6. Perlu Bantuan
Chapter 6
Perlu bantuan
Aneesa menatap Barron yang menjauh darinya karena seorang pria paruh baya memanggilnya. Sementara Marcello menatap Aneesa, menatap gaun yang dikenakannya. Gaun berwarna nude berpotongan asimetris dengan satu bahu terbuka itu memperlihatkan garis leher dan bahu dengan anggun. Bagian atas dibuat fit membentuk siluet tubuh pemakainya terlihat halus, namun tetap sopan.
Kain yang dibentuk berlipit lembut melingkari tubuh Aneesa dari atas ke pinggang memberi dimensi elegan, sementara bagian bawah gaun dibiarkan jatuh menyapu lantai memberi kesan dramatis yang feminim sekaligus cerdas. Secara tidak sengaja sekilas Marcello melihat Aneesa mengenakan sepatu tanpa hak, pastinya karena cedera di pergelangan kakinya sehingga Aneesa mengakalinya dengan mengenakan gaun panjang yang menyentuh lantai.
"Kau sepertinya cukup akrab dengan Barron, ya?" kata Marcello seraya memasukkan tangannya ke dalam saku jaket bombernya dengan gerakan sangat santai.
Aneesa menoleh pada Marcello dan perasaan asing tiba-tiba menghampirinya, seperti sesuatu yang belum pernah dirasakannya menghampiri benaknya.
"Kapan terakhir kita bertemu?" tanya Aneesa seraya menatap Marcello serius.
Marcello membalas tatapan Aneesa yang seakan dipenuhi tanda tanya. "Aku tidak ingat," jawabnya dengan alis berkerut.
Sesuatu yang asing bergelung di otaknya, berkabut tebal hingga Aneesa seolah tidak mampu menyibak kabut tersebut. Hanya samar-samar seperti pernah bermimpi melihat Marcello saat pingsan semalam setelah bertemu Justin dan terbangun sudah jam delapan pagi kemudian sakit kepala menderanya sepanjang hari hingga hampir saja tidak bisa menghadiri pesta kemenangan tim Haas.
"Apa kau ingat kapan terakhir kita bertemu?" tanya Marcello untuk memastikan ingatan Aneesa.
Tentang bagaimana erotisnya kemarin malam dirinya dan Aneesa berciuman, hingga beberapa kali Aneesa menggigit bibirnya dan betapa menggairahkannya tubuh telanjang Aneesa dalam dekapannya di dalam bathtub berisi air dingin yang membuatnya nyaris kehilangan kendali.
"Terakhir kita bertemu saat Jessie mengadakan makan malam sebelum aku pergi ke sini," jawab Aneesa dengan muram, "semua orang mengantarkanku pergi keesokan harinya, tetapi kau yang tidak terlihat."
Bibir Marcello mengulas senyum tipis yang nyaris tidak terlihat, saat itu usianya baru tujuh belas tahun, tetapi sudah cukup jelas memahami jika dirinya mendambakan Aneesa. Sayangnya ucapan Aneesa yang didengarnya secara tidak sengaja membuatnya seperti terpental ke dalam jurang sehingga memutuskan untuk tidak lagi bertemu Aneesa, kecuali dirinya telah setara dengan Aneesa dengan kemampuannya sendiri.
"Aku pergi balapan saat itu," ujar Marcello.
"Balapan liar?" tanya Aneesa seperti mengejek.
Senyum mengejek itu, Marcello sudah puluhan kali melihat Aneesa tersenyum mengejeknya setiap mendengarnya melakukan balapan liar dan di mata Aneesa, dirinya mungkin masih sama dengan hanya pemuda berandalan yang tidak memiliki kelebihan apa-apa di sekolah.
Saat reamaja, Marcello bahkan tidak pernah bermimpi menjadi seorang pembalap, hanya seorang remaja beranjak dewasa yang tumbuh dengan ayah yang kebetulan memiliki beberapa koleksi mobil sport dan hari itu adalah penentu di mana Marcello yang cenderung urakan menentukan masa depannya dalam sehari dengan sangat berani.
Marcello terkenal di dunia balap liar di Barcelona dan tim F3 yang melihat bakatnya telah beberapa kali menawarkan kesempatan untuk bergabung dengan mereka, tetapi Marcello tidak menggubrisnya karena saat itu berpikir jika kelak akan meneruskan bisnis keluarga. Barulah setelah mendengar ucapan Aneesa, Marcello menemukan pandangan lain, jika hanya mengikuti alur kehidupan sepertinya untuk mencapai kesetaraan dengan Aneesa akan berjalan lambat karena suatu saat Aneesa akan berdiri di panggung yang berkilau-kilau, sementara Marcello tidak ingin hanya berada di barisan penonton.
"Balapan liar," gumam Marcello seraya tersenyum dan menyugar rambutnya dengan gaya santai khas miliknya sementara pandangannya sekilas tertuju pada gaun bagian bawah Aneesa "Kudengar kau mengalami cedera kaki."
"Dalam tahap pemulihan," jawab Aneesa lalu menghela napasnya dengan lembut. "Tadi sebelum pergi ke sini aku memberitahu Jessie dan dia bilang sudah beberapa tahun tidak melihatmu."
Semenjak Aneesa meninggalkan Barcelona, Marcello hanya fokus pada balapan F3. Dia bahkan menjadi enggan melanjutkan pendidikannya sehingga Marcello tidak pernah mengenyam bangku kuliah. Ketika berhasil memasuki dunia F1, Marcello fokusnya semakin hanya tertuju ke sana dan setelah bergabung dengan Haas, hampir dua tahun meskipun beberapa kali bertemu orang tuanya di Barcelona bukan berarti sempat bertemu dengan kerabat yang lain.
"Aku akan meneleponnya nanti, dan akan mengunjunginya saat kembali ke Barcelona," ujar Marcello.
"Kapan terakhir kau mengunjungi Barcelona?" Aneesa menatap Marcello dan lagi-lagi perasaan aneh itu menghampirinya apalagi menyaksikan tatapan Marcello padanya, rasanya begitu asing. Tidak seperti dulu saat mereka remaja.
"Bulan Juni, saat pertengahan musim. Dan kau?" Marcello memiringkan kepalanya sedikit sembari terus menatap Aneesa. "Apa kau mengunjungi Barcelona selain tour?"
Aneesa berdehem dan mengalihkan pandangannya pada orang-orang di sana untuk menghindari tatapan mata Marcello, tatapannya tertuju pada Barron yang sedang berbicara dengan seorang pria paruh baya berpakaian formal. "Terakhir ke Barcelona saat Natal tahun lalu," jawabnya sembari melemparkan senyum pada Barron yang menoleh ke arahnya. "Di mana kau merayakan Natal tahun lalu?"
Marcello menyadari Aneesa melemparkan senyum pada Barron, kecemburuan bergemuruh di dalam benaknya dan di dalam benaknya bersumpah tidak akan membiarkan Barron mendapatkan Aneesa. Bahkan jika ada seribu kehidupan, Aneesa hanya kana menjadi miliknya seorang.
"Di Barcelona," jawab Marcello dengan perasaan dongkol.
Kebetulan seorang pelayan yang membawa nampan berisi gelas kristal yang berisi wine melintas, Marcello mengawasi Barron, memastikan Barron tidak melihat ke arah mereka dan ia pun diam-diam menghalangi pelayan itu dengan kakinya--membuat pelayan tersandung dan gelasnya roboh, isinya tumpah mengenai punggung Aneesa. Pelayan itu meminta maaf, terlihat ketakutan tetapi Marcello segera menyuruhnya menjauh dan mengajak Aneesa pergi ke toilet untuk membersihkan kulit dan gaunnya yang terkena wine.
Di depan pintu toilet, Aneesa berpikir cara membersihkan punggungnya dan mustahil melakukannya sendiri kecuali jika mengguyurnya dengan air dari shower barulah wine yang mulai terasa lengket di punggungnya hilang.
Ia berdehem pelan lalu berkata, "Sepertinya aku butuh bantuan." Kemudian Aneesa kembali berdehem. "Tanganku tidak sampai menyentuh punggung."
Marcello mengusap ujung hidungnya dengan jari telunjuknya. "Apa perlu kupanggilkan pelayan wanita?"
Aneesa mengangguk kemudian Marcello meninggalkan Anessa untuk mencari pelayan wanita, tetapi kemudian kembali seorang diri.
"Aku tidak melihat pelayan wanita," ujar Marcello.
Aneesa menghela napas dan menatap Marcello, sedikit bimbang untuk meminta tolong pada pria itu. Namun, Marcello bukanlah orang asing, mereka saling mengenal sejak kecil karena ayah mereka berteman sejak remaja dan ibu tirinya adalah saudari ayah Marcello. Juga saat menginjak remaja mereka pernah menjadi teman sekelas meskipun hanya satu semester sebelum Aneesa memutuskan mengambil program akselerasi. Jadi, kenapa harus merasa canggung jika meminta bantuan Marcello?
