Bab 11
Entah kenapa akhir-akhir ini Aisyah terus saja memikirkan Raihan. Bayangan pria itu seakan tak ingin pergi dari kepalanya. Setiap kata-kata dan perbuatannya seakan membuat Aisyah terpesona dan ia sungguh tak menyangka kalau seorang Raihan bisa begitu dewasa.
Aisyah mengingat kejadian tadi siang, dimana Raihan begitu saja menyerahkan tempat bekal makanan kepadanya dan berkata itu untuk makan siangnya. Aisyah terlihat kurus sekarang-sekarang dan membutuhkan makanan yang sehat. Dan siapa sangka masakannya begitu lezat, sampai rasanya masih tersisa di lidahnya.
"Ya Allah... apa ini berarti aku sudah menyukainya?" gumam Aisyah.
Sejak beberapa tahun terakhir Aisyah masih tidak bisa mengenyahkan Agung dari pikiran dan hatinya. Ia terus saja berharap dan menanti karena janji yang di buat Agung seakan mengikat dirinya hingga ia menutup diri kepada pria lain. Tetapi kehadiran Raihan, dia pria dengan sejuta pesona dan dengan mudahnya menerobos masuk ke dalam pertahanan yang di jaga Aisyah sejak lama.
Mungkin kehadiran Raihan sebagai pengobat supaya Aisyah tidak akan terpuruk dan tersakiti berlarut-larut karena pengkhianatan Agung.
Lalu apa Raihan juga menyukai Aisyah?
Aisyah tertegun dengan pertanyaan dari batinnya sendiri. Apakah Raihan menyukainya? Dirinya yang lebih tua dari Raihan dan tak ada yang bisa di unggulkan dari dirinya.
Ais menghela nafas panjang dan mengusap wajahnya seakan ingin mengenyahkan segala perdebatan di dalam pikirannya tentang Raihan.
"Cukup sekali aku di beri harapan palsu, untuk sekarang aku tidak boleh sampai kembali terjatuh ke dalam lubang yang sama," gumam Aisyah.
***
Hari ini sampai seminggu ke depan, Aisyah kembali membawa kendaraannya sendiri karena Raihan ada pekerjaan ke luar kota. Dan Aisyah tak merasa keberatan untuk hal itu. Dia sendiri pun butuh meyakinkan hatinya dan perasaannya pada Raihan. Apa dia benar menyukai Raihan, atau hanya sebatas kagum saja.
Sesampainya di sekolah, seperti biasa Aisyah menyiapkan segala buku pelajaran yang akan ia ajarkan untuk murid-muridnya.
"Tumben gak di antar pacarnya lagi? Sudah putus yah?" tanya Ema.
Dia adalah salah satu guru di sana dan masih lebih muda dari Aisyah.
"Sepertinya kamu begitu sibuk memperhatikanku," seru Aisyah tersenyum kecil.
Aisyah memang tipikal wanita yang tertutup dan bahkan ia tak memiliki sahabat dekat seorang perempuan, selain teman-temannya yang hanya akbar sekilas.
"Ya mau bagaimana lagi, pacar bu Aisyah sangat tampan sih," kekeh Ema tak tau malu. "Dia kelihatan masih sangat muda, sepertinya opa opa korea, baby face."
Aisyah hanya diam membisu, walau di dalam hatinya ia membenarkan itu.
"Kalau sudah putus, boleh dong aku minta kontaknya. Ya siapa tau dia jodohku yang aku nantikan selama ini," kekeh Ema semakin tidak tau malu.
"Ck, bu Ema ini sungguh tidak tau malu. Masa meminta kontak sama mantan pacarnya sih. Mencari masalah saja," seru Bu Hanna yang juga berada di sana.
"Ya namanya juga usaha Bu. Toh mereka udah putus," kekeh Ema. "Lagipula dia sangat tampan dan keliatannya penyayang banget. Waktu itu aku lihat dia sedang mengelus-ngelus kucing."
"Kucing aja di sayang, apalagi istrinya, iyakan." Ema terkekeh dan Hanna pun ikut terkekeh.
"Aku masuk kelas dulu, Ibu Ibu. Permisi." Aisyah mulai jengah mendengar obrolan mereka dan memilih keluar dari ruangannya.
"Ema itu apaan sih, seenaknya saja minta kontak Raihan! Dan bilang kami sudah putus, seenaknya saja!" gerutu Aisyah merasa sangat kesal mendengar ucapan Ema.
***
Aisyah baru selesai mengajar di beberapa kelas dan ia kembali ke dalam ruangannya saat istirahat makan siang. Ia mengeluarkan mukena dari dalam tasnya, seperti biasa sebelum makan, ia akan melaksanakan solat dzuhur dulu. Sebelum beranjak pergi, Aisyah mengecek handphone nya yang ia simpan di dalam tasnya.
Tak ada notifikasi apapun di layar handphone nya.
"Dia bilang akan menghubungiku, tetapi tidak ada," gumam Aisyah yang merasa kecewa.
Dengan menghembuskan nafasnya kasar, Aisyah kembali menyimpan handphone nya ke dalam saku blezernya dan beranjak pergi meninggalkan ruangannya.
Aisyah melaksanakan solat dzuhur di dalam mesjid yang ramai dengan beberapa guru dan murid yang juga melaksanakan solat dzuhur.
Setelahnya ia duduk bersimpuh di atas sajadah, Ia menautkan kedua tangannya dan mulai berdoa. Entah apa yang sudah merasukinya, di dalam doanya ia menyebutkan nama Raihan. Ia mendoakan untuk keselamatannya dan meminta Allah untuk selalu melindungi Raihan dimanapun ia berada. Dan tak lupa juga dia mengatakan kalau dia merindukan Raihan.
Selepas berdoa, Aisyah termenung sendiri dan menyadari doa nya tadi. Ini pertama kalinya dia berdoa untuk seorang pria, pria yang dia anggap tak pantas untuk dirinya. Pria yang selalu ia remehkan dan tak pernah dia anggap spesial. Tetapi kali ini, nama itu seakan memaksa masuk dan menetap di dalam hatinya.
***
Di sisi lain, Raihan pun tampak memegang handphone nya. Ia terlihat baru saja keluar dari mesjid dan duduk di dalam mobilnya. Ia menatap layar handphone nya yang tidak ada notifikasi masuk.
"Apa ini sebenarnya?" gumamnya tersenyum kecut. "Aku terus menunggu dia mengabariku seperti orang bodoh."
Raihan mencari kontak Aisyah dan menekan gambar telpon. Tetapi seketika ucapan Milla sang Ibu kembali terngiang di telinganya. Raihanpun memilih mengurungkan niatnya untuk menghubungi Aisyah.
"Satu minggu Rai, kamu harus kuat. Hanya satu minggu saja," gumamnya memejamkan matanya seraya menyandarkan kepalanya ke sandaran jok mobil.
***
