beralasan sedih karena dia akan pindah sekolah padahal tangisnya lebih dikarenakan perkataan Abizar dan temannya tentang dirinya.

"Kenapa kamu gak bilang? Hiks ... hiks ... hiks ... terus aku mesti duduk sama siapa? Kalau ada PR sama ulangan aku nyontek siapa?"

"Kamu kok jahat sih Ris, jadi soto ini tanda perpisahan kita. Jadi mulai hari senin kita gak bakalan ketemu lagi."

"Maaf ... maaf ... aku sama Eyang terpaksa. Rumah ini udah dijual. Kita udah gak punya apa-apa lagi sekarang. Makanya kita mau balik kampung."

"Risa ...."

"Citra ...."

Risa dan Citra saling berpelukan dan menangis. Dito sendiri hanya bisa melihat keduanya dan ikut menitikkan air mata.

"Udah ah, jangan nangis lagi. Ayuk kita seneng-seneng hari ini. Foto-foto biar ada kenangan," ajak Citra.

"Bener, pasang kamera kamu Cit, aku juga," seru Dito antusias.

Mereka pun berfoto bersama sebagai kenang-kenangan terakhir untuk ketiganya. Entah kapan lagi mereka akan bertemu.

*****

"Beneran gak makan dulu Ngga."

"Gak usah. Duluan Abi."

"Oke, hati-hati."

"Iya."

Setelah motor Rangga tak kelihatan lagi, Abizar menoleh ke rumah Risa. Hem ... terlihat motor Dito disana dan suara gelak tawa dari dalam rumah. Abizar tersenyum mendengar suara Risa yang tampak bahagia bersama kedua sahabatnya.

Abi memutuskan masuk ke dalam rumah dan menuju meja makan. Saat membuka tutup saji, Abizar tersenyum melihat makanan favoritnya, soto Sokaraja. Hem ... pasti Risa.

Abi langsung mencari kuah soto yang ternyata ada di panci. Dia langsung memanaskannya dan mengambil kuah untuk dituangkan di salah satu mangkok yang berisi racikan soto. Kemudian dia menambahkan sambal dan kecap. Hem ... enak.

Abizar memakannya dengan lahap. Sesekali bibirnya tersenyum mengingat tentang Risa. Sementara itu, Risa tengah berpelukan dengan Citra dan kemudian bersalaman dengan Dito.

"Kamu harus menghubungi aku ya Ris kalau sudah sampai."

"Iya Cit."

"Apa harus nanti malam Ris berangkatnya?" Kini Dito yang bertanya.

"Hari minggu yang membeli mau merobohkan rumah ini. Katanya mau dibangun kos-kosan yang bagus. Lagian aku udah bawa surat pindahku dan tempat buat aku selanjutnya juga udah disiapkan oleh temannya Eyang."

"Ya sudahlah, pokoknya jangan lepas komunikasi ya Ris sama aku dan Citra."

"Insya Allah."

"Kita pulang Ris."

"Iya, hati-hati."

Risa mengantar kedua temannya hingga mereka sudah tak terlihat lagi. Mimik mukanya terlihat sedih kembali.

"Makasih."

Risa menoleh ke sumber suara. Risa bisa melihat Abizar tengah menatapnya dengan senyum yang sangat manis. Senyum yang selalu ia sukai sejak dulu, sejak lima lima tahun yang lalu."

"Ris ... Risa ... Risa. Hei ... kamu kenapa?"

Risa mengerjap-ngerjapkan matanya. Tanpa banyak kata dia langsung menuju ke dalam rumahnya. Abizar melongo, Risa kenapa? Apa dia punya salah sama Risa?

*****

Risa tengah bermain dengan si kembar sedangkan Eyangnya tengah berbincang hangat dengan Fatih dan Maira. Abizar sendiri memilih menjadi pendengar dan sesekali melirik ke arah Risa. Abizar merasa Risa sangat aneh, meski mereka jarang bicara tapi Risa selalu ramah padanya. Hingga sore tadi, Risa seperti berbeda. Tatapannya penuh kebencian dan luka. Tapi kenapa?

"Ris ... udah malam ayuk pulang."

"Iya Eyang."

Risa segera menghampiri eyangnya. Dia langsung pamitan pada kedua orang tua Abizar, mencium tangannya penuh hormat dan memeluk Maira dengan hangat. Tak lupa Risa memeluk dan mencium si kembar dengan gemas.

"Ih ... Mbak Risa ini nyium kita kayak gak pernah nyium aja," celetuk Athaya.

"Hooh. Kaya mau pamitan," sambung Asyila.

"Lah kan pamitan mau pulang twins."

"Oh iya lupa ya Atha, rumah Mbak Risa kan jauh. Jauuuuh banget."

"Iyes ... kan perlu muteri Jakarta dulu baru ke sebelah ya kan Syila."

"Betul."

Semua tertawa kecuali Abizar, dia hanya menatap Risa penuh selidik. Risa sendiri memilih membuang muka saat tatapannya bertubrukan dengan Abizar.

Setelah sampai di rumahnya. Risa dan eyangnya langsung berganti pakaian. Risa memakai kaos pendek, celana jeans dan cardigan yang warnanya sudah memudar. Risa duduk di tepi ranjang dan mengamati setiap ruangan yang sebentar lagi akan dia tinggalkan. Lama dia termenung dan mengingat semua kenangannya di kamar ini. Hingga pukul sebelas kurang lima belas menit, Risa berdiri dan menuju ke ruang tamu dengan menyeret tas jinjing dan tas ranselnya.

Risa dan Eyangnya keluar rumah. Setelah menaruh kunci rumah di antara pot bunga, Risa dan Eyangnya langsung berjalan menyusuri gang setapak. Suasana sangat sepi hingga mereka sampai di tepi jalan raya.

Mereka menunggu hingga sebuah mobil travel menghampiri keduanya. Risa dan eyangnya langsung masuk ke dalam mobil setelah menaruh tas di bagasi. Mobil melaju menyusuri kota Jakarta. Dalam hati Risa bermonolog, selamat tinggal Jakarta. Selamat tinggal kesedihan.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel