Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

BAB. 6 Rangga Selalu Menghindar

Sore pun akhirnya tiba juga,

langit mulai gelap meski waktu baru menunjukkan pukul enam sore. Ratih duduk di ruang tamu, gelisah. Matanya terus melirik jam dinding yang berdetak pelan, namun rasanya suara itu semakin memekakkan telinganya seiring waktu berlalu. Sudah sejak tadi pagi Rangga, suaminya, belum juga pulang, padahal biasanya saat masih menjadi sopir pribadi ayahnya, di jam seperti ini Rangga sudah berada di rumah.

Ratih mencoba mengalihkan perhatiannya dengan menonton televisi, akan tetapi pikirannya tak bisa lepas dari kekhawatirannya pada Rangga.

Setelah beberapa saat, dia pun lalu memutuskan untuk menelepon suaminya.

Namun sudah berkali-kali Ratih menelepon suaminya, tapi tidak ada sahutan dari seberang sana.

“Kenapa Mas Rangga tidak mengangkat ponselnya? Padahal hari sudah semakin malam,” gumamnya pelan sambil menatap layar ponsel yang menunjukkan panggilan tak terjawab.

Ratih mencoba lagi untuk menelepon suaminya, tapi tetap tak ada jawaban. Kegelisahannya semakin menjadi-jadi.

“Mas Rangga, Kamu di mana sebenarnya?” ujar Ratih dengan wajah sedih.

Sementara di tempat lain,

Ternyata Rangga sedang asyik bermain judi bersama teman-teman tongkrongannya di sebuah rumah kosong di pinggiran kota. Suara tawa dan obrolan riuh memenuhi ruangan itu, sementara di meja judi, uang berhamburan dari tangan ke tangan.

“Kali ini aku pasti menang,” ujar Rangga dalam hatinya, meyakinkan diri.

Uang lima ratus ribu yang ada di tangannya adalah uang yang diambilnya dari dompet Ratih di lemari kamar mereka pagi tadi. Sang istri tentu tidak tahu, dan Rangga berharap bisa memenangkan lebih banyak uang untuk mengganti yang dia ambil dari istrinya.

“Semoga aku menang, dan bisa mengembalikan uang Ratih yang telah ku ambil,” ujarnya dalam hati.

"Giliranmu, Rangga!" seru salah satu temannya, membawa Rangga kembali kepada kenyataan.

Dengan penuh rasa percaya diri, pria itu meletakkan uangnya di atas meja, namun sayangnya, keberuntungan tidak berpihak padanya malam itu. Namun bukannya menang, uang lima ratus ribu yang dia ambil dari dompet Ratih itu malah lenyap begitu saja.

“Ah sial!” Rangga menggerutu, kecewa. Namun dia tak bisa berbuat apa-apa selain menyadari bahwa semua usahanya telah sia-sia.

Sementara itu,

di sebuah rumah yang sederhana, waktu sudah menunjukkan pukul delapan malam. Perut Ratih mulai keroncongan, tapi tak ada tanda-tanda Rangga akan pulang. Setelah menunggu cukup lama, dia akhirnya menyerah dan memutuskan untuk makan malam sendiri. Meski begitu, hatinya terasa sangat sedih dan hampa.

“Makan sendiri lagi,” ucap Ratih lirih sambil menatap meja makan yang hanya diisi satu piring.

Suasana yang sepi di rumah menambah rasa kesendirian yang mencekam. Sesekali, dia menatap ponselnya, berharap ada pesan atau telepon dari Rangga. Namun tetap tidak ada.

Ratih hanya bisa menghela napas panjang, mencoba menerima kenyataan bahwa suaminya semakin sering berubah sejak mereka menikah. Saat itu, dia teringat bagaimana Rangga yang dulu penuh perhatian kini perlahan-lahan semakin jauh.

Hari semakin malam namun Rangga tidak pulang juga. Ratih tidak dapat berbuat apa-apa. Hanya bisa menangis dan meratapi nasibnya yang begitu buruk setelah dia menikah.

“Kenapa semua ini harus terjadi kepadaku?” ucapnya sedih dalam hatinya.

Tengah malam akhirnya tiba. Ratih sudah terbaring di tempat tidur, meski matanya sulit terpejam karena terus memikirkan Rangga, suaminya yang belum juga pulang ke rumah. Tiba-tiba terdengar suara pintu depan terbuka. Langkah kaki berat terdengar mendekat, dan tak lama kemudian Rangga masuk ke dalam kamar.

Ratih yang setengah terbangun menoleh ke arah suaminya. Wajahnya terlihat lelah dan sedikit kusut. Bau alkohol samar tercium, namun Ratih memilih diam. Dia ingin bertanya ke mana saja suaminya selama ini, akan tetapi saat melihat Rangga yang langsung berbaring di sampingnya, dia merasa ragu.

“Mas, aku mau ngomong,” ucap Ratih pelan, mencoba mengumpulkan keberanian.

Namun, tanpa mendengarkan omongan istrinya, Rangga malah tiba-tiba memeluk Ratih dari belakang. Tindakannya terasa begitu mendadak dan jelas sekali tak ada cinta di sana. Ratih mencoba menahan tangis yang sudah membendung di pelupuk matanya.

Rangga, tanpa basa-basi, mulai mengajak Ratih melakukan hubungan suami istri malam itu. Meski hati Ratih terasa hancur, dia tidak menolak. Dia hanya diam, membiarkan semuanya terjadi.

“Jangan lupa minum pil KB! Kamu jangan sampai lupa!” tegas Rangga.

Setelah itu, sang suami langsung tertidur pulas, tanpa memberikan penjelasan apapun.

Ratih yang masih terjaga merasa kesedihannya semakin mendalam. Dia tahu ada sesuatu yang tidak beres dengan suaminya, akan tetapi setiap kali mencoba membicarakannya, Rangga selalu menghindar.

“Mas, aku mau bicara,” suara Ratih terdengar lirih namun penuh harap.

“Aku capek, Ratih! Besok saja kita bicarakan,” jawab Rangga dingin sambil membalikkan badannya.

Air mata Ratih akhirnya jatuh. Dia mencoba menahan, akan tetapi sakit di hatinya tak bisa dibendung lagi. Rasanya seperti ada dinding tak kasat mata yang semakin membesar di antara mereka.

Dulu, sebelum menikah, Rangga selalu mendengarkan setiap keluhannya, memberikan pelukan saat Ratih merasa sedih. Tapi kini, sikap suaminya telah berubah drastis.

Dengan hati yang berat, Ratih menatap langit-langit kamar. Pikirannya berputar-putar, mencoba memahami apa yang sebenarnya terjadi pada pernikahan mereka. Namun, tak ada jawaban yang jelas. Yang ada hanyalah kehampaan yang perlahan-lahan menggerogoti hatinya.

Keesokan paginya, matahari telah terbit, tapi suasana rumah masih sepi. Rangga masih terlelap di tempat tidur, sementara Ratih sudah bangun lebih awal. Dia tidak bisa tidur semalaman, memikirkan suaminya yang semakin jauh sikapnya. Meski begitu, dia tetap menjalankan tugas rumah tangga seperti biasa yaitu memasak sarapan, membersihkan rumah, dan menyiapkan keperluan suaminya.

Namun, kali ini ada yang berbeda. Hatinya sudah mulai merasakan kelelahan yang luar biasa. Kecewa dan sakit hati yang selama ini dipendamnya kini semakin berat dirasakan. Dia tahu bahwa jika terus begini, dirinya akan semakin hancur.

Rangga akhirnya bangun, berjalan ke ruang makan tanpa berkata apa-apa. Ratih melihatnya sekilas, tapi memilih untuk tidak memulai percakapan terlebih dahulu. Rangga duduk di meja makan, mengambil roti dan memakannya dengan diam. Suasana di antara mereka terasa kaku, nyaris tanpa komunikasi.

Ratih mencoba mengumpulkan keberanian lagi.

“Mas, kita perlu bicara.”

Rangga menghela napas panjang dan meletakkan rotinya.

“Iya, nanti. Aku harus kerja dulu, Ratih,” katanya tanpa menatap istrinya.

Ratih menunduk, merasa kecewa lagi. Rasanya tak ada ruang bagi dirinya di hati Rangga lagi, padahal mereka baru menikah beberapa waktu yang lalu. Bagaimana bisa semuanya berubah begitu cepat?

"Kenapa kamu berubah, Mas?" tanyanya dalam hati, tapi tak ada suara yang keluar dari bibirnya.

Ratih tahu, dia harus melakukan sesuatu untuk menyelamatkan pernikahannya, atau mungkin menyelamatkan dirinya sendiri. Tapi, apa yang harus dilakukan olehnya, itu masih menjadi tanda tanya besar.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel