Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

BAB. 5 Ditagih Sewa Rumah

Hari semakin siang, sinar matahari masuk melalui celah-celah jendela rumah petakan sederhana yang ditempati Ratih dan suaminya, Rangga. Ratih, seorang wanita muda berambut panjang dan tubuhnya yang mungil, sedang duduk di meja makan kecil di ruang tengah, menikmati sarapan sederhana, nasi dengan sayuran dan tempe goreng yang dibuat sendiri olehnya dengan irisan telur dadar di atasnya. Meski sekarang hidupnya sederhana, namun Ratih terbiasa bersyukur dan berusaha menjaga agar rumah kecil mereka tetap nyaman dan bersih.

Perempuan itu mencoba menerima nasib kehidupannya saat ini. Walaupun sikap Rangga mulai berubah namun perempuan itu tetap tabah dan sabar kepada suaminya.

Selesai sarapan, Ratih bangkit dari kursinya, menghela napas panjang, lalu mulai membersihkan meja makan. Setelah itu, dia mengambil sapu dari pojok dapur dan mulai menyapu lantai. Debu-debu kecil yang terkumpul di sudut ruangan segera terhempas oleh sapuan tangan Ratih yang mulai terlatih. Dia akan berusaha keras menjaga rumahnya selalu bersih, meskipun sederhana, karena Ratih ingin memberikan kenyamanan untuk dirinya dan Rangga.

Setelah selesai menyapu, Ratih bergerak ke dapur untuk mencuci piring. Tangannya yang lembut mulai merendam piring-piring kotor dalam bak cuci yang penuh dengan busa sabun. Saat perempuan itu asyik dengan pekerjaan dapurnya, tiba-tiba terdengar suara seseorang dari luar, memanggil-manggil nama suaminya.

“Rangga! Rangga, apa kamu ada di rumah?” suara itu terdengar jelas di pintu depan rumah.

Ratih menghentikan cucian piringnya dan segera mengeringkan tangannya dengan handuk kecil.

“Siapa ya yang manggil Mas Rangga pagi-pagi gini?” gumamnya sambil berjalan menuju pintu depan.

Sesampainya di depan pintu, Ratih membuka pintu kayu tua itu dengan sedikit berderit, dan terkejut melihat siapa yang berdiri di luar.

“Oh, Maaf Bu. Suami saya lagi pergi. Saya Ratih, istrinya Mas Rangga,” tutur Ratih ramah.

Bu Ningsih agak terkejut, saat mengetahui jika Rangga telah menikah. Namun dia mencoba menyembunyikan keterkejutannya. Bu Ningsih, seorang wanita paruh baya yang merupakan pemilik rumah petakan mereka, sedang berdiri dengan wajah tegas di depan pintu.

“Selamat pagi, Ratih. Maaf kalau saya mengganggu, tapi saya harus bicara tentang uang sewa rumah, kepada Rangga.” tutur Bu Ningsih langsung dengan nada serius.

Ratih mengerutkan kening, tidak paham apa yang dimaksud oleh Bu Ningsih. “Sewa rumah, Bu?”

“Iya, sewa rumah. Rangga sudah menunggak sejak tiga bulan yang lalu. Saya harap kamu sudah tahu soal ini.”

Ratih merasa darahnya mendidih di dalam tubuhnya. “Apa? Tiga bulan? Tapi … setahu saya, Mas Rangga masih bekerja sebagai sopir pribadi ayah saya saat itu. Saya pikir dia sudah membayar semuanya. Apalagi dia ada gaji bulanan saat itu.”

Bu Ningsih menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Maaf, Ratih, tapi sampai sekarang saya belum menerima uang sewa dari Rangga. Saya sudah cukup sabar menunggu, tapi ini sudah terlalu lama.”

Perempuan tua itu semakin kaget saat mengetahui jika istri Rangga adalah anak dari majikannya.

“Gila banget, Si Rangga! Pakai pelet apa dia, sampai bisa menggaet putri dari Bos tempat dia bekerja!”

Ratih merasa gemetar. “Bagaimana mungkin ini terjadi? Kenapa Mas Rangga tidak memberitahuku?” Dia menatap Bu Ningsih yang kini berdiri dengan tangan bersilang di dadanya, menunggu jawaban darinya.

“Bu Ningsih, maaf sekali. Saya tidak tahu soal ini, tapi ... saya akan bayar secepatnya.” Ratih berusaha menenangkan dirinya.

Bu Ningsih menarik napas panjang, lalu berkata,“Baik, tapi tolong segera dilunasi hari ini. Saya tidak bisa menunggu lebih lama lagi. Kamu kan istri Rangga, jadi kamu juga harus bertanggung jawab.”

Ratih terdiam sejenak, merasa tersudut, tapi dia tahu jika dirinya tidak punya pilihan. “Baik, Bu Ningsih. Tunggu sebentar, saya ambil uangnya di dalam.”

Ratih masuk kembali ke dalam rumah, meninggalkan Bu Ningsih di depan pintu. Dengan cepat, perempuan itu menuju ke kamar tidur, membuka lemari kayu kecil di sudut kamar, dan mencari dompetnya. Saat menemukannya, Ratih dengan tangan gemetar membuka dompetnya. Dia mulai menghitung uang yang tersisa di dalamnya. Jumlahnya cukup untuk membayar sewa tiga bulan, tapi saat menghitung lebih teliti, Ratih sadar ada sesuatu yang aneh.

“Lho, kok uangnya kurang lima ratus ribu?” gumam Ratih.

Dia mulai berpikir keras. Padahal terakhir kali Ratih memeriksa dompetnya, uang itu masih utuh.

“Ke mana uang itu? Apakah Mas Rangga yang menggunakannya tanpa sepengetahuanku?

Ratih merasakan perasaan kecewa yang mulai menjalar dari dalam hatinya. Rangga akhir-akhir ini memang mulai berubah. Dulu, sebelum menikah, Rangga adalah pria yang sangat perhatian, selalu terbuka tentang segala hal. Namun sekarang, sejak mereka tinggal bersama, Rangga sering menyembunyikan sesuatu. Ratih mulai bertanya-tanya, apa sebenarnya yang sedang terjadi dengan suaminya.

Ratih menggigit bibirnya, mencoba menahan air mata yang hampir tumpah. Namun, ini bukan saat yang tepat untuk emosional. Bu Ningsih masih menunggu di luar, dan Ratih tahu jika dia harus menyelesaikan masalah sewa ini terlebih dahulu.

Ratih kembali ke depan pintu dengan uang di tangannya.

“Ini, Bu Ningsih. Uangnya untuk tiga bulan sewa yang tertunda. Maaf atas keterlambatannya.”

Bu Ningsih menerima uang itu dengan anggukan singkat. “Terima kasih, Ratih. Saya harap kedepannya tidak ada penundaan lagi.”

Ratih hanya mengangguk, tidak bisa berkata banyak. Setelah menerima uang, Bu Ningsih pun segera pergi, meninggalkan Ratih sendirian di depan pintu rumah.

Ratih menutup pintu pelan-pelan, lalu berjalan kembali ke kamar. Dia lalu duduk di tepi tempat tidur, mengambil dompetnya lagi, dan menghitung sisa uang yang ada. Setelah membayar sewa, uang di dompetnya jauh lebih sedikit dari yang diharapkan olehnya. Dan masih saja, uang yang berjumlah lima ratus ribu itu hilang entah ke mana.

“Kenapa uangnya bisa hilang?” pikirnya, masih bingung.

Ratih mulai merasa frustasi. Suaminya, Rangga, seharusnya bertanggung jawab atas sewa rumah ini.

“Kenapa Mas Rangga tidak mengatakan apa-apa kepadaku? Kenapa dia membiarkan masalah ini berlarut-larut?”

Ratih lalu menatap foto pernikahan mereka yang terpajang di meja kecil di sebelah tempat tidur. Dalam foto itu, mereka berdua tersenyum bahagia, dengan harapan masa depan yang cerah. Namun, kini Ratih merasa senyum itu mulai pudar. Rangga tidak lagi seperti pria yang dulu dia nikahi. Pria yang penuh perhatian, terbuka, dan jujur. Kini, Rangga sering pulang larut malam tanpa alasan jelas dan mulai jarang berbicara dengannya.

“Kenapa kamu berubah, Mas Rangga?” gumamnya pelan, mengusap foto pernikahan mereka dengan jemarinya. Ratih merasa air mata mulai menggenang di matanya, tapi dia cepat-cepat menghapusnya. Dirinya harus kuat, meskipun kenyataannya sangat pahit.

Dengan napas berat, Ratih berdiri dan kembali ke dapur, melanjutkan pekerjaannya yang sempat tertunda. Meskipun hatinya berat, dia sadar jika harus tetap menjalani hari-harinya, sambil menunggu Rangga pulang untuk memberikan penjelasan atas semua ini.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel