Bab 1 Menciduk
Aku pastikan make up ku sempurna. Blush on cek, lipstik cek, alisku cek, bagus. Kemeja sifon berwarna putih tulangku rapih. Rok span diatas lututku juga tidak kusut. Terakhir stiletto hitamku haknya aku pastikan tidak akan patah nanti. Oke, aku sekarang sudah siap pergi. Tas hitam yang ada di atas meja aku sambar dengan emosi.
Langsung ku tekan call di kontak bernama Niken, sahabatku. Di dering pertama, panggilanku langsung diangkat. "Loe yakin kan dia masih disana?." Tanyaku langsung tanpa basa-basi.
"Yakin. Loe cepetan dateng, gue udah kaya jomblo menderita diem disini sendirian. Awas jangan nyasar ya Nad, ikutin aja petunjuk dari alamat yang gue kasih soalnya tempatnya ngumpet." Jawab panjang Niken dengan berbisik-bisik.
"Oke. Tunggu, gue sekarang berangkat."
Aku berjalan dengan cepat karena emosiku sudah tidak bisa ditahan lagi. Aku sekarang yakin buat menyerah mencoba jadi cewek lemah lembut seperti pemeran utama prontagonis yang ada di film atau novel yang hanya menangis saja ketika diperlakukan tidak adil. Sorry, aku ternyata tidak bisa jadi seperti itu. Aku Nadila Putri Utomo, anak dari Bapak Utomo dan Ibu Desi yang tidak pernah menye-menye dan bersikap lembut sehingga mudah ditindas.
Saking emosinya, begitu masuk lift tanganku menekan tombol dengan brutal. Orang-orang disekitar melihatku aneh. Urat malu ku putus untuk hari ini, Bahkan ketika aku keluar dari lift dan terus berjalan ke mobil dengan pandangan siap memakan siapapun, semua melihatku dengan pandangan bertanya. Aku tidak mau pusing mempedulikan itu semua, yang penting aku sekarang cepat sampai disana. Aku tidak mau kehilangan kesempatan.
Untung saja jalanan tidak macet, sehingga aku bisa membawa mobil Honda Civic ku dengan kecepatan tinggi. Hanya perlu waktu 30 menit dan aku langsung saja turun dari mobil, melihat ke sekeliling tempat yang tadi di shareloc oleh Niken. Rumah makan dengan halaman yang luas dan agak jauh dari jalanan jadi terasa sangat sepi. Mencari keberadaan si suara cempreng, Niken. Sampai aku melihat tangan yang melambai-lambai padaku. Dia sedang duduk lesehan di salah satu saung. Aku segera berlari ke arahnya. "Mana?." Tanyaku langsung emosi tanpa basa basi.
"Loe tuh ya dateng-dateng salam kek apa kek. Tuh mereka disana." Tangan Niken menunjuk ke sebuah saung yang ada di pojokan dan lumayan jauh dari tempat Niken. Selain itu juga jauh dari saung lesehan yang lainnya. Huft, memang kalau berbuat salah itu pasti milih tempat yang jauh dari orang banyak. Aku makin menggeram saja. "Loe tunggu gue disini." Titahku galak pada Niken.
Menghirup nafasku dalam-dalam dan menghembuskannya pelan. Berjalan dengan santai namun pasti. "Hai sayang." Sapaku begitu sampai didepan saungnya dengan suara yang dibuat semanis mungkin, padahal aku sudah ingin berteriak dan melemparinya dengan batu, tapi aku tahan itu semua demi harga diriku.
Wajah laki-laki yang memakai kemeja abu muda itu terlihat sangat terkejut. "Nad kok disini?." Perempuan yang duduk di sampingnya pun tidak kalah terkejut.
"Sayang, bukannya aku yang harusnya nanya gitu sama kamu?. Katanya hari ini kamu mau ikut Pak Rio meeting di luar. Kok malah nyangkut meeting disini sama Kak Hani berduaan?. Nanti suaminya liat kamu bisa digebukkin loh." Tanyaku dengan sorot mata tajam masih dengan posisi berdiri didepan mereka.
"Ayo kita ngomong di sana. Aku bisa jelasin." Laki-laki itu berdiri namun sempat-sempatnya melirik pada Hani yang mukanya sok takut padahal aku yakin dia gak ada takut-takutnya sama sekali. "Tunggu ya, aku mau ngobrol dulu sama Nadila."
"Iya Bim." Jawabnya dengan sok anggun dan aku benar-benar muak.
Tangan Bima menarikku ke pojokkan. Aku masih tetap saja memasang wajah badak dan tenang, padahal jangan ditanya gimana ketar-ketirnya hatiku sekarang. "Apa sih sayang?. Kita kayak lagi mau selingkuh aja ngobrol di pojokkan." Sindirku yang langsung membuatnya mengusap wajah. Dia mendudukkan ku di kursi kosong, yang untungnya sepi dan jauh dari para karyawan restaurant jadi tidak jadi tontonan lah seenggaknya.
Bima berjongkok di hadapanku, kemudian mengambil kedua tanganku. Ah dia mulai sok manis lagi. "Kamu dengerin aku ya Nad. Aku memang tadi harus ikut meeting sama bos, tapi karena kliennya ada urusan jadi meeting di undur." Bima menarik nafasnya terlebih dulu. "Nah, Hani itu lagi ada masalah sama suaminya. Dia butuh temen curhat jadi minta di temenin. Aku minta maaf gak bilang dulu dan gak bisa temenin kamu makan siang. Aku janji deh nanti sore kita ke mall. Kamu boleh makan apa aja dan beli barang apa aja. Please ya maafin aku sayang."
Tanganku mengelus wajah Bima yang berjambang halus. "Bima sayang, kalau kamu cuman temenin doang Kak Hani kenapa harus pegangan tadi?." Bima gelagapan, hah skakmat!. "Apa Kak Hani juga minta belaian dari kamu karena gak dapet dari suaminya?." Pertanyaanku sukses membuat wajah Bima mengeras. Rasakan, aku bukan lagi Nadila beberapa bulan ke belakang yang bisa kamu rayu dan bodoh.
"Nad kamu kok ngomongnya jadi kasar gitu sih?." Aku yakin Bima saat ini sedang menekan emosinya. Terdengar dari suaranya.
"Aku ngomong sesuai apa yang aku liat kok. Kemaren-kemaren kan kamu sering pergi nganter dia ke supermarket buat belanja bulanan, minta temenin kamu buat jemput anaknya, terus tadi pegangan tangan sambil ada acara suap-suapan. Kalau kata aku sih sebenarnya kamu udah di minta gantiin tugas suaminya. Tugas buat urus rumah, jaga anak terus..." Aku menundukkan wajahku kemudian berbisik sangat dekat dengannya. "Ngasi dia belaian."
"Nadila!." Bima berdiri sambil berteriak. Sepertinya baru kali ini aku lihat dia marah seperti ini. Haha, aku berhasil. Akhirnya kita 1-1. Tadi siang aku dibuat kesal seperti itu.
Tidak tunggu keadaan semakin seperti di sinetron-sinetron, aku berdiri dari dudukku. Tangan aku letakkan di bahunya dan memajukan wajah untuk berbisik disamping telinganya lagi. "Udah lah Bim jangan banyak ngomong. Kamu terusin aja jadi suami cadangan buat Kak Hani. Tungguin deh sampei dia jadi janda. Ya walaupun aku gak yakin sih dia mau ninggalin suami aslinya yang tajir itu. Nah kalau soal kita kamu gak usah pusingin ya, kita putus aja. Sorry, aku sih gak mau jadi ban cadangan kayak kamu." Kemudian aku mendorongnya pelan dan pergi melenggang dengan langkah santai melewati saung tempat Hani duduk. "Loe boleh ambil Bima sekarang. Dia udah gak menarik lagi buat gue. Selingkuh sama istri orang. Gak berbobot, bikin malu aja." Kataku dengan jutek dan benar-benar meninggalkan mereka. Menghampiri Niken yang masih setia nunggu dengan wajah super duper keponya.
"Yuk cabut. Kita makan apa yang loe mau, gue yang traktir. Tapi loe yang nyetir." Niken mengikuti langkahku sambil mengambil kunci mobil yang aku pegang.
"Gimana episode sinetron hidayahnya barusan?. Si tokoh utama akhirnya sadar gak?." Tanya Niken langsung ketika menstater mobil.
Aku mendeliknya tajam, "sial loe." Niken tertawa bahagia, "ya kali aja episodenya masih sama kayak kemaren-kemaren. Si cewek kena rayuan maut cowoknya terus di maafin deh, mesra-mesraan lagi deh. Basi banget."
"Berisik loe. Tenang, gue udah jadi Nadila jahat lagi. Salah emang gue kemaren insyaf." Niken makin tertawa, "gila loe."
"Kalau gue gak gila, gue mewek-mewek kayak kemaren."
"Bener juga sih repot gue kalau loe mewek-mewek. Oke kalau gitu kita sekarang rayain jomblonya loe dengan happy-happy." Niken menyalakan musik mobilku dengan volume yang bikin siapa aja budeg. "Awas kalau loe nangis!."
Dasar sial Niken, aku ketauan mau nangis. "Gue cengeng?. Sorry itu bukan gue." Bantahku. Untung Niken ngomong gitu barusan, kalau enggak aku pasti udah nangis lagi barusan.
"Good itu baru sobat gue." Niken membawa mobilku dengan kecepatan yang tinggi, dasar gila.
**
Niken memilih makan di restaurant Jepang yang ada di salah satu mall. Dia memang salah satu penggila sushi. Sekali makan dia bisa memakan banyak macam sushi. "Loe harus makan banyak, biar makin bohay." Saran dan omongan Niken ini memang tidak bisa di sensor. Ibaratnya bibir Niken ini filternya sudah jebol. "Untung ya tadi gue liat sinyal aneh si Bima waktu keluar dari ruangan Pak Rio. Ah gue nekat aja ikutin dia. Ternyata bener feeling gue."
"Emang feeling loe jarang meleset, mirip peramal. Tapi sayang feeling buat percintaan sendiri loe payah." Aku memasukkan satu sushi langsung ke dalam mulutku.
"Sial." Niken melempar plastik bungkusan sumpit ke arahku. Niken memang beberapa kali berganti-ganti pacar, tapi yang paling ngenes adalah saat dia berpacaran dengan kliennya bernama Heru. Feelingnya Heru itu baik dan setia, tapi nyatanya dia udah punya istri. "Gue gak bisa nerawang ke status KTP nya." Alasannya.
"Loe mau taruhan gak sama gue?." Ajak Niken sesat.
"Taruhan apa?."
"Taruhan siapa yang bener ditraktir makan. Pertanyaannya, dia bakal hubungin loe gak setelah loe putusin dia tadi?." Niken menaik turunkan alisnya sambil memakan lagi satu gulungan besar sushi dengan sekali suap.
"Gue sih enggak."
"Kata gue iya." Niken dengan percaya diri. Halah yang ada si Bima itu bakal seneng-seneng aja kalau kita putus. "Loe tau gak si Bima itu seneng banget pamerin loe jadi pacarnya di kantor. Lah si Hani?. Yang ada kalau di pamerin dia bisa digebukkin sama sekompi. Loe tau kan suaminya itu mafia. Jadi gue yakin dia gak rela loe putusin." Niken berbisik di akhir. "Ih gue bergidik ngeri sih. Bego aja dia maen-maen sama si Hani."
"Tapi sebenernya gue heran, kok si Hani masih kerja?. Padahal kan suaminya itu tajir."
Niken benar-benar seperti alat penyedot debu. Sushi tadi terus saja dimasukkan ke mulutnya dalam satu suapan kemudian dikunyah beberapa detik. "Katanya sih yang gue denger dari si Wila karena Hani nerima lamaran suaminya dulu dengan syarat dia tetep bisa kerja walau udah nikah. Ya buat cari udara seger aja katanya, bukan buat cari duit."
"Alasan aja kayaknya. Pasti sebenernya alasan dia masih pengen kerja biar bisa Neni. Nempel sana sini." Niken langsung mengguk-ngangguk dengan tertawa bahagianya. "Kata loe sendiri kan dia juga pernah deket sama Pak Angga."
"Iya, agak tua gitu diembat. Nah mungkin dia pengen nyoba sama berondong. Makanya sobatnya sendiri si Bima dideketin."
"Iya berondong yang emang dari dulu udah suka sama istri orang." Timpal ku dengan emosi sambil meminum ocha. Sementara Niken masih saja terus memasukkan sushi ke mulutnya. Bima memang suka dengan Hani dari dulu, tapi karena alasan kalau Bima jauh lebih muda Hani menolak. Padahal sebenarnya cuman beda tiga tahun. Aku tau darimana?. Ya tentu dari sahabatku yang tukang gosip. Jadi walaupun kami beda kantor, aku tetap tau tentang Bima.
Tiba-tiba si kompor Niken membuat aku takut, "loe gak takut kalau si Bima mesra-mesraan. Tapi loe jomblo?. Loe mending langsung cari cowo baru. Pertama karena gue takut iman loe goyah lagi dan kena rayuan maut si Bima. Who knows?. Kedua, loe bisa tengsin kalau si Bima liat loe jomblo-jomblo aja. Nah kan katanya lepas dari gue loe bisa dapet siapa?. Ya walaupun mantan-mantan loe oke semua sih." Kan si Niken ini?.
Otakku langsung berpikir. Benar juga apa yang dikatakan oleh cucurut Niken ini. "Ah." Aku menggebrak meja.
"Bikin kaget aja loe. Dapet ide apa?." Aku tertawa sendiri kemudian tersenyum licik. "Serem nih gue kalau udah liat loe senyum kayak begitu."
"Loe kan pernah bilang kalau Bima di kantor punya manager cakep?. Dan dia itu mantan dari sobatnya si Hani?." Tanyaku yang langsung membuat Niken menelan sushinya cepat kemudian meminum ochanya yang sama sekali belum diminum olehnya.
"Loe mau pacaran sama Pak Alif?!."
"Biasa aja dong. Iya, emang kenapa?. Kan seru kayaknya. Dia juga kan kata loe lebih dari Bima." Niken bengong sambil mengangguk-ngangguk seperti boneka di dashboard mobil. "Iya sih loe bener, tapi dia itu playboy."
Aku mengangkat alisku, "terus kenapa kalau dia playboy?. Justru lebih rame."
"Gila loe." Niken melempar tissue yang tadi digunakannya untuk mengelap bibir.
"Gimana?, loe bisa bantuin gue gak?. Kasian loh temen loe ini kalau diketawain sama si Bima. Pikirin deh percuma gue pacaran sama yang keren kalau orang luar. Gue gak bisa tunjukin ke Bima dan gak bisa bikin dia gerah. Kalau masih sama yang sekantor sama dia kan dia pasti bakal tau, udah gitu bakal rame. Gue juga bisa show off depan dia."
"Ya sih si Bima kan gak maen medsos." Niken si cerdik mulai berpikir. Agak lama sih, sampei harus makan sushi dua suapan dulu . "Nah, gini aja. Kan minggu depan ada pesta perayaan ulang tahun kantor. Kebetulan kita boleh bawa satu temen dari luar. Ya udah loe ikut aja. Biarin lah si Romi gak gue bawa. Gue juga lagi males sama dia."
"Ah loe emang cerdik. Gak rugi gue temenan sama loe dari jaman SMA."
"Gue yang rugi."
"Rugi darimana kalau loe udah makan sushi 10 macem." Mata Niken langsung menghitung sushi yang sudah dimakannya diatas meja.
**
