Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

9. Mengharap Restu

Marchel sudah dapat sinyal dari Bram sebagai tanda merestui kedekatannya dengan Asha. Proses penjajakan Marchel terhadap Asha sepertinya seperti gayung bersambut, karena keduanya saling menyukai antara satu dengan yang lainnya. Namun perjalanan cinta Marchel dan Asha bukan tanpa halangan. 

Sebagai anak tunggal tentunya orang tua Marchel menginginkan jodoh yang terbaik. Sementara Asha posisinya sendiri bukanlah gadis lagi. Terlebih Asha sudah memiliki anak. Tentunya Marchel harus mempunyai alasan yang cukup untuk menjelaskan pada kedua orang tuanya. Inilah yang menjadi ganjalan bagi Asha untuk memiliki Marchel seutuhnya. 

Marchel memang terlihat sangat bahagia dengan restu yang di berikan Bram. Tapi, dia sendiri juga ragu untuk menghadapi kedua orang tuanya. Bagi Asha, ini adalah persoalan yang cukup serius harus ia pertimbangkan. Memang Marchel meyakini Asha bahwa kemungkinan besar orang tuanya bisa menerima Asha. 

Sambil terus memeluk Marchel, Asha mengemukakan kekuatirannya terhadap restu kedua orang tua Marchel,

"Mas.. aku sih yakin kalau Om Bram merestui hubungan kita. Tapi, aku ini apa sih mas? Hanya berharap banyak bisa masuk dalam keluarga mas yang begitu terhormat," Ucap Asa

"Asha, tidak ada yang tidak mungkin kalau Tuhan memang sudah tentukan kita berjodoh. Tugas kita berdua adalah berupaya agar Tuhan menetetapkannya."

Asha agak bingung mendengar jawaban Marchel yang tidak terjangkau dengan pikirannya. Lama dia berusaha untuk memahami. Tapi, memang keterbatasannya dalam memahami ucapan Marchel, karena kesenjangan pikiran antara mereka berdua, "Maksudnya gimana mas? Mas kok nadanya pesimis gitu?"

"Gini Asha.. sebagai manusia kita tidak bisa melakukan apa-apa tanpa di Ridhoi Allah. Ridho Allah itu dasarnya adalah Ridho kedua orang tua." Jelas Marchel. "Kita masih punya banyak waktu untuk saling menjajaki, mas akan berusaha meminta Ridho orang tua mas dulu." Lanjut Marchel

Secara panjang lebar, Marchel terus memberikan penjelasan pada Asha, sampai akhirnya Asha benar-benar mengerti. Menurut Marchel tidak ada yang perlu di buru-buru. Marchel lebih memilih proses yang alami dan memasrahkan semuanya kepada kehendak Tuhan. 

Sebagai laki-laki dia berusaha untuk menjaga diri agar tidak mengikuti hawa nafsunya. Meskipun sekarang sudah terbuka lebar dia bisa melakukan apa saja terhadap Asha. Tapi, dia ingin menghargai Asha sebagai perempuan baik-baik, agar kalau memang di takdirkan berjodoh dia berharap Asha sudah berubah seperti yang ia harapkan. 

"Asha, kalau mas sudah siap menerima kamu nanti dan keluarga mas juga begitu, itu artinya mas juga sudah siap untuk menyayangi Brama. Bukan cuma itu.. mas akan usahakan agar orang tua mas juga sayang sama kamu dan Brama, makanya kamu harus sabar ya?" Ucap Marchel

"Aku sekarang ikut apa yang menjadi keputusan mas aja, aku juga harus mempersiapkan mental untuk menghadapi kondisi yang terburuk sekali pun."

Asha dan Marchel terlihat begitu mesra, Marchel pun memperlihatkan kalau dia memang mencintai Asha. Marchel memperlakukan Asha dengan sangat baik. Dia tidak ingin kalau Asha merasa dia tidak sungguh-sungguh ingin menikahi Asha. 

Marchel sama sekali tidak pernah menyinggung status Asha yang sudah tidak gadis lagi. Bagi Marchel itu bukanlah halangan bagi cintanya. Marchel sangat yakin kalau Asha bisa diajak menjadi isteri dan ibu rumah tangga yang baik. Dengan kecukupan fasilitas yang diberikan Bram, tidak pernah dia salah gunakan. 

Asha sangat tahu diri, dia harus menjaga kepercayaan Bram yang begitu besar padanya. Asha juga sangat bersyukur kalau Bram tidak marah saat memergoki dia sedang berpelukan dengan Marchel. Padahal dia pikir Bram akan sangat murka. Tapi bagi Bram, Asha adalah ibu dari anaknya yang patut dia kasihani. 

Bram juga berpikir bahwa dia tidak bisa membahagiakan Asha. Ternyata apa yang dia rencanakan, sekarang sudah berbuah hasilnya. Marchel menjadi dekat dengan Asha, dengan begitu dia punya cukup alasan nantinya melepaskan Asha pada Marchel. 

"Om Bram ngomong apa aja mas waktu di kantor? Aku takut mas di marahi Om Bram dan dipecat dari kerjaan."

"Kamu jangan ge-er ya kalau mas bilang? Om Bram tanya gini, kamu jawab yang jujur, kamu suka ya sama Asha?"

"Terus mas jawab apa?" Tanya Asha dengan manja

"Mas bilang gini.. saya kasihan sama Asha dan Brama," Jawab Marchel dengan mimik muka yang serius.

"Ooo.. jadi mas cuma kasihan ya sama aku?" Asha bertanya dengan sewot

"Ntar dulu dong, kan belum selesai ngomongnya, terus mas bilang gini, Bapak percaya kalau saya jatuh cinta sama Asha? Mas tanya gitu, terus om Bram jawab, Saya sangat percaya, dan itu adalah sesuatu yang wajar, kamu sangat tahu kalau saya selalu mempercayai kamu, Tapi.. ada satu hal yang tidak saya inginkan, kata Om Bram..,"

Marchel tidak meneruskan pembicaraan, sehingga membuat Asha semakin penasaran. Asha sudah mulai tersanjung oleh Marchel yang suda membangun suasana kehangatan diantara keduanya. Asha semakin memeluk Marchel dengan mesra. Dia sudah begitu yakin kalau cintanya tidak bertepuk sebelah tangan.

Asha mencium pipi Marchel sebagai ungkapan terima kasih, karena Marchel sudah mengungkapkan perasaannya di depan Bram. Marchel menjelaskan syarat yang diberikan Bram, bahwa dia tidak boleh cuma mencintai Asha, tapi harus juga meyayangi Brama. 

Asha sangat berterima kasih atas kebesaran hati Bram. Hal itu dia ungkapkan pada Marchel, dan Marchel juga sama. Pengertian dari Bram itu sangat berarti bagi mereka berdua. Hambatan cinta mereka bukan lagi pada Bram. Asha merasa perjalanan cinta mereka masih jauh kalau belum mendapat restu dari kedua orang tua Marchel. 

Sangat terlihat kalau Marchel membawa hubungan mereka ke arah hubungan yang normal, seperti hubungan percintaan pada umumnya. Tidak di bumbui dengan nafsu yang menggebu. Dan semua itu karena Marchel mampu menjaga hubungan tersebut, menghargai hubungan itu sebagai sesuatu yang sakral. 

Marchel masih belum menjawab pertanyaan Asha, dan Asha pun sudah lupa dengan apa yang di tanyakannya pada Marchel, karena hatinya sedang berbunga-bunga. Cintanya pada Marchel bak gayung bersambut, meskipun perjalanan cinta mereka masih banyak rintangannya.

Marchel dan Asha bercengkrama layaknya anak muda seusia mereka. Marchel sangat mencintai Asha. Restu yang di berikan Bram baru merupakan pembuka jalan bagi kelanjutan hubungan mereka. Hal terberat yang harus mereka lalui adalah justeru mendapatkan Restu kedua orang tua Marchel yang berpikiran masih sangat konservatif.

Memang tidak ada yang mudah bisa di raih. Tapi, bukan juga sesuatu yang sulit. Segala sesuatu menjadi mudah kalau Allah memudahkannya. Itulah manusia di wajibkan untuk berikhtiar untuk mencapai Ridho-Nya, karena dengan Ridho-Nya lah semua usaha manusia bisa tercapai. Marchel sangat memahami hal itu, sehingga dia tetap berikhtiar untuk mendapatkan restu kedua orang tuanya

Bersambung..

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel