Bab 5
Suasana masih terasa mencekam, meski terik matahari sudah masuk lewat celah jendela.
Arman masih duduk di ruang tamu, menatap boneka dengan ekspresi yang sulit dibayangkan. Sedangkan Bima mondar-mandir seperti ayam kehilangan induk.
“Bro, sumpah, kalau tadi sempet pipis celana, jangan salahin aku, ya. Itu boneka bisa jatuh, bisa duduk, bisa ngomong pula! Nanti apa lagi? Joget dangdut?” cerocosnya bagai kereta cepat.
Arman memijat kening, merasa lelah dengan semua yang sudah ia apami. “Bim, kalau kamu masih bercanda, aku sumpahin kamu yang disuruh nari sama boneka itu!"
Bima langsung berhenti. Wajahnya berubah pucat pasi. “Jangan bercanda balik, Bro. Nanti beneran kejadian.”
Bima menelan ludah dengan paksa, lalu duduk di kursi sambil menatap boneka itu. “Jadi, apa sekarang rencananya? Kita panggil Ustadz? Panggil paranormal? Atau langsung kita lempar ke laut?”
Arman menghela napas panjang. “Nggak bisa sembarangan. Kalau kita buang, bisa lebih parah nanti. Kayaknya, kita harus tanya ke orang yang ngerti, deh.”
“Orang yang ngerti? Siapa? Google?” Bima mencoba melucu lagi, tapi matanya jelas-jelas masih menggambarkan ketakutan.
Arman mendelik mendengar ucapan pria itu.
“Google bisa jawab apa? ‘Cara menghadapi boneka berhantu’. Gitu? Yang ada kita disuruh nonton film horor," protesnya, "maksud aku Mbah Sastro, Bima!”
Bima menelan ludah lagi. “Ah, si Mbah yang suka duduk di warung kopi sambil nyeruput jamu pahit? Bro, kalau betul ini urusannya sama roh, dia emang bisa bantu?”
Arman berdiri, mengambil jaket. “Mau tidak mau, kita harus coba."
Bima mendesah berat. Wajahnya tampak frustasi menghadapi situasi mencekam itu. “Ya Tuhan, kenapa aku ikut-ikutan jadi figuran di cerita horor ini, sih. Padahal niatku cuma main, makan gratis, tidur, terus pulang.”
Arman menepuk bahunya. “Tenang, figuran biasanya mati duluan. Jadi, kamu aman.”
“Anjir! Eh, maksudku, astaga!” Bima menutup mulut, wajahnya tampak semakin pucat. “Jangan ngomong sembarangan, Bro!”
Arman hanya tersenyum tipis, lalu berjalan keluar meninggalkan pemuda itu. Bima, meski protes, tetap mengikuti langkah Arman.
Siang itu, mereka tiba di rumah Mbah Sastro–sebuah rumah kayu tua di tepi desa.
Pria tua itu sedang duduk di kursi rotan dengan tongkat kayu di sampingnya, menatap kosong ke arah sawah.
“Assalamu’alaikum, Mbah,” sapa Arman dengan sopan.
“Wa’alaikum salam,” jawab Mbah Sastro tanpa menoleh. “Akhirnya kalian datang juga.”
Bima membeku, melirik ke arah Arman. “Eh, Bro, kok, dia tahu kita mau datang? Jangan-jangan dia pasang CCTV gaib di rumahmu.”
Arman mendesah, menepuk kepala Bima pelan. “Diam, Bim!"
Mbah Sastro menoleh menghadap dua sahabat yang masih saling berbisik itu. Tatapannya dalam, menusuk, seolah bisa membaca isi kepala mereka. “Kalian sudah melihat boneka itu, bukan?”
Arman tercekat. “Mbah, Mbah tahu soal boneka itu?”
“Benda itu bukan sekadar mainan. Itu wadah. Ada jiwa yang terjebak di dalamnya,” ucap Mbah Sastro pelan.
Bima gemetar mendengar ucapan pria tua itu. “Jadi, beneran ada yang ngekos di boneka itu, Mbah?”
Mbah Sastro tidak menjawab dan hanya menghela napas panjang. “Api yang dulu membakar rumahmu tidak padam dengan damai. Ada yang terperangkap. Mereka berusaha bicara lewat boneka itu.”
Arman menunduk dan berkata, “Mereka bilang, mereka ingin pulang, Mbah.”
Mbah Sastro mengangguk. “Ya, tapi pulang bagi arwah tidak sesederhana kembali ke rumah. Mereka ingin pulang dalam arti mendapatkan tempat yang seharusnya.”
Bima mengangkat tangan seperti anak sekolah yang ingin mengajukan pertanyaan. “Mbah, maaf, saya masih bingung. Kalau arwahnya cuma minta dipulangkan, tinggal kita belikan tiket bus ke akhirat, kan? Eh, bercanda, Mbah, bercanda.”
Tatapan Mbah Sastro langsung membuat Bima bungkam.
“Kalau ingin membantu mereka, kalian harus menemukan jejak lama. Ada barang-barang yang tersisa dari kebakaran itu. Mereka akan menuntun kalian ke sana,” jelas Mbah Sastro.
Arman mengernyit. “Barang-barang? Maksudnya apa?”
“Cari di gudang rumahmu. Di sana masih tersimpan jejak api itu. Jangan takut, tapi jangan juga meremehkan. Karena saat kalian menemukan, arwah akan semakin dekat.”
Bima langsung berdiri. “Oke. Kalau begitu, kita nggak usah cari. Selesai masalah, 'kan lebih aman.”
Arman melotot. “Bim!”
Bima menghela napas, pasrah. “Yaudah, yaudah, tapi kalau ada yang nyolek bahuku di gudang nanti, aku bisa langsung pingsan di tempat.”
Mbah Sastro tersenyum tipis. “Kalau kau pingsan, mungkin justru lebih aman. Karena yang sadar, lebih mudah diganggu.”
Bima langsung pucat. “Astaga, Mbah! Jangan ngomong gitu, dong!”
Arman hanya bisa tersenyum miris meski hatinya sendiri ikut berdebar.
Menjelang sore, Arman dan Bima memutuskan untuk pulang. Jalan desa mulai sepi, hanya ada suara jangkrik dan beberapa anak kecil yang sedang bermain sepeda.
Bima menendang kerikil di jalan, wajahnya tampak muram. “Bro, sumpah, ya, aku masih mikir. Kenapa hidupku jadi kayak gini? Maksudku, kita cuma mau liburan, makan enak, tidur siang. Eh, tahu-tahu malah ikut reality show dunia lain versi nyata.”
Arman tersenyum tipis. “Kalau ini reality show, kamu pasti jadi peserta yang pertama kabur.”
“Ya jelas lah!” Bima mendengkus. “Kalau ada setan nongol, aku pasti udah lari ke Jakarta!"
Arman hanya menggeleng pelan. “Bim, kalau kamu serius mau pulang ke Jakarta sekarang, silakan. Aku bisa terusin ini sendiri.”
Bima berhenti berjalan. Seketika wajahnya berubah panik. “Eh, jangan gitu, dong. Kalau aku pulang duluan, terus kamu ilang di sini, nanti aku dituduh apa coba? Lagian, aku juga penasaran. Ya, walaupun takutnya setengah mati.”
Arman menepuk bahu sahabatnya. “Ya sudah, anggap saja kita berdua pahlawan kesiangan.”
“Pahlawan kesiangan?” Bima mendengus lagi. “Lebih kayak korban pertama di film horor, Bro.”
Setibanya di rumah, langit sudah mulai berubah menjadi oranye. Bayangan pohon jati di depan rumah memanjang–menutupi halaman. Angin sore bertiup, membuat daun-daun kering berterbangan tak tentu arah.
Gudang yang dimaksud Mbah Sastro berada di samping rumah. Pintunya kayu tua penuh debu dengan engsel yang sudah berkarat.
Bima menelan ludah dengan paksa. “Oke, itu dia gudangnya. Terakhir kali aku nonton film horor, pintu yang kayak gitu biasanya jadi awal malapetaka.”
Arman tidak menggubris, ia hanya membuka kunci rumah dan meletakkan barang-barang mereka dan mengambil senter untuk penerangan. “Kita harus masuk.”
Bima mundur selangkah. “Kenapa harus sekarang? Besok pagi aja 'kan bisa? Matahari terang, ayam berkotek, setan pasti tidur siang.”
Arman menatap tajam. “Bim, kalau kita tunda, arwah itu bisa semakin marah.”
Bima menghela napas panjang, lalu meraih sandal jepitnya. “Ya udah, ayo, tapi kalau ada yang aneh, aku bisa langsung kabur ke warung sebelah.”
Arman tersenyum tipis, lalu berjalan perlahan mendekati gudang.
Pintu kayu berderit pelan saat dibuka. Aroma debu bercampur kayu lembab langsung menyergap indra penciuman mereka. Gudang itu gelap, penuh dengan tumpukan barang lama. Karung, kursi rusak, peti kayu, dan beberapa perabot yang sudah gosong terbakar.
Bima menyalakan lampu senter di ponselnya. Suaranya terdengar gemetar, “Bro, aku rasa ini bukan ide bagus. Kayak ada yang ngikutin kita soalnya.”
Arman juga bisa merasakan hawa aneh itu. Udara di dalam gudang lebih dingin dibandingkan di luar. Ia mengarahkan senter ke sebuah rak kayu di sudut ruangan. Ada boneka kecil lain, hangus sebagian, dengan mata kaca yang retak.
Arman merinding. “Sepertinya ini salah satu barang yang dimaksud Mbah Sastro.”
Mendapati itu, Bima langsung mundur beberapa langkah. “Ah, sudah selesai! Kita udah nemu barangnya. Ayo keluar! Ayo, ayo, ayo.”
Tiba-tiba, terdengar suara seperti barang jatuh dari rak sebelah.
Mereka langsung terpaku mendengarnya. Arman menyorotkan senter ke sumber suara. Sebuah buku lusuh jatuh dari rak, sampulnya hitam, hangus di pinggirannya.
Arman menunduk dan memungutnya. “Ini, buku harian.”
Bima menutup wajah dengan tangan. “Sumpah, kenapa selalu harus ada buku harian di cerita horor? Nggak bisa gitu kita nemu duit aja di gudang?”
Arman membuka lembaran pertama. Tulisan tangan samar-samar masih terlihat meski sebagian lainnya hangus terbakar. Di buku itu tertulis nama Ratna.
Arman berbisik. “Sepertinya, ini milik salah satu penghuni rumah dulu.”
Bima mendekat setengah hati, mencoba melirik apa yang ada di buku itu. “Ratna? Siapa lagi tuh? Bro, jangan bilang dia arwah yang sekarang lagi numpang di boneka itu.”
Belum sempat Arman menjawab, tiba-tiba suhu gudang terasa semakin dingin. Napas mereka berubah seperti uap putih.
