Bab 6. Orang dibalik kehancuran keluarga
Aurora mendesah, tubuhnya bergetar di bawah setiap sentuhan bibir Henry yang panas, menyusuri kulit telanjangnya dengan kelembutan yang menggoda. Setiap jejak yang ditinggalkannya seperti bara api yang menjalar, membakar kesadarannya dan menghidupkan ribuan percikan gairah yang mengalir dalam nadinya.
"Henry..." desahnya, suaranya terdengar samar, nyaris seperti rintihan manja yang terlepas tanpa sadar.
Aurora kembali mengerang ketika jemari Henry menelusuri setiap lekuk tubuhnya, menyapu kulitnya yang kini memanas dengan sentuhan yang begitu menyiksa sekaligus memabukkan.
"Apakah kau menginginkanku, Aurora?" suara Henry terdengar serak, penuh intensitas yang membuat tubuhnya semakin gelisah.
"Iya," jawabnya tanpa ragu, suaranya hampir tercekat oleh debaran jantungnya sendiri. "Aku menginginkanmu."
Seakan tersulut oleh pengakuannya, Henry semakin menenggelamkan mereka dalam lautan gairah yang tak terbendung. Aurora menggeliat, tubuhnya makin erat terhimpit dalam dekapan Henry yang hangat, begitu kokoh dan melindungi.
"Aaaahhhh..." desahnya lepas, menyuarakan keindahan yang merasuki setiap pori-porinya saat kulit mereka bersatu, tanpa jarak, tanpa batas. Ia mengeratkan pelukannya di punggung lebar lelaki itu, seolah tak ingin ada ruang yang memisahkan mereka.
"Tetaplah bersamaku, Henry," bisiknya lirih, "Jangan pergi ke mana pun! Aku tidak ingin kehilanganmu lagi."
Sebagai jawabannya, Henry menangkup wajahnya, bibir mereka kembali bertaut dalam pagutan yang dalam, penuh gairah dan ketulusan. Lidah mereka saling menyesap, saling mengecap, seakan ingin menghafal rasa satu sama lain, seolah takut bahwa momen ini akan berakhir begitu saja.
"Aurora... Aurora...."
Suara itu terdengar lagi. Namun, kali ini ada yang berbeda.
Aurora mengerjap.
Dunia di sekelilingnya bergeser, kehangatan Henry lenyap seketika. Nafasnya tersengal saat matanya terbuka lebar, hanya untuk mendapati sepasang mata coklat menatapnya dengan sorot khawatir.
Itu bukan Henry.
Jantungnya berdetak cepat. Aurora buru-buru duduk tegak, matanya bergerak panik, menelusuri sekelilingnya. Dan saat kesadarannya kembali, kenyataan menamparnya begitu keras.
Ia tidak berada dalam dekapan Henry. Ia berada di dalam kabin pesawat, di ketinggian 35.000 kaki dan yang duduk di sampingnya bukan Henry Wilmington.
"Aurora, kamu baik-baik saja?" suara itu datang dari Andrew Smith, pengacaranya, yang kini menatapnya dengan penuh perhatian. "Tidurmu tadi gelisah, seperti ada sesuatu yang mengganggumu."
Aurora terkesiap. Napasnya masih belum stabil, sisa-sisa mimpi yang begitu nyata masih melekat dalam pikirannya. Ia menggigit bibirnya, menenangkan detak jantungnya yang masih berdegup liar.
Tuhan, apa yang baru saja terjadi?
Ia menoleh ke jendela, menatap langit luas di luar sana.
Penerbangan Avian Skyedge menuju Jerman.
Mimpi itu... kehadiran Henry di dalamnya... sensasi yang masih terasa begitu nyata di kulitnya.
"A-aku baik-baik saja."
Suara Aurora terdengar sedikit bergetar, seolah ia sendiri ragu dengan ucapannya. Pipi meronanya menjadi saksi betapa pikirannya masih terjebak dalam bayang-bayang mimpi yang baru saja membangunkannya. Mimpi yang begitu hidup, begitu nyata dan melibatkan pria yang selama ini ingin ia hindari.
Namun, benarkah ia ingin menghindar?
Hatinya berdenyut nyeri mengingat kenyataan bahwa ia telah meninggalkan Henry di belahan bumi lain dengan amarah yang belum tuntas.
Andrew diam sejenak, menatapnya penuh perhatian sebelum akhirnya meraih segelas air dari pramugari.
"Ini, minumlah. Mungkin bisa membuatmu merasa lebih baik."
Aurora menatap gelas yang disodorkan kepadanya, lalu mengangguk pelan. "Terima kasih."
Dingin. Segarnya air mineral menyapu tenggorokannya yang kering, tapi sayangnya tidak cukup untuk meredakan panas yang masih mengendap di dalam tubuhnya. Gairah yang tersisa dari mimpinya terasa seperti bara yang masih menyala, menyiksa dengan kehadiran yang tak kasatmata.
Sial. Kenapa harus mimpi itu?
Aurora memejamkan mata, namun bayangan Henry tak mau enyah. Ia masih bisa merasakan sentuhan pria itu. Setiap kecupan, setiap desahan yang membakar kulitnya, bahkan sensasi bagaimana tubuh mereka menyatu masih menghantuinya, seolah kenyataan dan mimpi telah bercampur menjadi satu.
Tubuhnya bergidik halus, geliat aneh menyerang pusat kewanitaannya, membuatnya sadar betapa ia masih mendambakan lelaki itu. Lelaki yang seharusnya sudah ia tinggalkan.
"Sudah lebih baik?"
Suara Andrew membawanya kembali ke realitas. Aurora membuka mata, berusaha menenangkan detak jantungnya yang masih berpacu tak menentu.
Ia mengangguk, meskipun sebenarnya ia tidak yakin apakah benar-benar merasa lebih baik. Yang jelas, sejak malam itu, hasratnya terhadap Henry semakin sulit ia pungkiri.
"Sial," rutuknya dalam hati. "Aku seharusnya tidak pernah datang ke makan malam itu. Seharusnya aku menjauh sejauh mungkin darinya."
Namun kini semuanya terlambat. Ia sudah terjerat kembali dalam pesona pria itu dan yang membuatnya semakin bingung—mengapa Henry baru muncul lagi setelah dua tahun?
Ia pernah mendengar kabar dari salah satu adik perempuannya bahwa Henry berada di Amerika, sibuk menjalankan bisnis keluarga. Jika memang begitu, mengapa sekarang pria itu kembali?
Di bawah tatapan menyelidik Andrew, Aurora merasa gelisah. Ia berusaha mengalihkan perhatiannya dengan menyalakan layar monitor di hadapannya, namun jemarinya justru sedikit gemetar. Rasa gugup membuatnya kesulitan mengoperasikan perangkat sederhana itu.
"Biar aku bantu."
Sebelum Aurora sempat menolak, Andrew sudah lebih dulu mengambil alih. Jarinya dengan cekatan menyentuh layar, memilih menu yang tersedia. Aurora terdiam, matanya tanpa sadar memperhatikan pria di sampingnya yang kini begitu dekat.
Andrew selalu tampak tenang dan percaya diri. Mata abu-abu cerahnya dinaungi bulu mata tebal, kontras dengan rambut hitamnya yang tersisir rapi ke belakang. Ada aroma maskulin yang begitu khas, samar-samar menyusup ke indra penciumannya.
Aroma itu mengingatkannya pada Henry.
Aurora menelan ludah, berusaha menepis bayangan pria yang seharusnya ia tinggalkan jauh di belakang. Yang lebih mengganggunya adalah perasaan seolah tatapan Andrew masih tertuju padanya, seakan pria itu bisa membaca kegelisahan yang tersembunyi di balik sorot matanya.
Beberapa jam sebelum penerbangan
"Aurora?"
Suara Henry terdengar dari arah pintu. Ada nada menggoda di dalamnya, tetapi juga sedikit gelisah.
"Kamu sudah selesai mandi, Cantik?"
Henry melangkah mendekat, napasnya terdengar sedikit lebih berat dari biasanya. Ponselnya kini telah dimatikan, percakapannya dengan William terputus begitu saja. Saat jaraknya kian menipis, ia menarik Aurora ke dalam pelukannya.
Sejenak, Aurora menutup mata. Hangat. Dekapan Henry selalu membuatnya merasa aman. Namun, sesaat kemudian—
"Dia tidak akan tahu bahwa aku penyebab kebangkrutan perusahaannya."
Suara Henry kembali menggema di kepalanya.
Aurora tersentak.
Dalam sekejap, kehangatan yang tadi membungkusnya berubah menjadi bara yang membakar dada. Matanya terbelalak, tubuhnya menegang di dalam pelukan Henry sebelum ia akhirnya mendorong tubuh pria itu menjauh.
Henry terkejut. Ia melihat Aurora mundur beberapa langkah, menciptakan jarak yang kini terasa begitu lebar.
"Aurora...."
Aurora memejamkan mata erat-erat, mencoba mengendalikan emosi yang berkecamuk dalam dadanya. Namun, kesadaran itu menghantamnya tanpa ampun.
Henry telah membohonginya.
Henry telah menipunya.
Selama ini, pria itu adalah dalang di balik kehancuran keluarganya dan ia, bodohnya, baru menyadarinya sekarang.
Henry bisa melihat perubahan di mata Aurora. Ia tahu wanita itu telah mengetahui kebenarannya. Untuk pertama kalinya, Henry kehilangan kata-kata. Mulutnya terbuka, tetapi tidak ada suara yang keluar.
