Bab 2 Pesta
"Niken menang taruhan." Umpatku ketika mendapat banyak chat dari si pengkhianat Bima dan juga telepon yang terus saja masuk. Aku membiarkan saja Bima meneleponku terus menerus. Mau tau sampai sejauh mana dia memohon-mohon, walaupun aku tidak akan menerima permintaan maafnya itu.
Selesai mandi, masih dengan memakai bathroob ada yang mengetuk pintu kamarku. "Masuk." Aku kira Mbok Nina, ternyata Bima. Ah aku harus benar-benar tenang. Kenapa sih dia tiba-tiba muncul di rumahku?. Didepan kamarku lagi?. Biasanya juga dia menunggu di ruang tamu. Ah mungkin dia tau kalau aku tidak akan pernah keluar kamar. Cerdik memang. Aku duduk di depan kaca rias, sementara dia duduk di sofa yang ada di sebelah tempat tidur. "Mau apa lagi sih?. Cepet ngomong. Udah ngantuk, mau tidur." Kataku dengan dingin.
"Sayang please dengerin dulu. Aku mohon sama kamu jangan maen putus aja. Aku sayang banget sama kamu." Gombalan pria ini memang luar biasa. Kalau udah di jual mungkin beberapa menit juga udah ludes. Serem.
"Iya, tapi kamu juga sayang sama Hani." Aku dapat melihatnya dari kaca riasku kalau dia menegang setelah aku mengatakan itu. Dia pikir aku bisa dibohongi apa?. "Terus aku mesti gimana dong?. Diem aja gitu disaat kamu jalan sama Hani. Nganterin anaknya sekolah. Apalagi sih?. Pegangan ya?. Terus apa lagi?. Gituan?." Bima langsung berdiri dari duduknya dan berjalan mendekat. Dia mengambil kedua tanganku.
"Kenapa sih kamu ngomongnya gitu banget?. Emang selama ini aku macem-macem sama kamu?. Aku cuman berani cium kamu aja, kok kamu bisa mikir aku sama Hani gitu?."
Aku membuang pandanganku sembari menghela nafas. "Ya mungkin karena kamu gak dapet dari aku makanya kamu sama Hani...," Bima menciumku. Dalam hati aku langsung berteriak kalau ini gak boleh. Aku gampang luluh kalau dicium Bima, apalagi kalau pipiku gesekan sama jambang halusnya Bima. Tapi karena terlanjur ya udahlah, aku coba aja buat mengimbangi ciumannya supaya dia semakin gak bisa lepas dan juga semakin yakin kalau aku ini good kisser. Itu bakalan buat dia tersiksa bukan?. Nah terlepas dari itu semua, tentu aku harus ingat poin paling pentingnya karena tanpa poin penting itu percuma. Yang ada aku masuk lagi ke perangkapnya. Poinnya, aku harus biasa aja habis ciuman ini. Seolah gak terpengaruh sama sekali.
"Aku sayang banget sama kamu Nad." Ucapnya pelan setelah kami selesai berciuman.
"Males aku denger obralan kata-kata manis kamu, Bim. Siklus nya sama terus. Basi." Aku berdiri dari dudukku, tapi Bima menahan tanganku. "Nad, please kasih aku kesempatan sekali lagi."
Aku duduk kembali dan mengelus wajahnya, "Bim kita masing-masing aja dulu ya. Biar kamu bebas mojok sama Hani dan aku bebas deket sama cowok lain." Bima mengambil tanganku dari wajahnya dan mencengkram sedikit. "Kamu gak boleh deket sama cowok manapun!."
Aku tertawa mendengarnya, "Bim kamu sehat?. Kamu minta dingertiin soal kamu deket-deket sama Hani, tapi giliran aku udah putusin kamu dan mau deket sama cowok lain kamu ngelarang aku. Hei siapa kamu sekarang?, dan apa hak kamu?. Aku aja kemaren jadi pacar kamu gak bisa larang-larang kamu."
Bima berdiri, "pokoknya aku gak akan biarin kamu deket sama cowok manapun. Aku pulang dulu. Besok aku jemput lagi. Dan kita gak putus." Bima keluar dari kamarku tanpa menunggu jawabanku. Dia itu memang bener-bener sudah gila.
**
Besoknya benar saja ketika aku sedang sarapan bersama mamah dan papah, Bima datang dengan kemejanya yang rapih dan licin. Harum parfumnya sudah tercium dari beberapa meter walaupun dia belum menunjukan batang hidungnya. Aku merapal doa dalam hati, supaya aku tidak tergoda karena penampilannya hari ini yang mencukur jambangnya itu dan semakin membuatnya terlihat tampan. Shit, apa itu yang kamu katakan barusan?.
"Pagi om, tante." Bima mencium tangan papah dan mamah satu persatu. Mamah papah pun menyambutnya dengan senyuman hangat. Mungkin reaksi mereka akan berbeda jika tau bagaimana sikap Bima pada Hani.
"Sarapan dulu Bim, tante buatin ya rotinya." Mamah benar-benar membuatkan sarapan untuk Bima. Aku melongo tidak percaya. Biasanya mamah hanya basa-basi, hari ini benar-benar membuatkannya.
"Ya ampun terima kasih tante. Saya jadi kangen mamah saya di Surabaya." Mamah hanya menjawab dengan senyuman lalu menyerahkan roti yang dibuatnya. Selama kami semua sarapan, aku hanya diam sementara Bima terus saja mengobrol dengan mamah dan papah. "Kamu udah selesai sarapannya. Kalau gitu ayo kita berangkat." Ajak Bima ketika melihat aku selesai meminum segelas air putihku.
Kedua alisku mengerut membentuk garis. "Kita?."
"Iya, biar kamu naik mobilku aja. Cuaca di luar lagi ujan angin gitu. Aku khawatir kalau kamu nyetir sendiri." Mungkin kalau ada yang mendengar ini, tapi tidak tau bagaimana Bima dan Hani mereka akan iri karena terdengar saking romantisnya kata-kata Bima itu, tapi aku yang sudah patah hati karena tau perselingkuhannya dengan Hani membuat hatiku tidak mempan saat Bima berkata seperti itu.
"Iya bener sayang, diluar lagi ujan angin gitu. Mamah sama papah juga hari ini mau pake Pak Rusli." Pak Rusli adalah supir keluarga kami yang sudah bekerja dengan mamah dan papah sejak lama. Suami dari Mbok Nina, ART dirumah kami.
Akhirnya karena pelototan mamah dan papah aku terpaksa berangkat dengan Bima. Pagi itu di mobil Bima senyum-senyum tidak jelas. "Baru nginep di rumah Hani malem?. Kayaknya seneng banget gitu." Sindirku.
Lagu yang tadi di pasang dengan volume kencang langsung diturunkan oleh Bima. "Kamu kok ngajak berantem pagi-pagi sih sayang?."
Aku membuang wajah ku ke luar jendela dengan dengusan seperti kerbau biar Bima bisa mendengarnya. "Sayang?. Bima, kita tuh udah putus kemarin di saung tempat kamu sama Hani berduaan kalau kamu lupa."
Bima menghela nafas, rasakan sering-sering menghela nafas. Aku dulu begitu tiap kamu batalin janji karena harus penuhin maunya dedemit Hani. "Kalau putus itu harus dengan kesepakatan kita berdua dan aku gak ngerasa setuju buat putus sama kamu. Please dong Nad, aku udah cukur habis jambangku buat kamu loh. Kamu kan pernah minta aku cukur. Aku harus gimana lagi supaya kamu maafin aku?."
Pertanyaan yang menarik dan menggiurkan. Oke Bima, aku bakal tantang kamu. Ku ubah posisi duduk ku menjadi menyamping menghadapnya yang sedang menyetir. "Aku minta kamu gak usah kontakan lagi sama Hani. Gak usah ketemu dia lagi dan hapus nomor teleponnya. Gimana?. Bisa?." Bima langsung menegang. Benar bukan?, dia tidak akan bisa. Dasar serakah. "Gak bisa kan?. Ya udah kita putus aja. Simpel."
"Nadila." Bima mencari tanganku kemudian menggenggamnya. Ya sudah lah gak apa cuma dipegang tangan doang. "Aku sama Hani itu...,"
Ah aku sudah hapal kalimat selanjutnya, "aku sama Hani itu udah temenan dari waktu kita kuliah. Aku gak mungkin jauhin dia. Memang kamu bisa disuruh jauh dari Niken?. Gitu kan?. Aku udah hapal loh Bim. Tapi kamu harus sadar satu hal Bim, aku sama Niken gak pernah pegangan terus gak tau kontak fisik apa lagi deh yang kalian lakuin dibelakang aku."
Bima menahan kesalnya dengan mencengkram kemudi setir, buku jarinya saja sampai jadi putih. Mungkin kalau di kartun, punggung dan matanya sudah keluar api. "Nad, aku beneran gak lakuin apapun sama Hani lebih dari pegangan tangan. Kamu harus percaya sama aku."
"Udah lah Bim capek yang dibahas itu mulu. Turunin aku disitu aja. Aku mau beli kopi dulu, mungkin aja di coffe shop itu aku ketemu cowok setia dan lebih ganteng." Bima menatapku sekilas dengan pandangan tidak suka. Mungkin dia menelaah dandanan ku hari ini yang ya lebih show off. Kemeja berwarna pink soft dan rok span di atas lutut dengan rambut yang aku gerai. Hah rasakan!. Memang manusia itu bakal lebih memahami keberadaan seseorang saat seseorang itu akan pergi.
"Enggak, kamu turun di kantor aja!." Dasar si posesif egois. Tapi menyenangkan juga bermain dengan Bima yang seperti ini. Tidak seperti kemarin ketika aku yang nurut-nurut saja kayak kerbau dicocokkan hidungnya. Tapi tenang Bim, pembalasanku baru sedikit. Tunggu.
"Fine, aku masih bisa istirahat sama temen kantor ku atau ya yang lainnya." Jawabku santai kemudian turun dari mobil Bima dengan melenggang cantik dan tenang.
Sampai di kantor, Yuli mendekatiku. "Tumben pagi banget. Biasanya mepet mau masuk datangnya." Yuli menyerahkan dokumen, "ini Bu Tia minta loe revisi dulu sebelum ditanda tangan sama Pak Ari soalnya katanya agak ancur gitu. Maklum dikerjain sama anak baru."
"Oke deh." Aku mengambil berkas itu. "Emang anak baru siapa sih?." Tanyaku penasaran. Maklum terlalu sibuk ngurusin Bima, jadi aku jarang bergosip. Sayang ya ternyata melewatkan berita-berita terbaru di kantor.
"Itu namanya Teo. Dia kenalannya Pak Ari. Gak tau siapanya gue gak paham. Ya udah ya, gue mau lanjut sarapan dulu." Yuli senyum cengar-cengir. Biasa memang. Dia itu datang pagi sekali kemudian sarapan di kantor.
Yuli meninggalkan kubikelku dan kembali ke tempatnya, sementara aku langsung mengerjakan apa yang diperintahkan Bu Tia. Aku bekerja sebagai sekretaris Pak Ari harus selalu memastikan jadwalnya dan juga berbagai macam dokumen yang masuk sudah sesuai karena kalau sampai belum sesuai maka Pak Ari yang sudah kepala empat itu akan ngamuk seperti buto ijo, membabi buta kepada siapa saja yang berhubungan dengannya hari itu. Termasuk aku.
Di tengah-tengah merevisi aku tidak paham dengan maksud dari tulisan anak baru itu, aku segera bertanya pada Yuli dimana Teo dan Yuli pun langsung memberitahu ku. Dia sedang membaca satu dokumen. Tampilannya khas anak baru yang masuk, tapi ya memang lumayan ganteng juga. Cuman memang masih berondong. "Teo?." Tanyaku didepan kubikelnya.
Laki-laki yang kutanya itu mendongakkan wajahnya dan mengangguk. "Ada apa ya?."
Aku membuka dokumen di hadapannya. "Gue Nadila, sekretarisnya Pak Ari. Gue kebetulan lagi cek dokumen yang bakal di tanda tanganin sama beliau. Ini maksudnya apa ya?." Teo membacanya kemudian menjelaskan padaku. Aku pun langsung mengerti dan kembali ke mejaku untuk merevisi pekerjaannya agar lebih mudah dipahami oleh Pak Ari. "Thanks ya."
"No problem, ka?."
Aku tertawa geli, "jangan panggil ka. Emang wajah gue udah keliatan tua ya?."
"Enggak kok malah cantik. Ops...," Teo menutup mulutnya sendiri dengan tangan. "Sorry.. bibir gue suka lebih dulu geraknya daripada otak."
Dokumen tadi aku bawa dari tangannya, "udah gak apa-apa lagi. Santei aja. Ya udah gue balik dulu ya."
"Oke."
**
Siangnya benar saja Bima datang dan menunggu di lobi kantor. Dia mengirim chat padaku. Dari kemarin saja susah diajak makan siang bareng, bagian sekarang udah di putusin malah dateng. Dasar laki-laki. Aku berpikir keras bagaimana cara membuat Bima kesal. Lalu ketika sesoerang lewat dihadapanku aku punya ide.
"Apa-apain sih kamu Nad?." Bima terlihat menyeramkan dengan rahangnya yang mengeras dan urat-uratnya terlihat keluar di leher. Oke aku tidak boleh takut, harus sebisa mungkin tenang.
"Kenapa sih kamu Bim?. Kenalin ini Teo. Teo ini Bima. Ehm...., mantan pacarku." Teo melirik ku sekilas kemudian mengulurkan tangan pada Bima yang tidak di gapainya.
"Koreksi ya. Bukan mantan, tapi masih pacarnya." Koreksi Bima sendiri, membuat aku tertawa dalam hatiku keras-keras. "Ikut aku!."
"Kenapa sih Bim?. Aku kan cuma mau nemenin Teo yang baru patah hati kasihan dia butuh temen cerita. Aku gak pegangan tangan atau apapun kok." Bima semakin kesal dengan ucapanku. Rasakan!. Memang enak. Alasan yang menyebalkan bukan Bim?.
Tangan Bima menarik tanganku kemudian menyeret ku pergi. Aku menoleh ke belakang dan mengedipkan mata pada Teo sambil berbicara tanpa suara, "thanks ya."
Teo hanya mengangguk.
Bima membuka pintu mobilnya, "masuk!."
Aku masuk mobil Bima dengan tenang, "tenang aja kali Bim gak usah emosi gitu. Aku aja kemaren mergokin kamu pegangan tangan sama Hani gak emosi." Balasku dengan sangat puas. Nadila di lawan. Hah?!, bukan tandinganmu Bim.
Bima diam seribu bahasa selama di jalan. Dia tidak berbicara apapun, sepertinya sih dia sedang menahan kesal padaku. "Mau kemana sih?."
"Liat aja." Aku mengangkat bahu dan diam saja sambil bermain handphone. Saling balas chat dengan Niken. "Kamu lagi chat-an sama siapa sih?."
Ah aku jadi ada ide.
"Sama seseorang." Jawabku yang sengaja membuatnya penasaran. Dan ternyata berhasil, Bima langsung menoleh padaku. "Kenapa?. Kamu juga kan sering main HP kalau lagi sama aku. Chat-chat an sama Hani. Terus kenapa aku gak boleh?."
Bima mati kutu. Ya ampun aku puas sekali.
Mobil Bima ternyata berhenti di salah satu tempat makan. Nasi Padang Sederhana. Tempat makan favoritnya. Bima menggandeng tanganku dan membawa aku ke dalam. "Kamu mau makan apa?." Tanyanya ketika sudah duduk dan ada belasan makanan tersaji dihadapan kami.
"Aku mau ayam pop." Tangan Bima sudah meraih piring kecil berisi ayam pop. "Eh enggak deh, kayaknya aku mau yang pedes aja. Rendang." Bima meletakkan piring kecil berisi ayam pop kemudian meraih rendang. "Ah enggak, aku mau ayam pop." Bima menutup matanya dan menghembuskan nafas kesal. RASAKAN!.
Kami berdua makan dalam diam. Bima makan lahap sekali. Memang sih orang emosi itu pasti cepat lapar. Setelah selesai makan, tangan Bima mengambil tanganku yang berada di atas meja. "Nad aku mohon, jangan siksa aku. Aku bener-bener minta maaf."
"Siksa apa sih Bim?. Aku diem-diem aja." Aku pura-pura polos.
"Ya dengan kamu kayak tadi. Pergi sama cowok lain, chat-an. Oke, aku ngaku salah. Aku minta maaf." Bima menundukkan wajahnya lemas. "Please balik jadi kamu yang kemarin."
Aku tertawa geli, "terus diem aja liat kamu seenaknya sama aku?."
"Aku ngaku salah Nad. Aku ngaku salah. Tolong jangan kayak gini terus. Aku gak bisa liat kamu sama cowok lain, chat-an sama cowok lain."
Nah ini kesempatanku, "kalau gitu tinggalin Hani. Selesai masalah. Kalau kamu gak mau ya berarti kamu sama aku yang selesai." Wajah Bima kembali kacau. Hatiku bersorak gembira.
"Nad, dia temen deket aku. Aku gak mungkin tinggalin dia."
"Ya udah kalau gitu aku yang ninggalin kamu." Aku berdiri dari kursiku dan meninggalkan Bima yang jalan dengan cepat untuk membayar tagihan kemudian menyusul ku. Dia menahan tanganku, "oke kasih aku waktu."
Aku melihat jam di tanganku, "satu hari cukup kan?. Kalau kamu udah ninggalin dia dateng ke aku besok malem. Kalau kamu gak dateng berarti kita bener-bener selesai." Bima mengangguk setuju. Halah, dia tidak mungkin bakal menepati janjinya. Besok malam pasti di tidak datang.
**
Malam besoknya, aku dan Niken sudah mandi. Dia datang ke rumah ku dan dandan sama-sama di rumahku untuk datang ke pesta perayaan ulang tahun perusahaannya. Alasannya dia sekalian menginap katanya pengen ngerasain sarapan gak mesti makan yang instan dan nyari-nyari di luar karena orang tuanya yang tinggal di Medan. Jadilah dia dengan kopernya yang besar berwarna biru muda itu ada di kamarku sekarang. "Nad loe mau pake gaun yang mana sih?. Kok ada beberapa biji gini. Masih bingung?." Tanyanya duduk di ranjang kemudian memandang empat gaunku.
Sambil melihat YouTube dan memakai makeup aku berdehem untuk menjawab pertanyaan Niken. "Kata loe bagusan yang mana Ken?." Mirip seperti profesional Niken mengangkat gaunku satu persatu kemudian di terawang padaku. "Buruan, lama banget."
"Sabar kenapa." Niken mengangkat lagi dua dress. "Kalau loe pake yang putih ini berasa loe itu baik lemah lembut kaya malaikat, gak cocok menurut gue. Padahal modelnya cocok dan elegan."
"Kurang ajar."
"Tapi kalau loe pake yang item ini seksi banget. Bisa-bisa melotot tuh semua yang ada di pesta itu. Tapi lebih cocok sama loe." Aku harus mengakui dengan berat hati kalau apa yang dikatakan Niken itu benar.
"Oke gue bakal pake yang ini."
"Good."
**
Acara yang diadakan di ballroom hotel itu megah dan banyak dihadiri oleh para karyawan juga bos-bosnya. Aku masuk dengan Niken yang membawa undangan. Ketika aku masuk, aku langsung mencari keberadaan manusia pengkhianat itu. Pasti dia tidak dateng malem ini karena acara ini. Aku memang sengaja memberi waktu yang sama dengan pesta ini. "Tunggu gue cari Pak Alif dulu." Bisik Niken.
"Sana, gue mau cari si Bima nya dulu." Niken mengangguk kemudian pergi dari sampingku. Dan gotcha aku melihat Bima datang dengan ya siapa lagi Hani disampingnya dan suaminya. Aku tidak habis pikir, mau saja dia ada diantara mereka. Kasihan sekali memang si Bima itu.
"Nad." Niken memanggilku dan aku pun menoleh. Dia datang bersama seorang laki-laki dengan perawakan tegap memakai jas modern berwarna coklat dengan turtle nack berwarna hitam. Kulitnya agak kecoklatan tapi justru membuatnya terlihat macho. Tingginya sepertinya sama dengan Bima. "Kenalin Pak Alif ini teman yang saya ceritain kemaren." Bisiknya yang masih aku dengar.
"Kenalin, Alif Darmawan." Alif mengulurkan tangannya padaku dan aku langsung menyambut tangannya. "Nadila Putri Utomo," balasku.
