Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 7

“Abi,  kenapa pulang jam segini?” tanya Rima saat Akbar baru saja terlihat masuk ke dalam kamar mereka. Rima kebetulan sudah terlelap.

“Kamu kebangun yah? Tidurlah kembali,  aku akan bersih-bersih.” Akbar bergegas ke kamar mandi.

Selang 10 menit,  Akbar sudah keluar dari kamar mandi dengan wajah yang lebih segar. Ia melihat Rima datang dengan secangkir teh hangat yang masih mengepulka  asap.

“Aku kan sudah bilang jangan bangun,  nanti kamu kelelahan.”

“Tidak apa-apa,  Abi. Ini minumlah dulu.”

Akbar mengambil gelas teh dan meneguknya. Mereka duduk berdampingan di atas ranjang. “Abi,  apa aku boleh bertanya?”

“Apa? Tanyakan saja.”

“Mbak Kanaya ada di rumah kontrakan kita?” tanya Rima,  tampak wajah Akbar sedikit berubah,  tetapi dia kembali merubah raut wajahnya.

“Iya, aku membawanya kesana. Dia menjadi korban penjualan manusia atau wanita. Aku mengajaknya kesana karena aku tak mungkin meninggalkannya begitu saja. Kamu sudah mengetahuinya?” tanya Akbar tampak santai saja.

“Iya,  aku kemarin mengambil uang kontrakan dari penyewa dan bertemu dengannya. Kami sedikit mengobrol,  ternyata mbak Kanaya di tinggalkan suaminya,  kasian.”

“Iya kamu benar. Padahal dia begitu sempurna,  dia begitu lemah lembut,  sikapnya begitu ramah dan sopan,  pinter juga,  cantik jangan di tanya. Dia sangat cantik,  sayang sskali di sia-siakan suaminya. Aku yakin suaminya akan sangat menyesal karena meninggalkan wanita sholehah seperti Kanaya, “ jawab Akbar membuat Rima terdiam.

‘Sebenarnya benar yang di katakan suamiku,  tetapi kenapa hatiku sakit mendengar suamiku sendiri memuji wanita lain yang merupakan masalalu nya. Kenapa hatiku merasa tak rela dan cemburu mendengar kata-kata pujiannya di tunjukkan pada wanita lain. Apa aku salah kalau aku hanya ingin pujian yang di lontarkan suamiku hanya untuk diriku saja?’ batin Rima.

***

Siang itu Rima baru saja keluar dari klinik Bunda,  memeriksakan kandungannya. Ia mengernyit menatap langit biru nan cerah dan begitu panas. Rima melihat jam tangan yang bertengker di pergelangan tangannya.

“Hulya sudah waktunya pulang, “ gumamnya. Ia memesak taxi online dan menunggunya di depan klinik.

Tatapan Rima tak sengaja melihat sosok suaminya yang baru saja keluar dari toko kue bersama dengan seseorang.

“Abi?” gumamnya,  ia terus memperhatikan sosok itu hingga menaiki mobil miliknya. “Mbak Kanaya?”

Ada rasa sakit di dalam hati Rima melihat kenyataan itu. Kanaya bersama dengan Akbar dan selama ini Rima tidak tau apapun.

Bersamaan dengan itu,  taxi online pesanannya datang. Rima segera naik ke dalam taxi dan meminta sopirnya untuk mengikuti mobil itu. Ia akan membayar lebih untuk itu.

Rima melihat mobil Akbar masuk ke pekarangan Budhe Rima yang merupakan orangtua dari Kanaya. “Apa Abi berniat membantu Mbak Kanaya untuk kembali akur? Makanya dia menemani mbak Kanaya kemari?” gumam Rima.

T“Bagaimana Bu,  apa Ibu mau turun di sini?” pertanyaan sopir taxi online tadi menyadarkan Rima dari lamunannya. Ia melihat cuaca mendadak berubah menjadi mendung,  seakan turun hujan. Padahal sebelumnya begitu cerah dan sangat panas.

“Kita ke tempat tujuan utama saya,  Pak.”

“Baik Mbak, “ jawab sang sopir dan melajukan mobilnya meninggalkan tempat itu.

‘Astagfirulloh,  tidak Rima jangan suudzon pada suamimu. Ini pasti karena Abi ingin membantu Kanaya kembali akur bersama keluarganya.’ Batin Rima.

Tak lama mereka sampai di sekolah Hulya dengan hujan sudah turun begitu deras. “Astaga Hulya.” Rima bergegas turun setelah membayar sopir taxi tadi. Ia sedikit berlari menuju ke gerbang sekolah yang tampak sudah sepi.

“Ya Allah Hulya!” Rima memekik kaget melihat putrinya berdiri di bawah guyuran hujan dan tampak memggigil.

“Umi,” Hulya menoleh ke arah Rima dengan tatapan sendu.

“Maaf karena Umi telat jemput kamu,” ucap Rima segera menggendong Hulya dan memeluk tubuhnya. Ia membawa Hulya ke tempat yang teduh seraya kembali memesan taxi online.

***

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel