Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Part 6. Melahirkan Benih Selingkuhan

Suasana di ruang rumah sakit terasa hening, meskipun ada kegembiraan yang tak terbendung di setiap sudutnya. Keluarga Hansen berkumpul di luar ruang bersalin, menunggu dengan penuh harapan. Jeremy berdiri di samping istrinya, Maharani, yang terbaring lemah di ranjang rumah sakit, wajahnya pucat namun berseri-seri.

Maharani menahan rasa sakit yang luar biasa. Setiap detik terasa panjang, namun ia tahu bahwa ini adalah saat yang paling dinantikan dalam hidupnya. Kehamilan yang dia jalani selama sembilan bulan ini akhirnya akan berakhir, dan dia akan melahirkan anak yang akan memberi kebahagiaan tak terhingga bagi suaminya, Jeremy. Bayi yang dia harap akan membawa damai dalam keluarga mereka, meskipun, di dalam hatinya, ia tahu bahwa ini adalah anak dari pengkhianatan yang terpendam.

"Ma, sedikit lagi... kamu bisa melakukannya," Jeremy berbisik lembut, menggenggam tangan Maharani erat-erat. Wajahnya dipenuhi kegembiraan yang tampaknya tak bisa ia sembunyikan. Baginya, momen ini adalah puncak dari kebahagiaan, sebuah lambang dari harapan yang terkabulkan.

Maharani menatap Jeremy dengan mata yang masih penuh perjuangan. Keringat bercucuran di dahinya, namun senyum tipis masih menghiasi bibirnya. "Aku... aku tidak tahu apakah aku bisa melakukannya, Jeremy," suara Maharani serak, mengungkapkan rasa cemas yang tak bisa ia sembunyikan.

"Sayang, kamu pasti bisa. Kita akan menjadi orangtua yang hebat. Anak kita akan menjadi segalanya," jawab Jeremy dengan lembut, mencoba menenangkan istrinya yang mulai kelelahan.

Setelah beberapa detik yang terasa sangat lama, suara tangisan bayi yang keras akhirnya mengisi udara rumah sakit, menggantikan keheningan yang sempat menyelimuti ruangan. Maharani menutup matanya sejenak, lega, namun juga merasa cemas. Tangisan bayi itu, yang sebelumnya ia damba-dambakan sebagai tanda kebahagiaan, kini terasa seperti pemicu kebingungannya sendiri.

"Ayo, sayang, lihat anak kita!" kata Jeremy dengan suara penuh kebahagiaan, hampir tidak sabar untuk memeluk bayi mereka yang baru lahir.

Maharani mengangkat pandangannya, melihat seorang perawat yang membawa bayi mereka. Mata Jeremy bersinar penuh kebanggaan, melihat wajah kecil Bastian Hansen, putra pertama mereka. "Bastian... ini anak kita, sayang. Kita berhasil," kata Jeremy, menangis bahagia.

Maharani mengangkat tangan lemah untuk menerima bayi itu, meskipun hatinya bergejolak. Ketika bayi itu diletakkan di pelukannya, ia merasakan kehangatan tubuh kecil itu, tetapi perasaan campur aduk di dalam dirinya tak bisa ia pungkiri. Di hadapan Jeremy, ia harus berpura-pura bahagia, tetapi hatinya tetap terbelah antara rasa bersalah yang mendalam dan rasa sayang terhadap bayi yang baru lahir ini.

"Bastian," Maharani berbisik, memandang bayi itu dengan tatapan penuh kasih meskipun ada bayang-bayang yang terus menghantuinya. Bayi itu, dengan mata yang masih tertutup, tampak tenang di pelukannya, seperti tidak tahu bahwa ibunya berperang dengan perasaan yang begitu berat.

Jeremy memandang Maharani dengan penuh kebanggaan, seolah semua pengorbanan mereka selama ini terbayar dengan kelahiran sang buah hati. "Kita akan memberinya dunia, Ma. Ini adalah awal yang baru bagi kita," kata Jeremy, suaranya dipenuhi harapan. Ia mencium kepala bayi Bastian dengan lembut, lalu menatap Maharani dengan tatapan penuh cinta.

Maharani hanya bisa tersenyum lemah, merasa terperangkap dalam kebohongan besar. Meskipun di luar ia menunjukkan kebahagiaan yang tak terhingga, di dalam hatinya, ia merasa ada beban yang terlalu berat untuk ditanggung. Bastian, putranya yang baru lahir, adalah simbol dari kebohongan yang ia jalani, sebuah kebohongan yang semakin sulit untuk disembunyikan.

Namun, di hadapan Jeremy, ia tidak bisa menunjukkan kebenaran yang mengganggu dirinya. Dia tidak bisa menghancurkan kebahagiaan suaminya, meskipun hatinya hancur perlahan. Semua rasa bersalah dan ketakutannya kini harus disembunyikan dalam-dalam, demi menjaga keluarga ini tetap utuh—meskipun ia tahu bahwa ia telah merusak segalanya sejak awal.

Jeremy menyaksikan isterinya yang tampaknya begitu tulus mencintai anak mereka, namun ada sesuatu yang berbeda dalam tatapan Maharani. Ia tidak tahu betapa besar beban yang sedang dipikul oleh istrinya. Dalam kebahagiaan itu, ia tidak melihat bayang-bayang dari dosa yang telah menguntit mereka.

"Selamat datang di dunia, Bastian," bisik Maharani dengan suara lembut, meskipun di dalam hatinya, dia tahu ini adalah awal dari perjalanan yang penuh dengan kebohongan yang akan terus mengikat mereka.

@@

Gustav Hansen, kakak tertua dari Jeremy, tiba di istana Hansen tepat setelah upacara pemberkatan kecil untuk bayi Bastian selesai. Meski suasana penuh kebahagiaan dan kegembiraan, wajah Gustav terlihat lebih serius daripada biasanya. Ia berdiri di pintu ruang bersalin, mengamati dengan seksama adiknya, Jeremy, yang sedang memeluk bayi mereka dengan penuh kebanggaan. Maharani tampak lebih tenang, meskipun sorot matanya tampak kosong, seolah ada sesuatu yang mengganjal dalam hatinya.

Gustav melangkah perlahan mendekati mereka. Dengan postur tubuh yang tinggi dan kekar, serta ekspresi wajah yang penuh kewaspadaan, ia berusaha menutupi rasa curiganya. Namun, jika ada seseorang yang benar-benar mengenal Jeremy dengan baik, itu adalah Gustav. Ia tahu betul kondisi kesehatan adiknya yang sudah lama menderita penyakit yang menghambat kemampuannya untuk memiliki keturunan.

"Gustav!" Jeremy berteriak dengan senyum lebar. "Lihat ini, bro, ini anak kita, Bastian! Akhirnya aku punya anak, anak pertama ku, cucu pertama Papa Klaus! Ini kebahagiaan yang tak terhingga," katanya dengan semangat,

Gustav tersenyum tipis, namun sorot matanya masih tajam. "Iya, Jeremy, aku lihat itu." Suaranya sedikit ragu, dan saat dia memandang bayi yang terbaring di pelukan Maharani, dia tidak bisa menahan keraguan yang mulai merayapi pikirannya.

Maharani, yang sedang menatap bayi di pelukannya, merasakan tatapan Gustav yang menusuk. Ia tahu bahwa pria ini, meskipun tampak tenang, memiliki intuisi yang tajam. Gustav selalu bisa melihat lebih dari apa yang terlihat di permukaan.

"Apakah ada yang aneh, Gustav?" tanya Jeremy, menyadari bahwa kakaknya tampak tidak sepenuhnya gembira. "Kenapa wajahmu begitu serius? Ini hari yang paling membahagiakan dalam hidupku!"

Gustav mengalihkan pandangannya dari bayi ke Jeremy.

"Jeremy, kita sudah berbicara tentang masalah kesehatanmu, ini keajaiban .. dan aku ikut bahagia dengan lahirnya keponakan ku.."jawabnya, nada suaranya menjadi lebih rendah dan serius.

"Aku tahu kamu sangat ingin memiliki anak, tapi aku tidak bisa mengabaikan kenyataan bahwa kondisi tubuhmu tidak memungkinkan itu. Kamu sudah cukup lama berjuang melawan penyakitmu. Jadi... bagaimana bisa? Tapi aku tetap turut bahagia."

Maharani yang mendengar itu, merasakan jantungnya berdetak lebih cepat. Apakah dia sudah terlalu lama menutupi kebohongannya? Gustav Hansen yang selalu cerdas dan tajam, sudah mulai merasakan ada yang tidak beres.

"Eh... itu..." Jeremy tampak terkejut, tidak menyangka pertanyaan itu datang begitu langsung.

"Aku... aku sudah berobat, Gustav. Kamu tahu sendiri aku pergi ke Zhuhai, China, dan dokter mengatakan aku sudah cukup sehat, hampir normal. Jadi, aku yakin ini adalah... keajaiban," kata Jeremy, mencoba menenangkan kakaknya meskipun ada rasa cemas yang samar-samar terdeteksi dari wajahnya.

Gustav menyilangkan tangan di dada, masih tidak puas dengan penjelasan itu. "Keajaiban, ya?" ujarnya, terdengar skeptis. "Tapi, apa kamu yakin benar-benar sehat, Jeremy? Kita tahu betul kondisimu. Apakah itu mungkin karena... entahlah, aku ingin mengerti bagaimana semua ini bisa terjadi begitu tiba-tiba, sebelum kesini ku sudah berbicara dengan dokter yang menangani Maharani, usia kehamilan awal, sangat tidak sinkron dengan kembalinya kamu ke Macau."

Jeremy merasakan ada yang tidak beres dalam nada suara kakaknya. Ia meraba dadanya, merasa sedikit tertekan. "Aku... aku tidak tahu apa yang kamu maksud, Gustav. Aku sangat senang bisa menjadi ayah. Ini yang aku impikan sejak lama. Apa pun yang terjadi, ini adalah kebahagiaan yang tidak bisa digantikan, aku yakin Maharani setia padaku."

Gustav menatap adiknya dengan tatapan tajam. Ia tahu bahwa Jeremy sangat ingin percaya pada kebahagiaannya. Namun, ada sesuatu yang sangat tidak masuk akal bagi Gustav. Dengan pengetahuannya tentang penyakit Jeremy yang mempengaruhi kesuburannya, ia mulai berpikir lebih jauh. "Aku hanya ingin tahu, apakah semua ini benar-benar sesuai dengan kenyataan atau hanya sebuah kebohongan yang terlalu besar untuk kita akui?" ujarnya perlahan, namun penuh penekanan.

Maharani meneguk ludah, merasa perasaan bersalahnya semakin membebaninya. Ia menatap Gustav, yang kini mulai merasakan ada yang janggal, namun ia tetap berusaha menjaga ekspresinya agar tidak terlihat cemas. Dalam hatinya, Maharani tahu bahwa ia harus segera menemukan cara untuk menenangkan semua ini, atau semuanya akan berakhir dengan bencana besar.

"Sudahlah, Gustav," kata Jeremy, mencoba mengalihkan perhatian kakaknya. "Aku tidak ingin hari yang indah ini dirusak dengan pertanyaan-pertanyaan seperti itu. Ini hari kebahagiaan kami, aku harap kamu bisa ikut bahagia untukku."

Gustav menghela napas panjang, merasa terjebak di antara kebahagiaan adiknya dan kecurigaannya yang semakin besar. "Baiklah, aku tidak akan mengatakan lebih banyak. Tapi aku harap kamu tidak menutupi sesuatu yang besar dari kita semua, Jeremy. Kamu tahu bahwa kita keluarga, dan aku hanya ingin memastikan semuanya berjalan baik."

Jeremy mengangguk dengan senyum terpaksa. "Terima kasih, Gustav. Aku sangat menghargai kekhawatiranmu, tapi ini adalah momen yang harus kita rayakan."

Namun, Gustav tetap tidak bisa menyingkirkan perasaan curiganya. Ia tahu bahwa ada sesuatu yang besar sedang disembunyikan dari mereka, sesuatu yang akan segera terungkap. Dan jika itu sampai terbongkar, bisa jadi kebahagiaan yang sedang mereka rasakan akan berubah menjadi kehancuran yang tak terelakkan.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel