Bab 13 Kalah
Bab 13 Kalah
Mark Meyer mengumpat pelan, ia bersembunyi di salah satu pohon untuk menutupi tubuh jangkungnya. Vicky Fonda sudah seperti magnet yang menarik hidup Mark. Ia benci dengan sikapnya yang seperti pecundang sekaligus penguntit. Mark tidak mengerti tentang hatinya. Apa yang ia lakukan sepenuhnya karena dorongan dari jiwanya yang tiba-tiba. Sialnya, Mark merasa janggal dengan tingkahnya, karena tidak seharusnya ia melakukan hal tersebut.
Setelah Vicky menghilang, Mark bernapas lega, lalu keluar dari persembunyiannya. Ia pulang ke kediamannya dengan membawa mobil. Mark mencengkeram kemudinya kuat-kuat, tidak jelas apa yang menjadi pemicu dari sikap anehnya. Mark datang di café itu setiap malam, dan akan segera pulang setelah melihat Vicky selama dua atau tiga jam. Selalu begitu saat Mark memiliki kesempatan. Ini adalah hal tergila, karena hari ini ia mengikuti mobil Vicky sampai ke rumahnya.
Mark mewanti-wanti untuk fokus dengan hidupnya dengan tidak memikirkan Vicky Fonda, tapi hasilnya selalu saja gagal total. Misalkan hati dan pikirannya kompak untuk melupakan Vicky, tapi tubuhnya selalu membawa dirinya untuk menemui Vicky secara diam-diam. Mark Meyer memiliki pendirian yang keras, dan kekerasan itu tidak berarti kalau sudah menyangkut soal Vicky. Cinta memang sangat kuat, tidak peduli dengan diri Mark yang sempat memberontak.
"Persetan!" Mark membanting kemudi ke samping kiri. Untung jalanan sepi, hingga tidak mencelakai pengguna jalan lain atas perbuatan Mark yang tiba-tiba.
Laju mobil yang kencang membuat tubuhnya terguncang, karena mobil itu sempat menabrak pohon yang ditanam di pinggir jalan. Mark tidak mengalami apa-apa, dan langsung keluar melihat mobilnya yang ringsek di bagian depan. Emosinya mungkin sudah diubun-ubun, ia menendang ban mobil dan berteriak-teriak di telepon meminta bantuan asistennya. Siapa lagi kalau bukan Ryan Xaviero, sang asisten yang digaji selangit tapi harus menuruti perintah majikannya tidak peduli tengah malam atau ada hujan badai sekalipun.
Bosan mondar-mandir di samping mobilnya, Mark duduk diam di dalam mobil dengan membuka pintu di sisi kemudi. Kakinya menapak di jalan beraspal. Matanya nyalang memandang objek kosong di depannya. Mark sedang tidak fokus dengan apa yang ia kerjakan. Semuanya berjalan tidak jelas dan berantakan. Bantuan segera datang, dan ia diantar pulang oleh Ryan.
"Mark, kita sudah sepakat kalau tidak akan ada panggilan tengah malam seperti ini." Ryan uring-uringan sambil mengemudikan mobilnya. Siapa yang tidak uring-uringan kalau tidur nyenyaknya diganggu oleh teman kuliah yang merangkap sebagai bosnya.
"Dan jelaskan, bagaimana ceritanya kamu menabrak pohon padahal jelas-jelas jalanan sepi. Kau mabuk?"
"Aku sedang malas, Ry. Tutup mulutmu dan antarkan aku pulang." Mark memejamkan matanya seperti orang yang habis melakukan segudang kegiatan padahal Ryan tahu kalau seharian ini bos nya itu tidak melakukan apapun.
"Oke, ini kali terakhir. Aku tidak akan datang kalau kamu berulah di malam hari. Aku butuh istirahat, dan untuk apa kamu masih berkeliaran jam segini? Menabrak pohon pula."
"RYAN!" Mark memperingatkan kalau dia sedang tidak ingin diganggu.
"Oke, aku akan diam." Ryan memang diam, tapi dalam hatinya ia menggerutu dan memaki-maki Mark Meyer yang menyebalkan.
Ryan menghidupkan lagu-lagu kesukaannya dan bersenandung. Tidak peduli dengan Mark yang sangat terganggu dengan suara sumbangnya itu. Mark diam saja, meskipun sekarang ia sedang memandang lurus ke depan. Lama-lama Ryan bosan bernyanyi dan akhirnya melirik ke samping, ke arah Mark yang menurutnya aneh sejak pindah ke penthouse-nya.
"Kekasihku adalah teman dari Vicky Fonda. Aku tidak tahu kalian memiliki hubungan seperti apa, karena aku tidak mau tahu. Tapi kupikir kau tertarik dengan Vicky. Well, dia janda yang cantik. Aku bisa meminta bantuan kepada Joana. Mereka berdua bekerja di tempat yang sama, lalu apalagi kendalanya?" Ryan sok tahu.
"Aku tidak tertarik dengan siapa-siapa."
"Kau yakin, Mark? Mustahil, orang bodoh juga tahu kalau kamu sedang membual. Kau sudah dewasa, tapi caramu sungguh kekanak-kanakan." Ryan meringis.
"Kau tidak akan mengerti."
"Buat aku mengerti."
"Aku sedang tidak membutuhkan bimbingan konseling darimu."
"Kalau kamu tidak menentu seperti ini, secara tidak langsung aku merasa terganggu, Mark. Kamu itu labil sekali, seperti anak gadis yang baru beranjak dewasa."
"Aku bisa benar-benar gila kalau berhadapan denganmu setiap hari, aku ingin pensiun saja. Lebih baik aku berkebun bersama Joana daripada berada di sekitarmu."
"Terserah kau saja, Ryan." Mark menanggapinya dengan malas. Mark tahu kalau Ryan hanya bercanda soal ingin pensiun dini. Sudah ratusan kali Ryan mengatakan ingin pensiun tapi tidak pernah terlaksana.
Ryan mendengus sebal. Mark itu memiliki kepribadian yang kadang menyenangkan dan kadang menjengkelkan. Ia bertemu lagi dengan Mark ketika di Zola City. Ryan dulunya bekerja di sana, dan tidak sengaja bertemu kembali dengan mantan teman sekelasnya yang dulu tidak begitu akrab selama jaman kuliah. Mereka sering bertemu, berteman, menjadi akrab, dan berakhir menjadi asistennya. Ryan betah bekerja dengan Mark, karena dari segi bayaran yang cukup menjanjikan sebagai cadangan di hari tua bersama keluarganya kelak. Kelewat baiknya, Mark memberi beberapa persen saham Meyer Corporation kepadanya secara cuma-cuma. Memiliki 1% saham saja sudah bisa membuat dirinya menganggur selama lima belas tahun, apalagi dengan 9% saham yang ia miliki.
"Sudah tiba tuanku yang terhormat." Ryan berkata tidak ikhlas.
Mark keluar begitu saja, melenggang seperti tidak pernah berbuat kejahatan kepada Ryan.
Tiiiin …… tiiiiin …………
Ryan membunyikan klaksonnya. "Sialan kau Mark!" Ryan berteriak kesal. Ia teringat kepada Joana yang ia tinggalkan begitu saja.
Mark tidak menggubris Ryan yang berteriak-teriak di dalam mobilnya. Berjenis kelamin laki-laki saja Ryan sudah terlalu banyak berbicara, apalagi kalau dia adalah seorang perempuan. Mungkin Ryan versi wanita akan menjadi biang gosip paling bersemangat di dunia. Ryan Xaverio hanya bisa efisien dan praktis kalau berada di tempat umum.
