Pustaka
Bahasa Indonesia

Sleeping With My Ex-Husband

69.0K · Tamat
Miarosa
67
Bab
874
View
9.0
Rating

Ringkasan

Aurora telah melangkah pergi dari masa lalunya. Setelah pernikahannya dengan Henry Wilmington berakhir, ia berusaha membangun kembali hidupnya, meninggalkan semua luka dan kenangan yang pernah mereka bagi. Namun, takdir berkata lain. Ketika Henry kembali hadir dalam hidupnya, pria itu bersikeras untuk merebut hatinya lagi. Dengan segala cara, Henry berusaha membuktikan bahwa mereka masih ditakdirkan untuk bersama, tapi Aurora bukan lagi wanita yang dulu. Ia sudah terlalu lelah dengan luka yang ditinggalkan oleh pria itu. Namun, di balik tekad Henry untuk mendapatkan Aurora kembali, tersembunyi rahasia dan penyesalan yang tak pernah ia ungkapkan. Dan saat masa lalu mulai menyeret mereka kembali ke dalam pusarannya, Aurora harus memilih—membiarkan hatinya kembali jatuh ke dalam pelukan pria yang pernah menghancurkannya, atau melangkah pergi selamanya. Ketika cinta dan penyesalan bertemu di persimpangan, haruskah Aurora menyerah pada takdir atau tetap bertahan dengan luka yang belum sembuh?

RomansaPresdirBillionaireDewasaPerceraianKeluargaMantanDrama

Bab 1. Kedai Kopi

Pukul tujuh pagi, Aurora Stockwell berdiri dalam antrean di depan konter kedai kopi. Aroma biji kopi yang baru digiling seharusnya menenangkan, tapi pikirannya terlalu kacau untuk menikmati itu.

Perusahaan tempatnya bekerja yang juga warisan ayahnya dan kini dikelola oleh kakaknya berada di ambang kebangkrutan. Jika itu terjadi, bukan hanya pekerjaannya yang hilang, tapi juga mata pencaharian banyak keluarga yang bergantung pada perusahaan tersebut.

Dan semua ini salah Henry.

Aurora mengepalkan jemarinya, menahan kemarahan yang hanya bisa didengar oleh batinnya sendiri.

Dulu, hidupnya berjalan stabil. Ia seorang staf ahli keuangan dengan karier yang menjanjikan hingga hari itu, saat ia menabrak seorang pria di depan lift. Secangkir kopi tumpah, mengotori jas mahal pria itu. Henry Wilmington.

Alih-alih marah, Henry justru terpesona. Ia jatuh cinta pada Aurora pada pandangan pertama, terpikat oleh mata biru tajamnya.

Aurora teringat bagaimana pria itu merayunya dengan kata-kata manis. Dalam hitungan minggu, ia menerima cinta Henry. Dalam hitungan bulan, mereka menikah, mendadak menjadi istri seorang miliarder ternyata bukan dongeng yang indah. Kekayaan yang semula tampak seperti hadiah justru menjadi jurang pemisah di antara mereka.

Ia pernah membayangkan pernikahan mereka akan seperti kisah cinta yang sederhana, sarapan pagi bersama, berbincang tentang hari yang mereka lalui, menikmati akhir pekan dengan tenang. Namun, kenyataan jauh berbeda. Setiap pagi, ia bangun untuk menemukan tempat tidur di sebelahnya kosong. Setiap malam, Henry pulang dalam keadaan lelah, hampir tak pernah menoleh padanya.

Saat ia membelakangi suaminya di ranjang, berharap Henry akan menariknya ke dalam pelukan, pria itu bahkan tidak berusaha. Tidak ada genggaman tangan. Tidak ada pertanyaan. Tidak ada usaha.

Sampai akhirnya, Aurora menyerah.

“Ah, panas!” pekiknya tiba-tiba. Cairan panas menyiram kulit tangannya, membuyarkan lamunannya.

Ia mendongak, siap melontarkan protes tajam, tapi kata-katanya tercekat.

Henry.

Sejak tadi, ia berdiri di belakang orang yang ada di pikirannya.

“Kau baik-baik saja?” Suara berat itu masih sama, sedikit serak, tetapi tetap dalam dan menawan. Mata cokelat terang milik Henry menatapnya sehangat lelehan caramel panas.

Aurora menelan ludah, menekan gejolak yang tiba-tiba muncul. “Bukan masalah. Ini bisa diatasi dengan salep luka bakar.” Mungkin itu jawaban yang masuk akal. “Hai, lama tidak berjumpa.” Atau mungkin itu lebih baik.

Tidak. Ia tidak ingin memulai percakapan. Ia ingin pergi. Tapi keinginannya akan kopi lebih kuat daripada keinginannya untuk menjauh.

“Senang bertubrukan denganmu.” Nada sinis meluncur dari bibirnya.

Henry tersenyum miring. “Cantik, sedang apa kau di sini?”

Aurora mengerutkan kening. Apa dia pikir dirinya sengaja datang ke sini untuk menguntitnya? Tentu saja tidak. Terakhir kali mereka bertemu adalah dua tahun lalu, saat ia meninggalkan rumah Henry. Pria itu tidak pernah mengejarnya. Tidak pernah datang ke mediasi perceraian mereka. Bahkan saat hakim membacakan putusan, Henry hanya mengirim pengacaranya.

Lagi-lagi, ia tidak berusaha.

Aurora mendengus, mengusir rasa kecewa yang tiba-tiba menyelinap. “Bisa kau menyingkir? Aku mau memesan kopi.”

Henry tersenyum. “Seingatku, kau tidak pernah minum kopi.”

Memang tidak, tapi keadaan telah berubah. Kakaknya membuatnya sakit kepala dengan tumpukan berkas yang tiada habisnya, hingga akhirnya ia bergantung pada kafein.

“Seleraku sudah berubah,” katanya, lalu melangkah ke konter. “Satu caramel macchiato panas.”

Henry tertawa kecil. “Menarik. Kudengar perusahaan kakakmu sedang dalam krisis keuangan.”

Aurora menoleh tajam. Suaranya terlalu santai, terlalu keras, cukup untuk didengar orang-orang di sekitar mereka.

“Kurasa kau akan segera kehilangan pekerjaan jika perusahaan itu benar-benar bangkrut,” lanjut Henry.

Aurora menatapnya tajam. “Henry Wilmington, kau rupanya punya waktu untuk memata-matai perusahaan kami?”

Henry mengangkat bahu, tetap tersenyum. “Di London, semua orang tahu kalau Blue Sea Corps bahkan menjual sahamnya dengan harga miring dan tetap tak ada yang berminat.”

Aurora menggertakkan giginya. Henry tidak berbohong, tapi caranya bicara begitu meremehkan seolah-olah kakaknya tidak kompeten membuatnya jengkel.

“Kurasa kau sudah terlalu banyak mengomentari perusahaan tempatku bekerja.”

Henry masih tersenyum. “Terakhir kali kita bertemu, aku menawarkanmu saham perusahaan. Kau menolaknya. Begitu juga rumah dan… ”

Aurora menatapnya tajam, membuat Henry menghentikan ucapannya. Ia tahu persis mengapa ia menolak semuanya. Ia tidak menginginkan hartanya. Ia hanya menginginkan Henry.

Henry berdehem, mengubah topik. “Aku bisa membantu perusahaan itu.”

Aurora membeku.

Perusahaan itu adalah warisan ayahnya—satu-satunya peninggalan yang berharga. Kakaknya telah melakukan segalanya untuk mempertahankannya.

“Pertimbangkan tawaranku,” Henry melanjutkan. “Kau tahu di mana kau harus menemuiku.”

Aurora menggigit bibirnya, menahan desakan emosi yang berputar di dadanya.

Ia tidak membutuhkan Henry.

Tapi untuk pertama kalinya dalam dua tahun, pria itu menawarkan sesuatu yang berarti.