Bab 6
Tangan kurus pucat dengan kuku hitam panjang itu, perlahan menjulur keluar, mencoba meraih belati tua berkarat yang tergantung di dinding gudang. Belati yang dulu kubayangkan hanya mainan anak-anak. Arman terpaku, kaki membeku di lantai, membeku oleh kengerian yang tak terlukiskan.
“Man, tangan apa itu?"bisik Bima, suaranya tercekat di tenggorokan, lebih kecil dari biasanya. “Itu bukan tangan manusia, kan? Jangan bilang itu tangan zombie yang mau minjem belati buat potong kuku.”
Arman menggeleng, tidak mampu mengeluarkan suara. Matanya terpaku pada celah sempit, tempat jari-jari panjang mengerikan itu menggapai. Aroma tanah basah dan busuk semakin menyengat, membuat perutnya mual.
“Kita harus pergi dari sini, Man! Sekarang juga!” Bima menarik-narik lengannya dengan panik. “Ini bukan cuma hantu biasa, Man! Ini sudah level hantu kriminal! Nanti kalau kita mati di sini, siapa yang mau bayarin biaya makam kita?”
“Tidak,” gumamnya, akhirnya berhasil bersuara, meskipun serak.
“Kita tidak bisa pergi. Ada sesuatu di sana, Bim.”
“Sesuatu yang jahat, Man! Sudah jelas!” Bima beringsut mundur, matanya melotot. “Bim, lihat tangannya? Kukunya itu kayak habis nyongkel tanah kuburan. Dia pasti mau bunuh kita, Man! Atau paling, dia mau nyuruh kita gali kuburan buat dia!”
Tangannya yang memegang foto keluarga gemetar hebat. Foto Santi dan ibuku, dan ayahku. Apa hubungannya dengan tangan misterius di balik dinding? Kalung Santi yang tadi terjatuh kini memancarkan cahaya redup, seolah memberi petunjuk, menerangi celah sempit pada papan dinding yang longgar.
“Coba lihat,” ujarnya, mendorong Bima sedikit agar ia bisa melihat. “Celah ini, mungkin ada sesuatu yang tersembunyi di baliknya.”
Bima mengintip, lalu wajahnya makin pucat. “Gelap, Man. Saya nggak bisa lihat apa-apa, cuma bayangan hitam dan bau tanah. Jangan-jangan itu tempat sembunyi komplotan perampok hantu.”
Dengan memberanikan diri, Arman mendekat ke celah, mengabaikan ketakutan yang menggerogoti. Bima mencoba mengintip. Gelap, pekat, tapi kalung di lantai terus bersinar, seolah menjadi penunjuk arah. Arman memicingkan mata, berusaha menembus kegelapan di balik dinding. Lalu, Arman melihatnya. Sebuah ruangan kecil, sangat sempit, seolah dulunya adalah lorong yang disekat. Dan di dalamnya, tergantung beberapa benda.
“Apa yang kamu lihat, Man?” Bima mendekat, mencengkeram erat bajunya.
“Aku meliha,beberapa benda,” jawabnya, suaranya nyaris tak terdengar. “Dan ada, foto.”
“Foto apa, Man? Jangan-jangan foto hantu waktu mudanya,” Bima berbisik, nadanya masih kocak meski takut.
Arman memberanikan diri mendorong papan. Dengan bunyi Krek yang panjang dan berderit, papan itu sedikit terbuka, memperlihatkan celah yang lebih besar. Cahaya redup dari kalung Santi yang kini kuambil, masuk ke dalam celah. Di sana, tergantung beberapa helai kain lusuh yang terlihat seperti pakaian lama. Lalu, di dinding tanah yang lembap, aku melihatnya. Sebuah pigura kayu sederhana, tergeletak miring.
Arman mengambilnya, menariknya keluar dengan tangan gemetar. Debu tebal menempel, tapi saat Saya mengusapnya, sebuah gambar terungkap.
Ini adalah foto keluarga yang lain. Namun, kali ini, bukan hanya Ibu, Ayah, dan Santi. Ada seorang pria yang berdiri di samping Santi, merangkulnya erat. Pria bertubuh tegap, dengan senyum tipis, dan tatapan mata yang entah mengapa, terasa familiar. Wajah Santi di fotonya terlihat bahagia.
“Man, Siapa pria itu?"Bima memekik, melihat foto yang kupegang. “Itu bukan Ayahmu kan? Jangan-jangan Santi selingkuh sama pria lain? Makanya arwahnya gentayangan minta keadilan?”
Arman, menatap pria di foto itu. Sebuah ingatan samar menyeruak. Wajah itu akupernah melihatnya di album foto lama Ayah. Tapi kenapa Ibu tidak pernah membicarakan pria itu?
“Ini, ini sepertinya suami Santi,” ujarnya, pikiranku kalut.
“Jadi hantu anak kecil itu anaknya dia sama pria itu? Aduh, Man, ini jadi makin rumit,” kata Bima, memijat pelipisnya. “Kita lagi jadi detektif cinta segita arwah ini.”
Arman menyingkirkan foto, melihat lebih dalam ke ruangan sempit di balik dinding. Di sudut ruangan, ada sebuah kotak kayu kecil, terlihat sudah lapuk. Aku mengulurkan tangan dan menariknya keluar. Saat tutupnya kubuka, aroma melati yang kuat menyembur. Di dalamnya, ada beberapa barang pribadi milik Santi: sebuah sisir kayu, jepit rambut perak, dan sehelai sapu tangan yang disulam dengan inisial ‘S’.
Tapi yang paling menarik perhatiannya adalah sebuah surat yang terlipat rapi, terselip di dasar kotak. Kertasnya sudah menguning, tintanya sedikit pudar.
“Surat cinta, Man? Jangan-jangan surat wasiat,” Bima menduga, matanya penasaran.
Belum sempat aku meraih surat itu, sebuah tarikan keras tiba-tiba terasa di pergelangan kakinya. Dingin dan kuat, seolah ada tangan tak kasat mata yang mencengkeramku.
“Aduh!” Arman terhuyung, nyaris terjatuh.
“Man! Ada apa?!” Bima terlonjak.
Pandangannya beralih ke lantai. Tepat di samping kakinya, boneka hangus milik anak kecil itu kini berdiri tegak, memancarkan aura dingin. Matanya yang hangus seolah menatapnya, dan dari sana, terdengar suara bisikan lirih, suara tangisan anak kecil yang memilukan, seolah-olah boneka nya sedang menangis.
“Ayah, Ayah, dia bukan”
Aku menunduk, mencoba mendengar lebih jelas. Boneka itu bergetar, lalu tangisannya berubah menjadi tawa cekikikan, tawa seorang anak kecil yang riang, tapi entah mengapa, terdengar sangat menyeramkan di tengah kegelapan.
“Man! Bonekanya ketawa! Jangan-jangan dia kesurupan setan badut!” Bima berteriak, mundur beberapa langkah.
Saat arman masih terpaku pada boneka itu, sebuah dorongan kuat tiba-tiba menghantam punggungnya. Arman terhuyung ke depan, menabrak peti kayu besar di depannya dengan keras. Kepala terasa pusing, dan pandangannya kabur sesaat. Sebuah suara bisikan berat, jauh lebih gelap dari suara arwah Santi, berbisik tepat di telinganya.
“Kau tidak seharusnya tahu.”
Dunia di sekitarnya, merasa berputar. Arman merasakan tubuhnya ambruk ke lantai, kegelapan pekat menelan pandangannya. Samar-samar, Arman mendengar Bima memanggil namaku, disusul suara benda jatuh yang keras, dan belati tua yang berkarat itu jatuh ke lantai, memantulkan cahaya remang yang terakhir kali kulihat sebelum kesadaranku menghilang.
