Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Abi dimana...?

Cici masih tidak percaya dengan semua yang dia dengar dini hari tersebut.

"Mana mungkin Abang hilang, enggak.... ini enggak mungkin, aku akan mencari keberadaan Abang Akmal!"

Jam dinding berdetak sangat cepat, saat mendengar suara seruan azan subuh di pagi hari itu. Cici yang sejak tadi mencoba menghubungi nomor telepon suaminya, tampak semakin gelisah dan ketakutan. Wajah cantiknya, masih terlihat lelah ditemani Oneng didalam kamar utama yang luas.

Cici beranjak ke kamar mandi, untuk membersihkan diri, dan menjalani kewajibannya sebagai seorang istri muslimah. Tentu memanjatkan doa-doa keselamatan untuk Akmal suami tercinta.

Cici kembali meraih handphone yang terletak diatas nakas, membiarkan Oneng menjaga Mira masih terlelap diatas ranjang kingsize milikinya.

"Assalamualaikum Cardo,"-Cici.

"Waalaikumsalam Kak, kenapa Kak?"-Cardo.

"Kamu bisa menemani Kakak ke kelok sembilan subuh ini? Bang Akmal hilang disana, Do!"-Cici.

"Haaaah!? Bang Akmal hilang? Serius Kak? Ini enggak hoax kan?"-Cardo.

"Enggak, Do. Barusan Dony yang nelpon ke Kakak, awal Kakak pikir juga bercanda, karena nggak mungkin Bang Akmal hilang, tapi ternyata emang beneran!" Cici tidak kuasa menahan rasa takutnya, hingga kembali menangis, membayangkan akan kehilangan suami tercinta.

"Iya Kak, Cardo kesana sekarang! Tapi Nisa aku tinggalin dirumah kakak aja yah? Karena enggak mungkin kita bawa Mira dan anak ku!"-Cardo.

"Ya, Kakak tunggu kamu dirumah!" Cici menutup telfonnya, kembali meletakkan handphone dinakas, dan bergegas bersiap-siap.

Cici bergegas mengenakan baju kaos dan celana panjang jeans, untuk melakukan perjalanan yang memakan waktu tiga jam untuk menuju kelok sembilan.

"Ya Tuhan, selamatkan suamiku! Aku tidak ingin berpisah darinya. Aku ikhlas apapun keadaannya, tapi aku harus mendapatkan dimana keberadaan Abi saat ini. Abi bertahanlah dimanapun kamu berada!"

Cici kembali menangis disela-sela kesibukannya merias wajah.

Wajah yang hanya mampu dipolesi lipstik natural, sesuai kebiasaannya setiap hari. Tidak lupa juga, Cici memberitahu pada pihak kampus kondisinya saat ini.

Betapa terkejutnya mereka mendengarkan tentang kehilangan Akmal suaminya, tentu hanya kekuatan yang dapat mereka berikan pagi hari tersebut.

Tidak lama Cici mempersiapkan semua kebutuhannya, dia menitipkan pesan pada Oneng, agar menjaga Mira, "Neng, nanti Nisa akan menemanimu disini. Lakukan seperti biasa yah? Masak sekedarnya saja, karena Kakak pulang agak malam, semoga Bang Akmal segera ditemukan."

Oneng mengangguk mengerti, tampak kekhawatiran menyelimuti pikirannya, bagaimana mungkin seorang Akmal bisa menghilang? Bukannya dia selalu tampak baik-baik saja?

"Iya Kak, kayaknya Mira juga dari kemaren belum makan nasi, hanya minum susu saja," Oneng mengingatkan Cici.

Cici mengusap wajahnya lembut, matanya kembali berlinang, air mata yang tidak kunjung mengering, kembali mengalir membasahi pipi mulus, yang bersih.

"Tolong kasih saja yah, Neng! Kakak nggak tahu mesti gimana? Karena hanya Abang yang kakak punya saat ini," Cici kembali menangis sesenggukan, membuat bahunya bergetar kembali.

Oneng mengusap lembut punggung Cici, dia hanya bisa menenangkan. Walau didalam hati banyak pertanyaan 'mengapa' namun bibir tidak sanggup untuk bertanya lagi.

Cici Permata, wanita tiga bersaudara yang merupakan satu-satunya wanita yang hidup sendiri di kota minyak Pekanbaru Riau. Kedua abangnya memilih meniti karir di daerah kepulauan karena tuntutan pekerjaan mereka untuk keluarga tercinta.

Namun saat ini Cici belum sanggup memberi kabar pada semua keluarga, sebelum mendapatkan kejelasan atas keberadaan Akmal yang hilang.

Cardo merupakan keponakan dari pihak Almarhum Mama Cici yang telah meninggal dunia beberapa tahun lalu. Hanya dia satu-satunya yang Cici miliki saat ini dikota yang sama.

Tidak lama Cici mempersiapkan semua kebutuhannya, suara kendaraan Cardo terdengar dari luar. Bergegas Cici mengambil kunci mobil, dan berhamburan keluar untuk mencari perlindungan dari keluarga terdekat.

Pintu ruang tamu terbuka, segera Cici memeluk Cardo yang sudah berdiri dihadapannya, tanpa perasaan sungkan pada Nisa.

"Bang Akmal, Do... Bang Akmal!" Isak tangisnya kembali pecah membuat Mira kembali terjaga karena mendengar suara tangisan Ami-nya.

"Abi... Abi...!" suara Mira kembali terdengar memanggil Akmal dengan suara sendu seorang anak kecil yang baru terjaga mencari sosok Abi-nya.

Oneng membawa Mira keluar kamar, membawa Mira dalam pelukan Cici yang juga membutuhkan sosok Ami-nya saat ini.

Cardo meraih tubuh mungil Mira, membawanya dalam pelukan sang paman agar lebih tenang.

"Bagaimana kita bawa saja Mira, Kak?" Cardo memberi saran agar pikiran Cici tidak bercampur aduk.

Cici menggelengkan kepalanya tidak setuju, "Enggak usah, Do. Kasihan, pasti kelelahan. Yang penting Neng, jangan biarkan Mira sendirian!"

Pesan Cici pada Oneng, mengingat kejadian tadi malam yang sangat menakutkan baginya.

Oneng mengangguk mengerti, "Iya, hati-hati yah Kak? Bang Cardo, hati-hati nyetirnya!"

Mereka saling berpamitan dan menguatkan Cici, wajah cantik terlihat lesu, bahkan tidak memiliki semangat hidup setelah mendengarkan kabar Akmal yang hilang, dan belum ditemukan keberadaannya.

.

Sepanjang perjalanan Cici menghubungi Dony yang menceritakan kronologis kejadian sejak awal. Cici mengusap wajahnya, tanpa sungkan disamping Cardo sang keponakan yang tampak fokus mengendarai kendaraannya.

Cici teringat sesuatu yang sangat tidak masuk akal, mengaitkan semua yang dia lihat sebelum keberangkatan Akmal, hingga rewelnya Mira semenjak kepergian dinas suaminya kali ini.

Baju hitam, yang Cici persiapkan selama menjalani perjalanan dinas tiga hari, dan sosok wanita yang menggunakan kereta kencana mendatanginya pertama kali, sebelum keberangkatan Akmal.

Selendang merah menyala yang halus menutupi kaca mobil pagi itu, hingga pandangan Akmal yang fokus seperti melihat sosok yang sangat mengagetkan dihadapan suaminya.

"Apa hubungan dengan kehilangan Abi? Apakah semua ini ada sangkut pautnya dengan kejadian ini? Abi, dimana Abi... jangan tinggalkan Ami!"

Cici kembali menangis sepanjang perjalanan yang berkelok dan penuh liku dalam pendakian yang sangat lama sekali menurut batin Cici.

Cardo tampak khawatir dengan kondisi Cici yang belum mengisi perutnya dengan apapun, kembali memarkirkan mobil disalah satu warung yang berada dijalan lintas Riau-Sumatera Barat.

"Ngapain kita berhenti disini, Do!?" teriak Cici saat menyadari mobil berhenti.

Cardo menoleh kearah Cici, menghela nafas panjang, "Kakak tahu ini jam berapa? Sejak tadi aku lihat kakak hanya fokus pada Abang Akmal. Kita sarapan dulu!"

Cardo bergegas keluar dari mobil, tanpa mau mendengar penolakan dari Cici.

Cici mendengus kesal, "Ck... gimana mau makan. Pikiran aku justru pengen cepet-cepet sampai dikelok sembilan, bukan makan! Aaaagh Cardo...!"

Dengan terpaksa, Cici mengikuti langkah keponakan Almarhum Ibunya, bagaimanapun ada benarnya ucapan Cardo, kita harus makan, agar bisa berfikir jernih, dalam pencarian Akmal nantinya di Kelok Sembilan.

Cici terus memandangi foto Akmal, yang tampak tampan tengah memeluknya dari belakang.

"Abi dimana? Ami takut sendirian, Bi! Jangan tinggalkan Ami!"

Kembali air mata menggenangi kelopak mata indah Cici, dan tampak jelas wajah seorang istri yang khawatir dan takut kehilangan suami tercinta.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel