Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

BAB 2

BAB 2

HAPPY READING

***

Ernest melihat ke arah jendela mobil, di mana ia melihat jalan lumayan padat, karena mungkin adanya festival musim semi RHS Flower Show Cardiff, yang di adakan di Bute Park Cradiff. Banyak orang pecinta kebun datang melihat pameran itu, atau sekedar melihat kegiatan lokakarya. Setelah dari Cardiff biasa mereka melanjutkan perjalanan makan di restoran atau minum di kota.

Sebenarnya di bulan April ini banyak sekali festival di London, dari festival jalan kaki, perayaan ulang tahun Shakespeare, lari maraton, hingga festival berkebun. Beberapa hari lagi ada festival Grand National, di Liverpool. Kompetisi balap kuda terbesar di Dunia. Sebenarnya ia ingin pergi dan menonton, karena itu merupakan salah olahraga favorit nya dan agar cuti-nya tidak sia-sia. Namun ia mengurungkan untuk menontonnya, karena ia hanya sendiri. Ada beberapa temannya, namun jadwal penerbangan mereka berbenturan.

Beberapa menit kemudian akhirnya mobil taxi tiba di depan rumahnya. Ernest membawa Jelita ke dalam rumahnya, ia membaringkan wanita itu ke dalam kamar. Ia menatap wanita itu menggeliat, ia melepaskan sepatu flat yang dikenakannya, lalu ia menyimpan di rak sepatu. Setelah itu melepaskan blazer yang dikenakan wanita itu dan menggantungnya di hanger dan menyimpannya dekat lemari.

Ernest melihat wanita itu sekali lagi, dia tidur dengan nyenyaknya di sana. Bagaimana bisa dia mabuk di kota asing yang baru dikunjunginya. Ia melihat sekali lagi dokumen-dokumen wanita itu, di dalam visa terdapat stempel dan tanggal. Yang ia pertanyakan di mana selama ini wanita itu tinggal? Apa dia tinggal di hotel? Di mana kopernya?

Ernest melepaskan jaket kulitnya, ia melihat wanita itu sekali lagi, dia tertidur dengan pulasnya. Ia masuk ke dalam kamar mandi, mencuci wajahnya. Setelah itu ia mengganti pakaiannya dengan pakaian tidur.

Ernest melihat wanita itu menggeliat, mengubah posisi tidurnya menyamping, ia menyungging senyum dan menarik bedcover hingga ke dadanya. Ia memperhatikan wanita itu, betapa cantiknya dia dalam posisi tidur seperti ini. Ia melihat tas wanita itu di meja, ia mengambil dompet, visa, paspor dan ponsel, lalu menaruhnya ke dalam brangkas pribadinya. Ia tahu bahwa itu merupakan dokumen penting milik wanita itu. Namun entah kenapa ia ingin menyimpannya.

Ia pria normal, dan ia tahu bagaimana berhadapan dengan wanita secantik ini. Sekalipun ada sosok pria yang setia, pasangan yang cantik, taat ibadah. Namanya naluri alamiah untuk menangkap keindahan dan kecantikan, dengan gerakan sepontan ia tidak bisa melewati moment ini.

“Sorry,” bisik Ernest.

Ernest lalu membaringkan tubuhnnya di samping wanita itu. Ia lalu memejamkan matanya, ia tidak peduli siapa wanita itu, yang jelas ia tahu apa yang akan ia lakukan setelah ini. Ia sudah lama hidup sendiri, dan melakukan hal apapun sendiri. Jangan salahkan jika ia tidak ingin melepaskan wanita ini untuk menemaninya di sini.

***

Jelita membuka matanya secara perlahan, awalnya kabur lama-kelamaan ia memfokuskan penglihatannya. Pertama-tama yang ia rasakan, ia kini berada di sebuah kamar, dan bed cover menyelimuti tubuhnya. Ia mencoba mengingat apa yang telah terjadi pada dirinya kemarin, terakhir ia berada di Beer House di dekat stasiun Victoria. Lalu tiba-tiba ia mendapatkan dirinya berada di sini. Tangannya memegang tubuhnya, ia merasa lega bahwa ia masih berpakaian lengkap.

Ia menoleh ke samping, menatap mantelnya tergantung di sana, tas nya juga berada di meja. Ia bersyukur kalau ia tidak kenapa-kenapa. Ia lalu meninggikan kepalanya dengan bantal, ia mengobservasi ruangan kamar ini. Kamar ini tidak terlalu luas, hanya terdapat tempat tidur, lampu gantung, walk in closet. Ia menatap ke arah jendela, cahaya matahari masuk dari arah kaca. Di dekat jendela ada sofa dan meja kerja berbahan kayu. Ia melihat ada sebuah topi di dekat meja kerja. Di atas dinding ada lukisan abstrak hitam putih, secara keseluruhan kamar ini sangat nyaman dan maskulin. Bukan jenis tipe kamar seorang wanita, karena saprainya saja berwarna abu-abu.

Jelita mendengar suara pintu terbuka, ia menoleh ke samping, ia menatap seorang pria yang masuk ke dalam. Ia melihat pria itu tersenyum kepadanya. Dia mengenakan celana pendek Adidas berwarna hitam dan baju berwarna putih. Rambutnya sedikit berantakan, namun ia mengakui itu tidak mengurangi ketampanan pada wajahnya. Dia memiliki rahang yang tegas, hidung mancung, ia sadar bahwa pria itu bukan orang Eropa, dia berwajah Asia di tambah dengan rambutnya yang gelap. Ia melihat postur tubuhnya tinggi dan bidang. Ia menelan ludah, ia menatap otot bisep pada lengannya, ia yakin pria itu rajin berolah raga. Namun ia tidak terkejut dan terperanjat, karena ia sadar bahwa ia semalam mabuk hingga ia terdampar di sini.

“Hai, sudah bangun?” Tanya Ernest memandang wanita yang baru bangun tidur.

Jelita mendengar pengucapan bahasa Inggris dengan aksen British yang sangat pas di telinganya, ditambah suaranya yang berat, terdengar sangat sexy,

“Hai,” sapa Jelita, sebenarnya ia bingung, terlebih kondisinya seperti ini. Ia melihat tatapan bersahabat pada pria itu kepadanya, ia berharap bahwa dia pria baik.

“Kenapa saya berada di sini?” Tanya Jelita lagi, ia mengubah posisi tidurnya menjadi duduk, ia berharap bahwa pria itu bukan orang jahat.

“Saya menyelamatkan kamu tadi malam di PUB, karena sebelum saya pulang banyak sekali pria yang ingin mendekati kamu. Saat itu posisi kamu tertidur.”

“Kamu tenang saja, kamu tidak kenapa-napa, kamu aman bersama saya,” ucap Ernest.

“Terima kasih, sudah menyelamatkan saya,” ucap Jelita.

Ernest mengulurkan tangannya kepada wanita itu, “Kita belum berkenalan, saya Ernest Wilson. Panggil saja Ernest,” ucap Ernest.

Jelita melihat uluran tangan pria itu, ia menyambutnya, “Saya Gusti Raden Ajeng Jelita Wijarena, panggil saja Jelita.”

“Nama kamu sangat panjang,” ucap Ernest, ia merasakan tangan lembut itu dipermukaan kulitnya. Ia lalu melepaskan tangan itu.

“Iya, memang seperti itu.”

“Nama kamu seperti berasal dari Indonesia, seperti nama Jawa kerajaan di negara saya,” ucap Ernest.

Alis Jelita terangkat, ia menatap Ernest, “Jangan bilang, kalau kamu berasal dari Indonesia,” ucap Jelita menggunakan bahasa Indonesia.

Senyum Ernest mengembang, “Kamu dari Indonesia juga?”

“Iya, saya berasal dari Jakarta. Kalau kamu?”

“Iya, sama saya juga dari Jakarta.”

“Saya tidak tahu ini kebetulan atau apa,” ucap Jelita antusias.

“Iya, mungkin ini kebetulan.”

Jelita menepuk jidatnya dengan tangan, ia beranjak dari duduknya, “Oh May God!” Jelita menjerit, ia menutup mulutnya dengan tangan.

Ernest ikut berdiri memperhatikan ekspresi Jelita, “Kenapa?”

“Koper saya masih di hotel.”

“Owh ya! Kamu nginap di hotel mana sebelumnya?” Tanya Ernest lagi.

“InterContinental London.”

“Saya tahu hotelnya, setelah ini saya akan antar kamu ke sana mengambil koper,” ucap Ernest.

Jelita bersyukur bahwa Ernest akan mengantarnya ke hotel, ia melangkah menuju meja, mengambil tas nya. Ia melihat isi dalam tas, ia mencari keberadaan dokumen-dokumennya di dalam, seperti visa, paspor, dompet dan bahkan ponselnya pun tidak ada.

Jantungnya maraton hebat, yang tersisa hanyalah perlengkapan makeupnya, dan ada kartu akses hotel di dalam sana, karena memang ia menyimpannya terpisah. Ia mengeluarkann semua yang ia bawa ke ke meja. Jelita panik, keringat dinginnya keluar, ia tidak menemukan barang berharganya.

“Kamu cari apa?” Tanya Ernest memandang Jelita, ia melihat ekspresi panik di sana.

“Saya cari paspor, visa, dompet saya.”

“Kamu simpan di mana?”

“Di dalam tas saya.”

“Serius?”

“Iya, serius. Saya membawanya tadi malam di sini.”

“Mungkin kamu simpan di koper.”

“Enggak mungkin, karena saya bawa ke mana-mana, Ernest! Oh Tuhan, bagaimana nasib saya setelah ini, jika semua barang saya hilang,” ucap Jelita panik, ia bingung bagimana hidupnya setelah ini, semua uang tunai, ponselnya, tidak ada satupun yang dapat ia hubungi. Satu-satunya yang ia hafal hanyalah alamat emailnya.

“Visa dan paspor kamu, nanti kita ke KBRI. Kalau uang tunai, tidak apa-apa kamu sementara bersama saya, hingga berkas kamu selesai diurus. Kamu juga bisa tinggal di sini hingga selesai berkas kamu sudah selesai. Saya akan temani kamu ambil koper saja saja kalau begitu, ambil barang-barang kamu di hotel lalu bawa kemari.”

“Selama kamu di sini, saya akan membantu kamu,” ucap Ernest menenangkan Jelita.

Jelita menatap Ernest, ia merasa terharu ketik Ernest mengatakan seperti itu kepadanya. Setidaknya rasa paniknya selesai. Ia tidak tahu lagi di mana ia harus mengadu. Masalahnya ia tidak mengenal siapa-siapa di sini, nomor ponsel sepupunya saja yang ia kenal.

“Apa ada nomor penting yang kamu kenal?”

Jelita menggelengkan kepala, “Tidak ada, satu-satunya yang saya hafal adalah email saya. Mungkin nanti saya meminta bantuan kepada staff kedutaan, untuk menyampaikan kepada keluarga saya yang ada di Jakarta.”

“Apa mereka kenal?”

Jelita menarik nafas, dan ia mengangguk, “Kemungkinan kenal, dan saya bisa menelfon nomor kantor ayah saya yang ada di Jakarta atau nomor ponsel SPA milik saya yang ada di google.”

Alis Ernest terangkat, “Jadi kamu pemilik SPA?”

Jelita mengangguk, “Iya, itu SPA keluarga, memang warisan dari turun temurun, usaha keluarga. Saya yang melanjutkan.”

“Apa namanya?”

“SPA Keraton dan ayah saya juga seorang pejabat pemerintah di Kementrian.”

Ernest menarik nafas, entah kenapa ia merasa tidak senang ketika Jelita dengan mudahnya ia akan menemukan solusi seperti ini. Nama pemulik usaha dan pejabat pemerintah, staff KBRI yang ada di London pasti dengan cepat mengetahui keberadaan Jelita.

“Oke. Sekarang kamu mandi, kita breakfast dan lalu ke hotel ambil koper kamu.”

Jelita mengangguk, “Iya.”

Jelita menatap Ernest yang hendak meninggalkannya, memberi dirinya ruang privasi untuk dirinya mandi, “Ernest.”

Ernest menoleh, “Iya.”

“Terima kasih ya, sudah bantu saya,” ucap Jelita.

“Sama-sama.”

***

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel