Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

(Bonus bab) Ternyata Bapak Mertuaku Genit x Nasib yang Sama Apakah Karena Keturunan

"Tapi aku sudah berusaha menjadi ibu rumah tangga yang baik, Bu," kata Farida.

"Menjadi ibu rumah tangga yang baik? Baik apanya." Nadia menarik ujung bibirnya dengan begitu sengit.

"Ibu rumah tangga yang baik itu nggak pernah ngerepotin," lanjut Nadia.

"Maksud ibu apa? Aku ini istrinya Mas Adam, Bu. Aku hanya meminta hak ku saja sebagai istri tidak lebih." Farida menyelesaikan nada suaranya yang bergetar.

"Sudahlah nggak usah drama pake nangis segala," Adam terlihat tak peduli dengan perasaan Farida yang sudah hancur, sehancur-hancurnya.

Nadia menggeleng melihat Farida yang menunduk menahan air matanya agar tak sampai jatuh. Sepertinya ada rasa heran yang teramat sangat di dalam hati Nadia pada Farida yang tidak bisa dia ucapkan secara langsung.

"Farida, harusnya kamu itu mikir. Adam nggak kerja tapi aku masih bisa menghidupi kamu dan juga anakmu tapi coba kamu lihat dirimu sendiri. Apa kamu bisa nggak merepotkan suamimu terus. Kamu itu masih punya orang tua, mbok minta sama dia. Jangan hanya menuntut suamimu terus." Nadia mendengus kesal.

"Sudahlah Bu. Percuma juga ibu marahin dia. Dia akan tetap seperti itu," kata Adam.

"Hmmm kamu benar juga," ucap Nadia membenarkan kata-kata anaknya.

"Yasudah sekarang kamu ikut ibu ke rumah, nanti ibu kasih beras dan lauk-pauk juga," kata Nadia.

"Makasih ya, Bu." Adam tersenyum pada Nadia.

"Iya, Dam. Pokoknya kamu nggak perlu pikirin apa kata istrimu ini ya. Kamu nggak perlu cari kerja kalo emang belum ada." Nadia mengusap pundak Adam.

"Ya Allah, beginikah cara ibu mendidik dan mendewasakan Mas Adam selama ini," batin Farida terheran melihat Nadia yang sama sekali tidak mengingatkan Adam untuk segera mencari pekerjaan.

***

Setelah Nadia pulang ke rumah, Farida pun kemudian menyusulnya seperti perintah Nadia yang memintanya agar datang ke rumahnya untuk mengambil beras lagi.

Sebenarnya Farida tak ingin lagi meminta-minta dan bergantung pada mertuanya, tapi nyatanya gak segampang itu. Lagi-lagi dirinya menengadahkan tangan meminta mertuanya membantu keluarganya.

Meski menahan malu dan juga rasa sakit di dalam hatinya. Nyatanya Farida masih memiliki muka untuk datang ke rumah Nadia dengan tangan kosong.

"Assalamualaikum," ucap Farida mengucapkan salam.

Tak ada sahutan dari Nadia maupun suaminya. Tapi tak lama, datang bapak mertuanya yang hanya memakai sarung dan kaos oblong.

Tatapannya terlihat tajam memperhatikannya dari ujung rambut sampai ujung kaki. Tanpa ragu, Farida langsung mengulurkan tangannya untuk bersalaman.

"Mau apa kamu ke sini? Mau minta beras lagi, ya?" tanya bapak mertuanya yang seperti sudah hafal dengan kebiasaannya.

"I-iya, Pak. Tadi ibu meminta saya ke sini untuk mengambil beras," jawab Farida dengan nada pelan.

"Hmmm sudah aku duga sih. Kamu dan Adam pasti akan kembali ke sini untuk meminta bantuan kami," ucap bapak mertuanya yang masih menggenggam tangan Farida.

Farida hanya tersenyum kecut menanggapi perkataan bapak mertuanya. Ia sendiri sebenarnya sudah malu, tapi mau bagaimana lagi.

Farida menarik tangannya yang masih digenggam oleh bapak mertuanya saat bersalaman, namun tiba-tiba tangan bapak mertuanya menahan tangannya membuat Farida mendongak menatap wajah bapak mertuanya.

"Ya Tuhan, kenapa bapak menahan tanganku," batin Farida sudah ketakutan. Ia berusaha menarik tangannya meski tanpa kata keluar dari mulutnya.

Farida melirik ke arah wajah bapak mertuanya yang tampak tersenyum genit padanya sembari menahan tangannya.

"Pak, lepaskan tanganku," pinta Farida akhirnya memberanikan diri mengatakan kalimat itu.

"Kalau dilihat-lihat kamu cantik juga, ya," ujar bapak mertuanya menjawab perkataan Farida dengan tangan yang masih memegang erat tangan Farida.

*** Nasib yang Sama Apakah Karena Keturunan

"Kamu sudah datang rupanya."

Suara Nadia membuat Farida sangat terkejut hingga menarik kuat tangannya dari genggaman bapak mertuanya.

Saat itu juga bapak mertua Farida membiarkan tangan Farida lolos begitu saja karena tak mau membuat Nadia curiga.

"Alhamdulillah ya Allah. Engkau masih melindungi ku," batin Farida bersyukur. Ia mengusap pelan tangannya yang bekas digenggam kuat oleh bapak mertuanya. Ia tak tahu apa yang akan terjadi padanya jika Nadia tak datang saat itu.

Mungkin saja bapak mertuanya belum melepaskan genggaman tangannya dan bisa saja bapak mertuanya malah bertindak tak baik padanya lebih jauh karena bapak mertuanya yang memang sangat genit padanya.

"Ini beras dan juga lauk-pauknya." Nadia mengulurkan dua bungkusan plastik hitam.

Wajah Nadia terlihat sangat ketus dan tak ada senyum dari bibirnya. Nada suaranya pun terdengar sedikit keras dan tak ramah di telinga.

Farida mencoba menerima bungkusan itu dari tangan Nadia. Hatinya sangat teriris mendapat perlakuan yang tak baik dari mertuanya, tapi Farida tak bisa melakukan apapun.

Semuanya karena Adam yang tak mau mencari pekerjaan untuk menghidupi keluarganya sampai-sampai Farida nyaris dilecehkan oleh bapak mertuanya sendiri.

Jika Nadia tidak segera datang, entah apa yang akan terjadi padanya. Padahal Farida sudah berusaha menutup rapat tubuhnya dengan memakai baju gamis panjang dan jilbab yang menutupi dadanya.

Namun, tetap saja ada mata-mata jahil yang seolah bernafsu setiap kali melihat tubuh yang bahkan sudah ditutup rapat oleh pemiliknya.

"Itu beras dan lauk-pauk untuk anakku dan juga cucuku bukan untukmu. Kalau kamu mau makan, ya kamu harus usaha cari sendiri."

Bak ditusuk jarum. Kalimat itu begitu menancap di dalam hatinya hingga menyisakan rasa sakit dan nyeri yang teramat sangat.

Luka yang tak berdarah itu membuat Farida ingin menangis, namun lagi-lagi ia tak bisa membiarkannya jatuh begitu saja.

"Iya, Bu."

Hanya kalimat itu yang bisa Farida ucapkan sembari menunduk.

"Yaudah, kamu mau ngapain lagi di sini!" kata Nadia ketus.

"Ya sudah kalau begitu Farida pamit pulang ya, Bu, Pak," kata Farida.

Tangannya diulurkan kembali mengarah pada ibu mertuanya namun, tak dibalas oleh Nadia. Ia justru melengos membuang pandangannya dari Farida.

Farida hanya bisa menghembuskan napas pelan menerima respon yang tak baik dari ibu mertuanya.

Namun, tangannya mendadak menjadi gemetaran dan juga dingin karena saatnya ia kembali berjabat tangan dengan bapak mertuanya yang genit untuk berpamitan.

"Pak, Farida pamit pulang, ya," ucap Farida mengulurkan tangan.

Kali ini Farida mendapatkan perlakuan yang baik. Bapak mertuanya meloloskan tangannya begitu saja sampai akhirnya ia pulang.

Saat pulang dari rumah Nadia, Farida berpapasan di jalan dengan ibunya. Wajahnya tampak sedih dan matanya sedikit berkaca-kaca.

"Ibu darimana, Bu. Ibu kenapa? Kok nangis?" tanya Farida pada ibunya.

Farida menghentikan langkah kakinya dan berdiri tepat di depan ibunya. Dalam hati Farida sudah menebak apa yang membuat ibunya bersusah hati saat itu. Tampak jelas dari ekspresi wajahnya yang sudah menua.

Bukannya menjawab, Nani malah meneteskan air matanya hingga berjatuhan membasahi pipinya yang keriput.

Farida semakin dibuat khawatir oleh Nani. "Bu, ada apa? Kok ibu malah nangis?" tanya Farida cemas.

"Ibu tadi habis dari warung buat hutang beras tapi nggak dikasih sama ibu warungnya, katanya hutang ibu sudah menumpuk jadi ibu tidak boleh berhutang lagi."

Nani bercerita dengan sesenggukan. Terkadang kalimatnya sedikit tersendat, namun Nani kembali melanjutkannya.

"Ya Allah, ibu." Farida memeluk tubuh ibunya yang kurus dan lebih rendah daripada dirinya.

Farida merasa sangat sedih dan juga lemas. Otot-otot tangannya seolah tak mampu lagi membawa beban meski hanya beras satu kantung berukuran sedang.

"Ya Allah ujian apa lagi yang Engkau berikan pada keluarga ku," batin Farida.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel