Extra Bab 6 Luka yang Tak Minta Ditemani
Dimas mulai terbiasa dengan hidup barunya. Tapi luka tidak pernah benar-benar pergi. Ia tak lagi menangis, tapi kadang bangun tengah malam hanya untuk menatap langit kosong.
Sesekali, ia menulis surat untuk seseorang yang tak lagi bisa ia kirimi surat. Kadang ia biarkan surat itu terbakar, kadang ia simpan dalam kotak kecil yang dikuncinya rapat.
Hari-harinya seperti jalan panjang tanpa peta. Tapi langkahnya tetap maju, meski pelan.
***
Nadine, gadis magang yang perlahan mendekat ke hidup Dimas, mulai menunjukkan perhatian yang lembut.
Ia tidak menuntut tahu masa lalu Dimas, tapi ia menemaninya dengan cara paling tenang dengan mendengarkan, bukan bertanya.
Dimas sering melihat Anita dalam wajah Nadine. Tapi ia juga tahu, Nadine bukan Anita. Dan itu justru yang membuatnya tenang.
Karena kali ini, hatinya punya ruang untuk cinta baru yang tumbuh tanpa luka.
***
Suatu hari, Dimas menerima paket. Di dalamnya, sebuah buku yang pernah ia cari bertahun-tahun yaitu buku harian ibunya yang hilang.
Tidak ada pengirim. Hanya satu kertas kecil.
“Beberapa kenangan tidak bisa dimiliki. Tapi bisa dipeluk, diam-diam, setiap malam.”
Dimas tahu… itu dari Anita.
***
Bara muncul di hari wisuda Dimas. Dengan rambut yang mulai memutih dan wajah yang lebih lelah dari biasanya.
“Aku gak pernah bisa benar-benar jadi suami untuk Anita,” kata Bara. “Karena hatinya bukan untukku. Tapi aku juga gak bisa jadi ayah yang utuh kalau kamu terus menjauh.”
Dimas memeluknya. Tak ada kata yang bisa lebih jujur dari pelukan.
Dan untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun… mereka pulang ke rumah yang sama.
Nadine membaca salah satu tulisan lama Dimas. Di sana disebutkan nama Anita.
Ia tidak marah. Tidak cemburu. Tapi ia menangis. Bukan karena Dimas belum sepenuhnya sembuh, tapi karena ia sadar bahwa ia mencintai seseorang yang pernah patah terlalu dalam.
“Kalau kamu belum siap mencintaiku sepenuhnya, gak apa-apa,” kata Nadine. “Aku akan menunggu, bukan untuk dimiliki… tapi untuk bisa bersamamu tanpa bayangan siapa pun lagi.”
***
Dimas mendapat email dari yayasan tempat Anita mengajar.
Anita jatuh sakit. Kelelahan. Mereka memintanya istirahat, tapi ia menolak meninggalkan anak-anak yang ia ajar.
“Dia bilang, hidupnya hanya benar-benar berarti saat bisa membuat orang lain sembuh,” ujar koordinator yayasan.
Dimas tak membalas. Tapi malam itu, ia bermimpi. Dalam mimpinya, Anita tersenyum… dan pelan-pelan menghilang di antara kabut.
***
Dimas pergi ke desa tempat Anita tinggal.
Tapi ia tidak datang menemuinya.
Ia hanya berdiri di kejauhan, melihat dari balik pohon, saat Anita tertawa bersama anak-anak kecil.
Dia tampak kurus. Tapi bahagia.
Dan Dimas tahu… ia tak perlu menyentuh Anita lagi untuk bisa mengucap selamat tinggal yang sebenar-benarnya.
Dimas dan Bara perlahan memperbaiki rumah tua mereka.
Mereka cat ulang dinding, tanam pohon baru, dan bersihkan kamar yang dulu penuh kenangan Anita.
Dan Dimas mulai menulis lagi. Kali ini, tentang laki-laki yang mencintai dua perempuan, satu yang mengajarinya ikhlas, dan satu lagi yang menuntunnya pulang.
***
Dimas melamar Nadine. Bukan dengan cara mewah. Tapi dengan satu kalimat sederhana:
“Aku gak janji melupakan masa laluku. Tapi aku janji akan menghabiskan masa depanku hanya dengan kamu.”
Dan Nadine menjawab, sambil menangis:
“Cintamu yang pernah terluka… tidak membuatku takut. Justru itu yang membuatku percaya, kamu tahu cara menjaga.”
***
Di hari pernikahannya, Dimas berdiri di depan cermin. Ia mengambil satu surat terakhir dari sakunya.
Surat itu ia tulis untuk Anita, tapi tak pernah dikirim.
Ia membacanya pelan, lalu melipatnya dan meletakkannya dalam kotak kecil di altar, diam-diam.
Dan saat ia menggandeng tangan Nadine, hatinya berbisik:
“Terima kasih, Anita. Karena pernah menjadi rumahku.
Dan hari ini… aku membangun rumah baru.
Tapi cinta yang dulu takkan pernah ku ingkari.
Karena kamu adalah luka yang mengajariku cara mencintai, tanpa harus memiliki.”
