Bab 3 Pria Itu
Bab 3 Pria Itu
Vicky POV
Jam satu lebih aku baru kembali dari café yang sering kudatangi sesuai jadwalku. Tidak setiap malam aku berada di sana, karena Bellarosa tidak hanya memiliki diriku saja. Empat kali dalam seminggu aku akan ke tempat itu untuk sebulan ini. Aku bekerja di café itu sudah sejak setahun yang lalu, ketika sudah mampu membuat Kevan lebih jinak di malam hari. Kevan memiliki kebiasaan begadang di malam hari. Kebiasaan anak lelakiku yang begitu sangat merepotkan. Aku beruntung karena masih memiliki Claire yang suka menjaganya ketika aku tidak ada di rumah.
Claire ikut sekolah malam, yang sering diikuti oleh anak-anak yang sudah bekerja. Claire tidak bekerja, ia menghabiskan waktu siangnya untuk menjaga Kevan untukku. Aku sangat terbantu dengan adanya adik cantikku itu. Meskipun tingkahnya jauh dari kata feminim. Aku seperti tinggal dengan anak lelaki. Aku selalu menyuruhnya untuk bersikap seperti layaknya perempuan, tapi ia kukuh dengan keinginannya. Mungkin suatu hari nanti akan ada sesuatu yang bisa merubahnya.
Setelah mengganti pakaian, aku merebahkan tubuhku memeluk Kevan. Tadi aku menggendong Kevan yang berada di kamar Claire dan memindahkannya ke kamarku. Kevan semangat hidupku. Anak lelaki tampan satu-satunya milikku adalah pengobat ketika aku merindukan Kevin yang tidak jelas mengapa pergi begitu saja. Aku tahu, pasti dia memiliki wanita lain. Aku pikir dengan bermodal cinta dan keyakinan akan membuat kami bisa hidup bahagia selamanya dan membuat pernikahan kami bertahan sampai akhir. Cinta dan yakin saja tidak cukup, karena Kevin meninggalkanku. Walaupun aku mencintai dan yakin kepadanya.
Sampai sekarang aku masih belum tahu apa kesalahanku sehingga dia menyelingkuhiku. Aku tidak mau pusing memikirkannya, aku bosan berputar-putar di masa lalu. Aku hanya bisa berdoa semoga Kevin mendapatkan ganjaran dari Tuhan. Setahuku aku tidak melakukan kesalahan apa-apa. Berselingkuh tidak, berkata-kata kasar di depannya juga tidak, sebelum kepergiannya kami masih sempat nonton di bioskop dan tertawa bersama. Dari sisi mananya aku dinyatakan bersalah?
Selama aku mengalami sakit hati, Claire menemaniku dan tinggal di sini. Dia juga yang membawaku ke rumah sakit ketika aku pingsan karena kekurangan gizi. Waktu itu aku tidak sadar kalau tengah hamil 4 bulan. Perutku rata, dan tidak mual-mual di pagi hari. Ketika aku mendengar kabar kalau aku sedang berbadan dua aku semakin terpuruk. Aku hamil dan suamiku melayangkan surat cerai kepadaku. Aku tidak tahu kini surat itu berada dimana, mungkin ikut hancur karena terkena air mata atau mungkin diterbangkan ke suatu tempat oleh angin. Aku tidak peduli.
Memangnya siapa Kevin? Aku tidak terima kalau dia meminta cerai tapi tidak datang ke hadapanku. Aku akan setuju bercerai kalau dia ada di depanku. Menikah saja prosesnya panjang, apalagi bercerai? Memangnya dia akan dengan mudah bisa menceraikanku? Lagipula sejak awal aku tidak menginginkan menikah hanya untuk bercerai. Kevin itu lelaki sialan, apa dia tidak punya otak kalau sumpah setianya disaksikan oleh banyak orang dan disaksikan oleh Tuhan? Aku tidak yakin kalau isi kepala Kevin masih terdapat otak dan syaraf-syaraf pendukungnya. Apa jangan-jangan kepala Kevin isinya sampah dan barang rongsokan?
Percuma dia kuliah sampai Amerika dan mendapat predikat summa cumlaude, kalau kepribadiannya nol besar. Sebenarnya yang salah itu aku, kenapa mau saja menjadi kekasihnya dan menikah dengan Kevin. Gara-gara Kevin, aku membuang lelaki-lelaki yang mati-matian menyatakan cintanya kepadaku. Andai saja aku memilih lelaki lain dan itu bukan Kevin. Hidupku pasti sudah bahagia.
Astaga, mengapa aku masih memikirkan hal-hal tidak penting tengah malam begini. Aku memutar musik klasik dengan suara pelan, untuk mengiringi tidurku agar tidak berpikir acak tentang masa lalu. Bisa gila kalau pemikiranku selalu negatif tentang kehidupanku sendiri. Untuk apa aku repot-repot memikirkan hal konyol dan tidak berguna.
Aku mengelus-elus rambut Kevan, rambutnya halus dan wangi. Aku mengingat ada seorang pelanggan di café tadi yang melihatku dengan tatapan aneh. Aku seperti ditelanjangi di atas panggung itu. Tatapannya datar, tapi aku merasa lain. Aku tahu itu hanya perasaanku saja, bisa saja pria tersebut tidak bermaksud begitu.
Mendapat tepukan tangan, dan sorak-sorak senang dari pendengarku adalah hal yang biasa bagiku. Ditatap dengan tatapan penuh pemujaan aku juga sudah biasa mendapatkannya. Ketika laki-laki itu menatapku, aku jadi takut sendiri, seperti diriku berada dalam bahaya. Aku masih ingat bagaimana wajahnya meskipun dari jarak yang lumayan jauh. Dia duduk di meja paling sudut dan sering melihat ke arah jalanan, seolah akan ada orang yang menemuinya, tapi sampai ia pulang tidak ada orang yang datang.
Pria itu cukup tinggi dan memiliki tubuh yang lumayan, jas hitamnya menutupi tubuhnya. Rambutnya disisir rapi ke belakang, aku tidak tahu kalau model rambut biasa itu bisa membuat banyak wanita melihatnya berkali-kali. Sangat jelas kalau dari awal pria itu datang sampai pulang, selalu saja ada yang melihatnya. aku melihatnya beberapa kali, bukan karena aku tertarik, tapi karena sudah tugasku membangun komunikasi dengan penontonku. Sekali aku menatapnya, dan aku memutuskan untuk tidak melihatnya terlalu sering, ia memiliki aura yang membuat diriku tidak nyaman.
