#5. Dialog di Ruang Sunyi
Malam turun perlahan. Angin berembus lembut dari arah laut, menyusup lewat celah jendela ruang kerja Armand. Di rumahnya yang hening di pinggir kota, ia duduk di meja kayu tua peninggalan Kakenya. Secangkir kopi sudah mendingin di sisi tumpukan kertas, naskah-naskah ujian praktik akhir murid-murid kelas dua belas.
Setiap tahun, sekolah menetapkan tugas pementasan drama sebagai ujian akhir Bahasa Indonesia.
Dan setiap tahun pula, tema-temanya terasa serupa: romansa di bangku sekolah yang manis namun dangkal, kisah persahabatan yang abadi, atau konflik keluarga yang retak namun berakhir bahagia. Armand membaca satu demi satu dengan telaten, membubuhkan tanda kecil di margin. Ia tak mengeluh. Ia tahu, di balik kepolosan remaja, selalu tersimpan kejujuran kecil yang patut dihargai.
Namun malam itu, ketika tangannya meraih sebuah map bening dengan tulisan rapi di pojok kanan atas, detak hatinya seolah terhenti sejenak. Sebuah antisipasi yang aneh.
Tulisan itu berbunyi:
“Suara yang Tak Terdengar” — Naskah Drama oleh Nursinta Angelina (XII-IPS 2).
Ia tersenyum samar. Nama itu terasa akrab di dadanya, tenang, namun memberi getaran halus. Sebuah pengakuan emosional yang ia coba abaikan beberapa hari terakhir.
Armand membuka halaman pertama, dan seketika udara di ruang kerja itu seolah berubah. Menjadi lebih intim, lebih jujur.
“Ada gadis yang hidup di tengah keramaian, tapi dunia hanya mendengar langkahnya, bukan suaranya.”
Ia membaca perlahan, larut dalam setiap baris. Naskah itu terasa seperti otobiografi jiwa.
Naskah itu berkisah tentang seorang siswi pendiam yang tidak pernah benar-benar berbicara di dunia nyata, melainkan menumpahkan semua kegelisahannya melalui buku harian. Tentang bagaimana tulisan menjadi satu-satunya cara ia merasa didengar dan diakui.
Ini bukan kisah cinta yang picisan, bukan pula cerita tentang sorotan panggung dan tepuk tangan meriah.
Ini adalah tentang keberanian untuk bicara, tanpa harus bersuara. Sebuah seni komunikasi yang tersembunyi.
Dialognya sederhana, tapi menggigit jiwa:
“Kalau aku diam, bukan berarti aku tak punya kata. Hanya saja, kadang dunia terlalu sibuk mendengarkan dirinya sendiri.”
Armand terdiam lama. Ia menutup naskah itu perlahan, memandangi kertasnya seolah menatap wajah seseorang yang dikenalnya, namun belum berani disentuh.
“Sungguh... naskah yang indah,” ujarnya lirih. Suara hati yang terucap tanpa sadar.
Ada sesuatu yang sulit dijelaskan bersemayam di dada: rasa haru, kagum, dan sejenis kesadaran baru bahwa gadis yang pendiam itu ternyata menyimpan dunia batin yang begitu luas, penuh kerentanan dan kedalaman.
Ia bersandar di kursi, menatap lampu tua yang menggantung di langit-langit rumahnya, cahaya kekuningan yang menenangkan. Di luar, suara jangkrik dan desir dedaunan menambah heningnya malam.
“Sinta… kau menulis seperti seseorang yang telah belajar mendengarkan hidup. Kau menulis seperti orang dewasa,” katanya pelan.
Untuk pertama kalinya malam itu, Armand tidak lagi merasa sendiri di rumahnya.
Ada sesuatu yang hidup di antara lembar-lembar kertas itu, suara seorang murid yang tak pernah banyak bicara, tapi kini menggema di ruang sunyi seorang guru. Sebuah koneksi tanpa kata.
Dan tanpa sadar, senyum kecil muncul di wajahnya.
Ia tahu, naskah itu akan menjadi pementasan terbaik tahun ini.
Bukan karena teknik atau akting yang akan ditampilkan, melainkan karena ia tahu: naskah itu ditulis dengan hati yang benar-benar ingin didengar, dan ia telah mendengarnya.
.
Pagi itu, sinar matahari menyusup lembut lewat jendela kaca perpustakaan sekolah SMAN 5 kota Probolinggo. Cahaya keemasan jatuh di antara rak-rak buku dan meja kayu panjang tempat beberapa murid duduk membaca. Di salah satu sudut ruangan, Sinta duduk sendiri. Seragamnya rapi, rambut sebahunya dibiarkan terurai lembut. Di tangannya, terbuka sebuah novel karya Risa Saraswati, Danur.
Ia tenggelam dalam bacaan, jemarinya menelusuri setiap halaman seolah sedang berbincang dengan arwah yang berdiam di antara kata-kata, mencari ketenangan di dunia fiksi.
Dari arah pintu, Armand baru saja masuk. Ia sebenarnya hendak mencari referensi untuk tugas kelas lain, namun langkahnya terhenti begitu melihat sosok itu, murid pendiam yang semalam naskah dramanya membuatnya tertegun lama di ruang kerja.
Ada sesuatu yang menenangkan melihat Sinta di sana. Sosok yang tenang, sederhana, namun ada cahaya lembut di wajahnya yang sulit dijelaskan.
“Novel Risa Saraswati, ya?” suara Armand pelan, namun cukup membuat Sinta menoleh dengan cepat, terkejut.
“Oh, iya, Pak,” jawabnya gugup. “Saya suka cara beliau menulis. Seolah… ada kesedihan, tapi juga kehangatan. Melancholy yang indah.”
Armand tersenyum, lalu duduk di kursi seberang, menjaga jarak yang sopan. Batasan profesional itu selalu ia jaga dengan ketat.
“Risa itu unik. Ia menulis horor, tapi sesungguhnya ia sedang bercerita tentang kehilangan, bukan ketakutan,” katanya. Sebuah analisis yang matang.
Sinta menatap gurunya dengan mata berbinar. “Iya, saya juga merasa begitu, Pak. Seperti… rasa kehilangan bisa jadi sesuatu yang indah kalau kita berani menuliskannya. Dia membuat kelemahan jadi kekuatan.”
Armand menatapnya sejenak, dan tiba-tiba teringat naskah drama itu, Suara yang Tak Terdengar.
Kata-kata yang sama, perasaan yang serupa. Sebuah kebetulan yang terasa seperti takdir.
“Sinta,” ucap Armand lembut, “saya sudah membaca naskah dramamu.”
Sinta membeku. Novel di tangannya perlahan ditutup. Jantungnya berdetak kencang. “Oh... sudah, Pak?”
“Iya,” Armand mengangguk pelan. “Dan saya ingin bilang, saya sangat menyukainya. Baru kali ini saya membaca naskah seindah itu. Jujur, saya merasa bukan sedang menilai tugas, tapi membaca perasaan seseorang.”
Sinta tak bisa menahan senyum kecil yang menyelinap di wajahnya. Ada kebahagiaan yang hangat mengalir deras di dadanya, semacam rasa bangga yang membuat ujung matanya bergetar. Pengakuan itu terasa seperti pembenaran atas seluruh eksistensinya.
“Terima kasih, Pak…” katanya lirih.
Lalu, untuk menutupi rasa gugupnya, ia cepat-cepat menambahkan, “Kami masih latihan, Pak. Maya yang jadi pemeran utama. Awalnya agak susah… tapi lama-lama dia bisa, mulai memahami isi ceritanya.”
“Oh begitu,” jawab Armand dengan nada hangat. “Saya percaya kalian akan menampilkannya dengan sangat baik. Kalian punya naskah yang kuat.”
Keheningan melingkupi mereka sejenak. Keheningan yang terasa tidak sunyi, tapi penuh makna.
Di antara sunyi perpustakaan, hanya terdengar detak jam dinding dan desau kipas angin.
Sinta menunduk, pura-pura membetulkan posisi novel. Tapi ketika matanya tanpa sengaja terangkat ke arah Armand, pandangan mereka bertemu. Sekilas saja, namun cukup untuk membuat waktu benar-benar berhenti.
Ada sesuatu di tatapan itu: sederhana, jujur, dan tak terduga. Bukan tatapan guru ke murid, melainkan dua jiwa yang saling melihat dan mengerti.
Sinta cepat-cepat menunduk lagi, pipinya merona halus. “Ah, maaf, Pak…” suaranya nyaris berbisik. Ia merasa telah melanggar batasan yang tak terlihat.
Armand tersenyum kaku, ikut menunduk, merasakan ketegangan yang sama. “Tidak apa-apa. Saya… pamit dulu, ya. Mau ke ruang guru.”
“Iya, Pak…”
Begitu Armand berjalan keluar, langkahnya terasa lebih berat dari biasanya, seolah membawa sesuatu yang baru di dadanya, sebuah rahasia yang ia bagi dengan seorang murid.
Sinta masih duduk di tempatnya, menatap pintu yang baru saja tertutup. Ia menunduk, menggenggam erat novelnya, lalu menepuk pipinya pelan.
“Oh, malunya aku…” gumamnya pelan, tapi bibirnya tak bisa berhenti tersenyum.
Dan entah mengapa, meski udara perpustakaan terasa dingin, Sinta merasa pagi itu hangat sekali. Sebuah kehangatan yang tak bisa dijelaskan secara logis.
Ia menarik napas panjang, lalu mengembuskannya perlahan.
Namun tetap saja, dada itu bergetar, hebat sekali.
Seolah baru saja berlari jauh, padahal yang ia lakukan hanyalah duduk dan berbicara sebentar dengan gurunya.
Ia menunduk lebih dalam, matanya menatap baris-baris kata yang kini tampak buram di halaman.
Namun yang muncul di pikirannya bukan Risa Saraswati, bukan Danur, melainkan senyum lembut Pak Armand dan cara suaranya mengucapkan, “Naskahmu indah sekali.”
Sinta memejamkan mata sebentar, mencoba menenangkan gejolak yang belum juga reda.
“Kenapa begini…?” bisiknya. “Ini cuma obrolan biasa, kan?”
Tapi tubuhnya tahu jawaban yang tak berani ia ucapkan: ada sesuatu yang tumbuh diam-diam, rapuh, samar, tapi nyata, di ruang dadanya. Sesuatu yang akan menuntut sebuah pementasan.
Sinta menatap keluar jendela perpustakaan. Daun-daun trembesi bergoyang, disapu angin siang yang hangat. Ia menyentuh dadanya pelan, detaknya belum juga tenang.
Di luar sana, dunia berjalan seperti biasa. Tapi di dalam dirinya, sesuatu baru saja berubah arah.
Ia tidak tahu apa namanya, kagum, atau cinta, atau sekadar rasa ingin dimengerti.
Yang jelas, sejak pertemuan itu, nama Pak Armand seperti menetap di hatinya… pelan, tapi pasti.
Dan entah kenapa, Sinta merasa, drama yang ia tulis sebentar lagi bukan hanya akan dipentaskan di panggung sekolah, tapi juga di hatinya sendiri. Sebuah babak baru yang mendebarkan.
