Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Flashback 3

Aku dan Rama merasa sangat bahagia dengan semua keputusan itu, dan kami pun merancang berbagai hal setelah pernikahan kami, seakan semua ini sudah berjalan sesuai keinginan kami. Padahal, seperti yang Papanya Rama bilang tadi , kita tak akan pernah tau apa yang akan terjadi besok.

"Aku pulang dulu ya Yank, besok siang aku jemput ya, kita beli cincin buat pernikahan kita. Dimakan ya nasi nya sampai habis. Sebentar lagi kita akan bersama selamanya, tanpa ada yang bisa memisahkan," aku pun hanya mengangguk, mendengar perkataan Rama barusan.

Setelah kepergian Rama aku pun segera makan nasi padang yang barusan kami beli dalam perjalanan menuju kost ku. Kemudian seperti biasa aku akan rebahan sambil menengok akun media sosialku. Ponsel yang ku pegang berbunyi, terlihat panggilam dari nomer Ibuku, aku pun segera menjawab panggilan tersebut,

"Assalamualaikum Buk. Maaf ya, hari ini aku nggak bisa pulang, soalnya banyak tugas yang harus ku kerjakan."

Memang sudah dua tiga minggu ini aku tak pulang kerumah, padahal biasanya aku akan pulang dua minggu sekali. Jadi aku kira Ibu meneleponku kali ini menanyakan tentang kepulanganku itu.

"Waallaikumsalam. Iya nggak apa apa kok Sis. Ibu cuma mau ngabarin kamu, kalau Bapak siang tadi mengalami kecelakaan saat akan balik ke lokasi proyek, tapi kamu tak usah khawatir, kondisi Bapak tidak terlalu parah kok, hanya motornya saja yang rusak, besok pagi juga kata perawat sudah boleh pulang dari puskesmas," kata Ibu sambil mengambil nafas berat.

"Ya Allah kasihan sekali Bapak, semoga lekas sembuh ya Buk. Aku saat ini belum bisa langsung pulang Buk. Buk, apakah asma Ibu kambuh lagi? Sepertinya nafas Ibu sangat berat," tanyaku.

"Iya Nduk, tadi sore asma Ibu kumat lagi, alhamdulillah ini tadi langsung di uap, soalnya kan posisi Ibu juga sekarang lagi di puskesmas nemenin Bapak,"

"Ya Allah Buk, maafin ya aku nggak pulang hari ini. Ibu jangan banyak pikiran dong Bu, Bapak pasti akan segerra sembuh," kataku.

Mendengar dua kabar menyedihkan dari keluargaku ini, membuatku harus berpikir berkali kali untuk mengatakan tentang kehamilanku ini. Aku tak ingin menambah beban pikiran Ibu. Ibuku memang mempunyai penyakit asma dan sesak nafas dari dulu, setiap kelelahan atau sedang banyak fikiran, pasti akan kambuh.

"Nggak kok, Ibu nggak mikirin Bapakmu, justru dari kemarin itu Ibu kepikiran kamu terus, kamu disana baik baik saja kan? Semalam juga Ibu mimpi buruk tentang kamu,"

Pertautan hati dan batin memang tak bisa terelakkan, antara Ibu dan anaknya. Ternyata Ibu tau kalau saat ini aku sedang dalam kesusahan, namun sekarang aku tak boleh membebani pikirannya dahulu, biarlah ku tunggu lusa saat aku kesana bersama keluarga Rama.

"Aku baik baik saja kok Buk, mungkin karena Ibuk sangat kangen saja kepadaku, jadi berpikiran seperti itu. Pokoknya sekarang Ibu nggak boleh berpikiran yang macem macem, semua baik baik saja, aku nggak ingin Ibuk sakit terus. Sudah dulu ya Buk, aku lagi di tunggu temanku nih, mau nge print tugas kuliah. Salam juga buat Bapak. Wassalamualaikum,"

"Hati hati ya Nduk, jangan lupa sholat. Waalaikumsalam,"

Aku pun segera menutup panggilan tersebut. Bukan karena apa, aku mengakhiri cepat panggilan itu dan berbohing kepada Ibu. Karena aku sudah tak dapat membendung air mataku lagi, dan aku tak ingin Ibu tahu kalau aku menangis.

Aku sudah menghancurkan kepercayaan dan harapan Ibu dan juga Bapak. Ibu yang selalu membanggakanku pada semua orang, bahwa aku akan sanggup menyelesaikan kuliahku dengan nilai terbaik dan bekerja di tempat yang bagus. Dan Bapak yang sudah mati matian bekerja untuk membiayai kuliahku ini. Ampunillaah aku ya Allah. Sesal tak terkira kurasakan saat itu, namun aku harus bagaimana lagi semua sudah terjadi, percuma juga menyesal.

***** ***** *****

Tok tok tokkk

Tok tok tokkk

Suara ketukan pintu itu membangunkanku, kulihat jam di dinding menunjukkan pukul empat, siapa sih dini hari begini mengetuk pintu kamarku. Aku pun mengintip dari jendela, ternyata itu adalah Kak Ratih dan Tante Ratna, Mamanya Rama.

Saat aku membuka pintu, tanpa mengucap salam atau apa, mereka langsung masuk kedalam kamar dan menutup kembali pintu itu dan menguncinya, ada apa ini.

"Hey, kamu. Cepat duduk sini," kata Tante Ratna menyuruhku duduk di kasurku, dengan tatapan tajamnya.

"Ada apa Tante? Apakah Rama baik baik saja?" tanyaku masih tak mengerti.

"Rama masih baik baik saja, dan akan tetap baik baik saja tanpa kehadiranmu," jawab Kak Ratih.

"Apa maksudnya ini Kak?"

"Jangan berlagak sok bodoh ya kamu. Kamu meminta pertanggung jawaban dari Rama hanya karena kamu mengincar harta kami kan? Berapa uang yang kamu inginkan? Katakan saja asal kamu tak menganggu kehidupan Rama!" kata Tante Ratna.

"Demi Allah aku tak menginginkan harta, aku hanya meminta pertanggung jawaban Mas Rama." kataku berusaha menahan air mata.

"Oke oke kalau begitu. Tapi apa kamu nggak berpikir bagaimana kalau sampai Ibumu yang penyakitan dan Bapak tirimu yang sudah membiayai kuliahmu itu tahu, kalau anak yang mereka bangga banggakan telah hamil saat ini. Kurasa bisa gila atau bisa saja gila mereka itu. Kamu memang anak yang durhaka pada orang tuamu. Tak bisa menjaaga kepercayaan mereka. Apa kamu tak sayang kepada mereka? Dan ingin mencoreng muka mereka dengan arang? Menjadikan mereka pergunjingan warga? Coba pikirkan sekali lagi. Tak ada salahnya kan mengorbankan kandunganmu itu yang baru berusia satu bulan, untuk mereka orangtuamu dan adikmu? " kata Tante Ratna sambil mondar mandir di hadapanku.

"Lagian ya, asal kamu tahu, sampai kapanpun aku tak akan mau memiliki ipar buluk, cupu, dan miskin kayak kamu. Rama itu berhak mendapatkan yang lebih baik darimu. Kalau memang kamu sayang sama Rama, seharusnya kamu meninggalkanya, biarkan dia meraih cita citanya, dan jangan mencoreng nama baik keluarganya dengan kehamilanmu ini. Yang bodoh itu kamu sendiri, mudah banget memberikan itu pada laki laki. Makanya mikir sebelum berbuat," kata Kak Ratih sambil melotot.

Aku masih terdiam, meresapi semua kata kata mereka, memang benar semua yang mereka katakan, mungkin lebih baik memang aku mundur, demi kebaikan semuanya. Tak apalah aku merelakan janinku ini hilang, agar aku pun bisa kembali meraih mimpiku dan mewujudkan mimpi orang tuaku, pikiran itulah yang saat itu terlintas di otakku dan kuambil saat itu juga.

"Baiklah aku setuju untuk menggugurkan kandungan ini, dan berpisah dengan Rama. Demi kebaikan semua dan demi orang tuaku. Namun aku minta, agar ini menjadi rahasia kita saja, jangan sampai orang lain tahu tentang kehamilanku ini. Aku akan membuat Rama membenciku," kataku mantap saat itu.

Setelah itu mereka pun mengantarku menuju tempat seorang dukun pijat, untuk meluruhkan kandunganku ini. Saat perutku di pijat, aku hanya bisa menangis, memohon maaf kepada Allah karena melakukan dosa besar ini. Namun hidup adalah pilihan, dan menurutku inilah yang paling benar. Setelahnya mereka mengantarkanku kembali ke kost ku, tepat saat pukul sepuluh siang.

"Terima kasih ya kamu sudah mengabulkan permintaan kami, gadis pintar. Kalau aku jadi kamu, akan kuterima uang ini. Namun kamu terlalu munafik, ya sudahlah lumayan bisa buat shoping nanti ya Rat. Ingat jangan sampai Rama tahu kalau kami pernah kesini!" kata Tante Ratih, kemudian dia meninggalkanku di depan pintu kost ku.

Sejak saat itu aku menjauhi Rama, dan aku pun memutuskan hubungan denganya, memblokir semua aksesnya tanpa memberi penjelasan apapun padanya. Hingga dua bulan kemudian dia pindah kuliah ke Singapura. Dan aku pun memulai kehidupan baru dan mencoba melupakan Rama dan masa sulit itu. Sambil terus mendekatkan diriku pada Allah, memohon ampunan atas semua dosa ku. Hingga aku bertemu dengan Mas Ridwan.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel