Pustaka
Bahasa Indonesia

Suamiku Pengangguran Akut

91.0K · Ongoing
YeosinD
98
Bab
173
View
9.0
Rating

Ringkasan

Menikah dengan orang kaya yang berbeda derajat memang sangat sulit terlebih lagi anak yang dinikahinya adalah anak tunggal yang manja dan selalu mengandalkan orang tua. Farida yang sempat tak direstui saat menikah dengan Adam yang lebih muda darinya, selalu saja dipojokkan oleh ibu mertuanya yaitu Nadia. Di tengah ketidaksukaan Nadia pada Farida, justru Farida sering datang ke rumah Nadia untuk meminta beras dan juga sayuran. Hal itu Farida lakukan lantaran, Adam yang tidak pernah mau bekerja dari semenjak mereka menikah. Farida yang juga hanya seorang pengangguran selalu dianggap sebagai beban oleh Nadia. Tidak pernah ada kata pujian untuk seorang Farida bahkan ketika ia benar, Nadia selalu saja menyalahkannya. Lalu bagaimanakah dengan Farida. Apakah dia akan sanggup dan kuat menjalani rumah tangganya yang dikendalikan oleh ibu mertuanya dan bagaimanakah akhir rumah tangganya nanti?

RomansaIstriMenantuPerceraianKeluargaPernikahanMemanjakan

(Bonus bab) Guncangan Ekonomi x Uang Dua Ribu pun Aku tak Punya

Farida berjalan ke dapur menghampiri wadah beras yang terlihat transparan. Hatinya merasa kacau saat menakar beras yang hanya tinggal setengah gelas.

Sayur dan lauk-pauk sudah habis sejak kemarin bahkan piring-piring kotor pun sudah menumpuk karena sabun pencuci piringnya sudah habis.

"Ya Allah sudah habis lagi berasnya, padahal baru dikasih sama ibu dua hari yang lalu."

Farida mencoba memutar otaknya untuk memanfaatkan beras yang hanya tinggal setengah gelas untuk bisa mereka makan pagi itu.

"Farida, mana kopi ku!" Teriak Adam, suaminya yang sudah duduk di teras sembari memberi makan burung kesayangannya.

Farida datang menghampiri Adam, tidak tangan kosong, Farida menunjukkan beras yang hanya tinggal setengah gelas di tangannya.

"Mas, lihat ini." Farida menyodorkan tangannya memperlihatkan beras di gelas yang terlihat tak penuh.

"Kita sudah nggak punya beras, Mas. Beras yang dikasih ibu kemarin sudah habis. Kamu kapan mau cari kerjaan."

Sebenarnya Farida sudah cukup sabar selama ini melihat suaminya pengangguran dan tidak berpenghasilan. Dia hanya mengandalkan kedua orang tuanya yang terlihat sedikit mapan hidupnya.

"Iya nanti," jawab Adam santai. Ia masih saja sibuk memberi makan burungnya dan membersihkan kandangnya.

"Nanti kapan, Mas. Kamu selalu saja bilang nanti tapi nggak pernah kamu lakukan. Kita kan nggak mungkin selalu minta beras dan uang sama ibu," kata Farida.

Adam yang mendengar perkataan Farida merasa kesal dan juga tak terima. Menurutnya dirinya sudah sangat berusaha mencari pekerjaan dengan bertanya pada teman-teman dekatnya.

Ia bangkit dan membanting wadah pakan burung ke atas meja yang ada di dekat mereka. Seketika pakan burung yang tadinya ada di dalam wadah pun berserakan.

"Kamu itu maunya apa sih, hah! Sebagai istri, kamu itu cuma bisa nuntut aku setiap hari. Kamu kan tahu aku sudah berusaha cari kerja. Kamu nggak buta, kan? Kamu lihat kan kalo aku udah usaha."

Wajah Adam memerah. Nada suaranya naik setengah oktaf memancing perhatian para tetangga yang sedang beraktivitas di depan rumah.

Ada yang sedang menyapu halaman dan ada juga yang sedang menjemur pakaian. Semuanya langsung memusatkan pandangan pada Farida dan juga Adam.

"Mas, bisa nggak sih kalo kamu jangan teriak-teriak gitu ngomongnya. Malu mas diliat tetangga," kata Farida berbisik.

"Kenapa malu? Bukannya memang itu kenyataannya. Kamu itu jadi istri setiap hari cuma bisa nuntut aku terus."

Farida hanya bisa menghela napas panjang. Ini bukan pertama kalinya ia bertengkar dengan suaminya karena masalah yang sama.

Sudah menjadi kebiasaan Adam selalu marah saat dirinya membahas tentang pekerjaan padahal yang Farida inginkan adalah Adam yang mencari pekerjaan bukannya hanya duduk di rumah dan sekedar bertanya pada teman-temannya.

"Mas, aku nggak pernah nuntut apa-apa dari kamu. Aku cuma pengen kamu cari kerja keluar mas, jangan hanya di dalam rumah dan mengandalkan teman-teman mu yang memberi pekerjaan."

"Oh apa ini sekarang? Apa kamu sekarang sudah berani menyuruh-nyuruh aku, hah! Apa kamu lupa kalo aku nggak kerja pun kita masih bisa makan kok. Keluargaku menanggung semua kebutuhan kita jadi kamu tenang saja."

"Bukan begitu, Mas. Aku cuma nggak mau aja kalo kita harus selalu bergantung pada orang tua. Kita kan sudah menikah jadi sudah seharusnya kita hidup mandiri," ujar Farida. Namun, lagi-lagi perkataan Farida tidak diterima dengan baik oleh Adam.

"Eh ada apa ini? Kok kamu marah-marahin anak saya," kata Nadia yang langsung ikut nimbrung pembicaraan mereka.

"Ibu," sapa Farida mengulurkan tangan untuk bersalaman pada ibu mertuanya yang datang ke rumah.

Namun, tangan Farida ditepis oleh Nadia dengan begitu kasar. "Ngga usah salam-salaman segala. Kamu ngapain marahin anak saya, hah!" Bentak Nadia yang langsung menghakimi Farida.

"A-aku nggak memarahi Mas Adam, Bu. Aku cuma ...."

"Halah sudahlah tidak usah beralasan lagi. Jelas-jelas aku melihatnya sendiri tadi kamu marah-marah sama anak saya." Mata Nadia melotot pada Farida, sementara Farida hanya bisa menunduk mengalah pada mertuanya.

"Aku nggak ngerti sama Farida, Bu. Dia selalu saja marah dan membahas aku yang nggak kerja padahal aku kan juga udah usaha," ucap Adam mengadu.

"Tuh, kamu dengar kan, Farida. Adam itu udah usaha kok jadi nggak perlu kamu marah-marah sama dia. Lagipula Adam nggak kerja juga ibu masih bisa biayain kalian kan. Harusnya kamu yang ngaca dan malu. Kamu itu cuma jadi beban aja buat Adam," kata Nadia.

"Beban? Maksud ibu apa?" tanya Farida.

"Ya beban. Kamu cuma minta dikasih makan dan diberi uang aja tiap bulan. Kalo kamu mau uang, ya kerja! Jangan cuma minta-minta sama suami aja."

Bagaikan disambar petir di pagi yang cerah. Farida tak menyangka jika ibu mertuanya akan berkata sekasar itu padanya.

Entah bagaimana bisa dia mengatakan bahwa dirinya hanya seorang beban padahal dirinya adalah seorang istri yang memang wajib untuk dinafkahi oleh suaminya.

Seketika gelas berisikan beras yang ia pegang seolah akan terlepas dari tangannya. Seluruh syarafnya seakan melemas mendapat kalimat tamparan seperti itu dari ibu mertuanya.

"Itu apa yang kamu pegang? Apa beras kalian sudah habis lagi?" tanya Nadia melirik ke arah tangan Farida yang tengah memegang gelas.

*** Uang Dua Ribu pun Aku tak Punya

Farida hanya menunduk saat dengan kasar Nadia merebut gelas itu dari tangannya. Farida tahu jika para tetangganya pasti sangat heran dengan pertengkaran yang kerap terjadi di keluarganya.

"Sudah habis lagi? Bukannya baru kemarin lusa ibu kasih berasnya. Kamu boros sekali sih," umpat Nadia. Wajahnya merengut penuh kebencian pada Farida.

Nadia masuk ke dalam rumah dan melihat rumah yang berantakan. Kebetulan Farida belum sempat melipat baju yang menumpuk dan belum sempat dilipat karena Tasya yang sejak kemarin rewel sehingga Farida belum sempat membereskannya.

Mata Nadia memicing ke arah dapur dan melihat cucian piring yang menumpuk dan belum juga dicuci oleh Farida karena tidak ada sabun pencuci piring.

Sementara Farida dan Adam yang ikut berjalan di belakang Nadia tentu tahu apa yang Nadia rasakan sekarang meski hanya menebak dalam hati.

"Ya Allah, ibu pasti akan marah lagi padaku," batin Farida.

"Ini apa-apaan, Farida? Kamu tuh kerjanya ngapain sih di rumah kok bisa rumah berantakan nggak keurus gini," celetuk Nadia.

Keningnya mengernyit mengamati setiap deretan piring-piring dan panci-panci yang kotor. Belum lagi gelas-gelas yang berjejer dalam keadaan kotor.

"Itu a-anu, Bu."

"Anu apa!" Bentak Nadia yang tiba-tiba menoleh ke arah Farida.

Wajahnya memerah dan matanya melotot, sepertinya Nadia sudah benar-benar sangat marah pada Farida.

"Aku belum sempat mencuci piring, Bu, karena tidak ada sabun pencuci piring," kata Farida.

"Ya kamu kan bisa hutang ke warung dulu. Jangan jadikan hal itu sebagai alasan! Kamu itu perempuan. Perempuan itu harus bisa berinisiatif mengurus rumah tangga," ucap Nadia lagi.

"Ibu tidak tahu saja kalau aku sudah tidak bisa berhutang lagi di warung karena hutang yang kemarin pun belum dibayar," Farida membatin.

Namun, kalimat itu tak sampai diucapkan dengan mulutnya. Farida tahu apapun yang ia katakan pasti akan tetap salah.

"Terus kenapa itu baju-baju nggak kamu lipat? Itu kan nggak perlu pakai sabun. Kamu mau alasan apa lagi? Emang dasar kamunya aja yang males," kata Nadia semakin tak bisa mengontrol kalimatnya.

"Ya gitu lah Bu. Dia kalo di rumah ya emang semaunya gitu." Adam ikut memojokkan.

"Bukan gitu, Mas. Kamu kan tahu sendiri kalau kemarin itu Tasya sakit dan dia rewel jadi aku nggak bisa beres-beres rumah." Farida mencoba membela dirinya yang selalu saja dituduh tidak benar.

"Bu, aku mau jajan," ucap Tasya yang tiba-tiba datang dan menarik ujung baju lengan Farida.

"Emmm iya-iya." Farida menenangkan Tasya yang sudah merengek.

Farida pun menuntun Tasya agar mengikutinya. Mereka berjalan tak jauh dari Nadia dan juga Adam sementara Farida yang baru meninggalkan mereka bisa mendengar jelas, kalimat keji yang Nadia katakan pada Adam.

"Kamu kok mau sih, Dam nikah sama perempuan kayak Farida. Bisanya cuma ngerepotin aja," ucap Nadia yang tak disambut dengan kalimat apapun oleh Adam.

Kalimat yang Farida dengar itu membuatnya terenyuh dan ingin menangis, tapi ia mencoba menahannya sekuat tenaga.

Rupanya isi dompetnya kosong. Tak ada selembar uang pun di dalam dompetnya.

"Ya Allah, bagaimana ini. Aku nggak punya uang sama sekali," batin Farida semakin nelangsa.

"Bu, mana uangnya," tanya Tasya lagi.

"Emmm Tasya, sekarang ibu belum punya uang. Tasya jajannya besok ya kalo ibu udah punya uang," ucap Farida.

Saat mengucapkan kalimat itu pun Farida merasakan sesak pada dadanya. Ia merasa sedih saat tak dapat memenuhi keinginan putri semata wayangnya.

Tiba-tiba saja Tasya menangis kelojotan di lantai. Tasya merengek meminta uang untuk jajan. Sementara Farida yang hanya memegang dompet kosong tak bisa berbuat apa-apa.

Dirinya sudah tak bisa berhutang lagi ke warung. Mana mungkin dirinya bisa memenuhi keinginan putrinya saat itu.

"Ada apa ini kok Tasya nangis kayak gini?" tanya Nadia menghampiri Tasya yang sudah menangis tak karuan karena meminta jajan.

Adam mencoba menenangkan, tapi Tasya tetap tak mau diam.

"Apa uang 2 ribu saja kamu nggak punya sampai anakmu menangis seperti ini." Nadia terlihat mengernyitkan keningnya.

Farida tak menjawab. Ia hanya bisa menenangkan Tasya yang tetap tak mau diam. Tak lama Nadia mengeluarkan uang dari dalam tas jinjingnya.

Nadia mengeluarkan selembar uang 5 ribu dan ia berikan pada Tasya hingga membuatnya diam.

"Ini uang untuk Tasya, sekarang Tasya jangan nangis lagi, ya. Tasya bisa beli jajan sekarang," kata Nadia lagi.

"Makasih Oma," kata Tasya dengan sesenggukan. Tak lama anak kecil itu pun pergi berlari menuju ke warung.

"Kamu ini ibu macam apa sih, Farida. Memberi anak uang jajan saja kamu tidak bisa," umpat Nadia.

"Itu karena mas Adam tidak bekerja, Bu jadi aku tidak diberi uang untuk jajan Tasya."

"Jangan bawa-bawa Adam." Nadia tak terima.

"Adam sudah membangun rumah ini untuk kamu tinggali, tapi coba lihat dirimu sendiri. Apa yang kamu bawa untuk membangun rumah tangga ini." Nadia mengungkit.