Apa Dia Akan Hamil
Beatrice turun dengan cekatan dari kursi kemudi mobil mewah itu, membuka pintu belakang dengan gerakan elegan. Dari dalam mobil, seorang pria berpostur tinggi dengan tubuh kekar keluar dengan gaya berwibawa, mengancingkan jasnya yang rapi. Wajahnya tampan, dan auranya memancarkan karisma yang tak terbantahkan.
Di sepanjang sisi karpet merah, para pengawal yang berjaga berdiri tegak dan segera membungkukkan badan, menunjukkan penghormatan penuh pada pria itu.
Beatrice melangkah cepat, mengikuti Tyson yang berjalan penuh percaya diri menuju pintu utama gedung. Ia menjaga langkahnya tetap rapi, meski menjadi sorotan banyak pasang mata. Memang, perhatian di kantor itu kerap tertuju pada Beatrice. Baik karena pesonanya maupun hubungannya yang erat dengan Tyson, yang merupakan atasan mereka.
Mata Tyson sempat menyapu ke arah para karyawan yang mencuri pandang pada Beatrice. Ia menyipitkan mata seolah memberikan peringatan diam-diam, lalu melanjutkan langkahnya tanpa mengatakan apa pun.
Setelah menaiki lift menuju lantai atas, Beatrice akhirnya menuju meja kerjanya. Meja itu berada di area kerja yang luas, tempat beberapa karyawati lainnya sibuk dengan dokumen dan komputer mereka.
“Beatrice!” seru Heza dengan semangat, meski menahan volume suaranya. Temannya itu melambaikan tangan dengan antusias, wajahnya berseri-seri saat melihat kedatangan Beatrice.
Heza segera menghampiri dan memeluknya erat. “Cepatlah mencari pasangan, aku sudah lelah menjadi target pertanyaan semua orang di sini. Mereka terus menanyakan hal-hal tentangmu, dan aku yang harus menjawab!” keluh Heza, mengerutkan kening dengan ekspresi kesal yang lucu.
Beatrice hanya tertawa kecil mendengar keluhan sahabatnya itu. “Kamu bisa bilang saja kalau kamu kekasihku,” katanya dengan nada bercanda.
Tanpa ragu, Heza tersenyum lebar dan menggenggam lengan Beatrice dengan penuh gaya. “Ide bagus!” balasnya, tertawa kecil.
Sambil tertawa bersama, Heza kemudian menepuk lengan Beatrice dengan nada mengajak. “Nanti malam tidur di apartemenku, ya?” tawarnya. Beatrice mengangguk tanpa ragu, membuat Heza tampak girang seolah ajakannya adalah kemenangan besar.
“Nona Creya, Anda tidak bisa masuk. Tuan Tyson baru saja tiba, dan beliau tidak bisa diganggu,” ujar seorang karyawati dengan nada tegas namun sopan. Ia berdiri tegak, berusaha menghalangi langkah seorang wanita tinggi semampai yang tampak memukau. Tubuhnya yang ramping dan proporsional mencerminkan keanggunan seorang model profesional.
Namun, pesona dan postur elegan Nona Creya tidak membuatnya mengurangi tekad. Dengan dagu terangkat dan mata tajam, ia terus melangkah mendekati pintu ruangan Tyson, meski karyawati tersebut bersikeras menahannya.
Dari meja kerjanya, Beatrice yang tengah sibuk dengan dokumen, menangkap keributan kecil itu. Ia segera berdiri, memperhatikan situasi saat Nona Creya semakin dekat ke pintu. Langkahnya mantap mendekati kedua wanita tersebut.
“Ada apa?” tanya Beatrice, suaranya tenang namun penuh kewibawaan.
Karyawati itu menoleh cepat, tampak lega dengan kehadiran Beatrice. “Maaf, Bu Beatrice. Nona Creya memaksa ingin bertemu dengan Tuan Tyson,” jawabnya sambil melirik ke arah Creya yang tetap berdiri anggun namun terlihat tidak sabar.
Beatrice mengangguk kecil, memberikan isyarat pada karyawati itu untuk kembali ke mejanya. “Saya akan menangani ini,” katanya singkat namun tegas.
Dengan penuh percaya diri, Beatrice berbalik menghadap Creya, siap untuk menyelesaikan situasi tersebut dengan cara yang bijaksana.
“Maaf, Nona Creya. Tuan Tyson baru saja tiba. Anda mungkin bisa kembali saat makan siang. Saat ini, beliau sedang sibuk dengan beberapa urusan terkait persiapan pembukaan cabang baru perusahaan,” ujar Beatrice dengan suara lembut, ramah, dan senyum tulus yang tak meninggalkan wajahnya.
Creya, dengan gaun mewah dan postur anggun, menyunggingkan senyum miring penuh sinis. “Kau tahu siapa aku?” tanyanya tajam, suaranya memancarkan rasa superioritas.
Beatrice tetap tenang, bahkan saat mata-mata para karyawan mulai tertuju pada mereka. “Maaf, Nona, jika saya tidak mengenali Anda. Namun, tugas saya adalah memastikan jadwal Tuan Tyson tidak terganggu. Anda bisa menunggu di ruang tunggu atau kembali pada jam makan siang,” jawab Beatrice sopan.
Namun, bukannya tenang, ucapan itu justru membuat emosi Creya memuncak. Dengan gerakan cepat, ia melayangkan tamparan keras ke pipi Beatrice. Suara tamparan itu menggema di ruangan, membuat para karyawan terperangah. Mereka melotot tak percaya, menyaksikan keberanian Creya menyentuh sosok Beatrice, yang selama ini dikenal sebagai “emasnya” Tuan Tyson.
“Beatrice!” seru Heza yang berdiri tak jauh dari sana. Dengan wajah memerah oleh amarah, ia langsung melangkah maju, siap membela sahabatnya. Namun, sebelum ia sempat bertindak, Beatrice menahan lengannya dengan tenang.
“Tidak apa-apa, Heza,” bisiknya, tetap mempertahankan sikap profesional meski bekas tamparan di wajahnya mulai memerah.
Beatrice menatap Creya dengan pandangan netral, tanpa menunjukkan rasa marah atau sakit hati. “Sekali lagi, saya mohon maaf jika ini membuat Anda tidak nyaman, Nona. Saya hanya menjalankan tugas. Jika Anda bersedia menunggu, saya akan memastikan Anda dilayani sebaik mungkin,” ucapnya, tetap menjaga nada sopan.
Creya semakin geram melihat Beatrice yang sama sekali tidak tergoyahkan oleh tindakannya. Aura tenang Beatrice hanya memperbesar rasa frustrasi Creya, membuat suasana di ruangan itu semakin tegang.
"Asal kamu tahu, aku ini tunangannya Tyson!" suara Creya meninggi, nyaris membelah keheningan ruangan. Ia menatap tajam ke arah Beatrice, seolah ingin menekankan posisinya yang lebih tinggi. "Untuk apa aku harus izin untuk bertemu dengannya? Terlebih, mendengarkan ucapanmu?! Aku bisa menemui calon suamiku kapan saja! Mengerti?" bentaknya keras, wajahnya mendekat ke Beatrice, membuat suasana semakin memanas.
Semua karyawan yang menyaksikan hanya bisa saling bertukar pandang, wajah mereka mencerminkan rasa cemas yang mendalam. Tetapi, anehnya, kecemasan itu bukan untuk Beatrice—melainkan untuk Creya. Mereka tahu betul bagaimana Tyson melindungi Beatrice, dan apa yang akan terjadi jika Creya melampaui batas.
Belum sempat suasana mereda, suara pintu yang terbuka mengalihkan perhatian semua orang. Perlahan, sosok Tyson muncul, tubuh tegapnya berdiri di ambang pintu. Pandangannya dingin menyapu ruangan, membuat udara terasa lebih berat. Tatapan tajamnya seperti belati yang menusuk langsung ke inti keributan.
Semua orang menahan napas, rasa tegang melingkupi ruangan. Creya, yang semula penuh kemarahan, tiba-tiba mengubah sikapnya dalam sekejap. "Tyson!" serunya dengan nada centil dan penuh manja. Dengan langkah ringan dan gerakan yang dibuat-buat, ia segera menghampiri Tyson, memasang ekspresi memelas.
“Tampar balik!” semua langsung terdiam dengan ucapan ambigu Tyson.
Beatrice sedikit membuka kedua matanya tak percaya dengan apa yang ia dengar.
“Apa perlu aku mengatakannya dua kali?” tanya Tyson dengan dingin membuat Beatrice terdiam.
Plak
Semua menganga tanpa mengeluarkan suara kala melihat Beatrice kali pertamanya bersikap kasar, itupun atas perintah Tyson.
Creya membuka mulutnya tak percaya kala dirinya dipermalukan di depan banyak orang.
“Kamu meminta sekretaris tidak berguna ini untuk membalas tamparanku? Kamu sungguh mempermalukanku dengan cara seperti ini?” tanya Creya dengan marah namun sebisa mungkin ia mengatur nada suaranya.
Tyson memasukkan kedua tangannya dan berkata pada Beatrice, “Batalkan kontrak yang sedang kamu buat untuk perusahaan Gever. Putuskan semua kontak dengan perusahaan Gever, apapun itu, termasuk surel.” Tyson lalu melenggang pergi untuk kembali masuk ke dalam ruangannya.
“Tyson, jika kau lupa beberapa bulan yang lalu kau mengemis untuk meminta kerja sama dengan papaku, kau yakin akan membatalkannya demi sekretarismu ini?” Tyson berbalik dan menatap Creya dengan senyuman picik.
“Bukan demi dia, melainkan aku benci bekerja sama dengan orang yang tidak punya dedikasi dan memiliki mulut sampah sepertimu, cepat pergi sebelum orangku menyeretmu,” ketusnya lalu kembali masuk ke dalam ruangannya.
Creya mengepalkan tangannya dengan erat kala mendengar ucapan Tyson yang menyakiti hatinya, itu sungguh menyakitkan.
Creya beralih menatap Beatrice tajam, “Aku tidak akan lupa dengan apa yang terjadi hari ini!” Ia lalu pergi karena semua perhatian tertuju padanya.
“Yaaaa, ini kali pertamanya aku melihat tuan Tyson membela seseorang, terutama perempuan, ada apa diantara kau dengannya?” goda Heza membuat Beatrice berdecak dan mencubit pelan lengannya.
“Beatrice!” panggil Tyson dingin membuat Beatrice langsung bergegas untuk datang.
Semua terlihat ketar-ketir begitu Beatrice masuk ke dalam ruangan Tyson.
Terlihat Tyson berdiri di dekat jendela yang membentang besar menampilkan pemandangan gedung-gedung pencakar langit tersebut.
“Ada yang perlu saya urus tuan?” tanya Beatrice dengan ramah.
Tyson berbalik dan menatap Beatrice dengan dingin, “Kenapa kartu yang kuberi kau kembalikan? Apa uangnya kurang?” pertanyaan itu terdengar sangat ketus dan terkesan marah.
Beatrice langsung menggeleng dengan keras membantah tuduhan Tyson, “Tidak tuan, kartu sebelumnya masih saya pegang. Nominal yang anda berikan cukup besar. Itu sudah lebih dari cukup.” Bukannya anggukan atau respon baik yang Tyson berikan, ia langsung mencengkeram erat leher Beatrice.
“Kau sedang mengujiku?” Beatrice menggeleng seraya memegangi tangan Tyson.
Dengan tatapan tajam Tyson berkata, “"Beatrice, apakah kau lupa siapa aku? Jikalau aku memberimu sesuatu, itu bukan untuk ditolak. Aku tidak peduli apa yang kau pikirkan tentang harga dirimu atau keangkuhanmu—aku hanya peduli satu hal, kau mendapatkan apa yang kau butuhkan, tanpa pengecualian. Jangan pernah mencoba mengembalikan sesuatu dariku lagi. Jika kau melakukannya, aku akan memastikan kau tidak punya tempat untuk lari dari perhatian dan kontrolku. Aku Tyson, dan jika aku sudah menginginkan sesuatu, itu mutlak terjadi. Jadi, simpan kartu itu, dan berhenti membuatku kehilangan kesabaran." Tyson melepas cengkramannya.
Tyson membuang napasnya dan memalingkan wajahnya ke arah lain.
“Minum obatmu dengan rutin, jangan sampai terlewatkan satu haripun,” tekan Tyson mengingatkan pada Beatrice.
Beatrice tersenyum dan menjawab, “Saya akan mengingatnya dengan baik untuk minum setiap hari.” Tyson langsung berjalan ke kursinya.
“Nanti malam temani aku makan malam!” Beatrice menatap Tyson tak percaya. Baru saja rencana tidur di apartemen Heza diagendakan, Tyson sudah meminta dirinya untuk menemaninya.
Tyson yang tidak mendengar ucapan atau jawab Beatrice langsung menoleh, “Kau tidak dengar?” Beatrice langsung tersadar dari lamunannya.
“Baik tuan!” Beatrice lalu keluar untuk kembali ke mejanya.
Tyson menghela napas dengan gusar, bayangan darah di sprei tadi terus terngiang di kepalanya.
“Apa dia akan hamil?” gumam Tyson cemas.
