Bab 12
Happy Reading !!
***
Sherlyta dengan malas beranjak dari duduknya dan pergi ke ruangan sebelah untuk menghampiri Samuel yang beberapa detik lalu memanggil, setelah sebelumnya pamit pada ketiga orang yang bersamanya.
"Mau komplain apa?" tanya Sherlyta saat berada diambang pintu kamar ganti.
"Sini," titah Samuel datar.
Tanpa ada sedikitpun rasa curiga Sherlyta mendekati laki-laki yang kini sudah mengenakan pakaian lengkap hasil jahitannya. Terlihat lebih tampan dan gagah dimata sipit Sherlyta.
"Siapa laki-laki itu?" tanyanya langsung saat Sherlyta sudah berada tepat dihadapannya.
"Bukan urusan lo!"
Samuel yang tidak suka dengan jawaban Sherlyta, dengan cepat menarik tengkuk perempuan itu dan mendaratkan ciuman pada bibir tipis milik sahabat kecilnya.
Sherlyta tentu saja terkejut dan berusaha untuk melepaskan, tapi Samuel yang sudah di kuasai dengan amarah dan juga cemburu tidak bisa disingkirkan dengan mudah dan malah memperdalam ciumannya, tidak peduli meski air mata perempuan dalam kukungannya sudah mengalir deras melewati pipi, juga tatapan kecewa yang dilayangkan perempuan cantik itu.
Dengan sekuat tenaga Sherlyta mendorong dada bidang laki-laki yang telah menciumnya, tidak lupa ia juga melayangkan satu tamparan keras pada pipi kiri laki-laki itu hingga membuat Samuel terperanjat.
"Kenapa lo lakuin ini sama gue, Sam. Kenapa?" marah Sherlyta benar-benar kecewa.
"Karena gue gak suka lo dekat sama laki-laki itu!" balas Samuel tak kalah marah.
"Kenapa? Apa hak lo larang gue?" tatapan benci Sherlyta berikan pada sosok egois di depannya. "Ingat Sam, lo bukan siapa-siapa. Gue bebas mau dekat dengan siapa pun saat ini, bahkan mungkin dari sepuluh tahun yang lalu pun gue berhak dekat dengan laki-laki mana pun. Gue bukan milik lo, begitupun sebaliknya. Jadi apa hak lo larang-larang gue?"
Samuel tidak mampu berkata-kata. Ucapan Sherlyta cukup membuat hatinya tesentil karena kenyataan itu memang benar, Sherlyta bukan miliknya, dan ia tidak punya hak untuk melarang, mengingat dirinyalah yang sudah mengecewakan perempuan yang menjadi sahabat juga cinta pertamanya itu.
"Biar gue ingatkan sama lo, Cesil adalah calon istri lo, yang akan lo nikahin satu bulan lagi. Jadi gue mohon, jangan berlaku seperti ini lagi," ujar Sherlyta penuh penekanan. "Jas sama celananya udah pas kan, gak ada yang mesti gue perbaiki? Kalau gitu gue pergi."
Sherlyta berlalu begitu saja tanpa menunggu jawaban dari sang lawan bicara. Jujur saja ia merasa kecewa pada laki-laki tinggi berkumis tipis itu, sekaligus takut Cesil memergoki dan membuat sahabatnya kecewa.
Samuel menatap kepergian Sherlyta dengan tatapan sendu dan juga cemburu.
Memang, semenjak Sherlyta mengingatkan akan janjinya dulu, ia jadi pendiam dan kadang marah-marah. Emosinya tidak terkontrol saat teringat akan apa yang pernah dirinya ucapkan dulu pada gadis yang menjadi cinta pertamanya itu. Dan ia pun menjadi tidak semangat dengan pernikahannya bersama Cesil. Padahal dulu dirinya lah yang paling semangat.
Berkali-kali Cesil menegurnya yang selalu melamun saat memilih undangan juga cincin pernikahan, membuat Cesil dibuat bingung oleh tingkah calon suaminya itu.
"Sil, jaga berat badan lo ya, jangan sampai itu gaun jadi kesempitan atau malah longgar pas hari-H nanti," ucap Sherlyta saat dirinya sudah kembali ke ruangan dimana sahabat dan juga Alvian berada. Cesil mengacungkan jempolnya kemudian tersenyum.
"Mas berangkat sekarang aja, aku juga udah selesai, kok," ucap Sherlyta pada Alvian yang langsung diangguki setuju oleh laki-laki dewasa nan tampan itu.
"Git, gue titip butik ya, kayaknya gue gak balik ke sini lagi, mau langsung pulang ke rumah aja." Gita mengangguk pelan, meskipun sebenarnya ia merasakan ada yang beda dari sahabat sekaligus sang bos sekembalinya dari ruang ganti memenuhi panggilan Samuel.
Samuel yang baru saja keluar dari ruang ganti dan sudah kembali berganti dengan kemeja merah juga celana kain berwarna hitam yang sebelumnya laki-laki itu kenakan, menatap kepergian Sherlyta bersama pria bernama Alvian yang melenggang begitu saja tanpa menghiraukannya yang menatap sendu.
Samuel ingin sekali mencegah perempuan itu, namun ia tidak cukup berani untuk melakukannya mengingat kemarahan Sherlyta beberapa menit lalu, ketika dirinya mencium bibir tipis itu.
"Loh, Yank, kok udah ganti lagi sih? Aku kan pengen lihat kamu pakai jasnya," protes Cesil saat keluar dan melihat calon suaminya sudah kembali mengenakan kemeja yang sebelumnya laki-laki itu kenakan.
"Kamu kan udah sering lihat aku pakai jas," jawab Samuel tanpa menatap calon istrinya.
Tatapan mata Samuel masih tertuju pada Sherlyta dan Alvian yang baru saja membukakan pintu untuk Sherlyta dan juga senyum yang diberikan perempuan itu membuat Samuel bertanya-tanya dalam hati mengenai hubungan apa yang sebenarnya terjalin diantara keduanya.
"Kamu tahu, siapa laki-laki itu?" tanya Samuel masih memperhatikan gerak-gerik laki-laki yang bersama sahabat kecilnya.
Cesil mengikuti tatapan calon suaminya yang tertuju pada mobil BMW berwarna putih yang baru saja melaju meninggalkan pelataran butik
"Aku gak tahu, baru lihat soalnya," jawab Cesil seraya mengedikan bahu singkat. Samuel menatap tidak percaya pada perempuan di hadapannya.
"Kamu kan sahabatnya, masa gak tahu?" Samuel menaikan sebelah alisnya.
"Ya, apa bedanya sama kamu? Kamu juga kan sahabatnya," balas Cesil.
"Aku kan udah lama gak ketemu bahkan komunikasi sama dia, jadi aku mana tahu. Kamu yang belakangan ini selalu sama-sama dia pastinya tahu siapa aja orang yang dekat atau mencoba mendekatinya." Samuel tak ingin kalah. Membuat Cesil menatap kekasihnya itu dengan kening mengerut, tidak mengerti dengan sikap sang calon suami yang terlihat tidak seperti biasanya.
"Aku emang benar-benar gak tahu siapa laki-laki itu, karena selama aku kenal Sherlyta, dia gak pernah sekalipun dekat dengan laki-laki, juga gak ada laki-laki yang datang ke sini hanya untuk ngajak makan siang. Selama aku berteman emang ada laki-laki yang berusaha mendekati Sherlyta, tapi dia selalu menolak. Sherlyta selalu bilang kalau dia sudah memiliki seseorang. Dan sampai sekarang aku gak tahu siapa orang yang dia maksud. Setiap hari juga dia selalu pulang tepat pukul lima sore meskipun kami sedang ada kegiatan di kampus, dan saat aku bertanya pun dia selalu menjawab kesuatu tempat tanpa mau memberi tahu yang sejelasnya."
***
Selama diperjalanan tadi, Samuel tidak banyak berbicara seperti biasanya. Membuat Cesil bertanya-tanya, karena tidak biasanya tunangannya itu diam dan terlihat kacau seperti ini. Ia sebenarnya penasaran, namun tidak cukup berani untuk bertanya dan lebih memilih untuk diam.
Saat sampai di depan rumah Cesil pun laki-laki itu tidak mengucapkan apa-apa dan berlalu begitu saja melajukan mobilnya tanpa menunggu Cesil masuk ke dalam rumah terlebih dulu seperti yang selalu dilakukan.
Samuel melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi, melampiaskan rasa marah, kesal dan juga cemburunya.
Memang semenjak di danau tempo hari, perasaannya pada Sherlyta kembali mencuat, emosinya tidak terkendali, apalagi jika mengingat bagaimana kecewanya Sherlyta karena ulah dirinya. Cesil yang sebentar lagi akan menjadi istrinya pun tak Samuel perdulikan karena terlalu larut memikirkan Sherlyta, Sherlyta dan Sherlyta.
Beberapa pengendara lain sampai meneriaki bahkan mengumpat karena Samuel yang mengendarai mobil ugal-ugalan. Samuel tidak perduli karena kini yang ia pikirkan hanyalah bagaimana cara meraih Sherlyta agar mau memaafkannya dan mau kembali padanya.
Samuel memarkir mobil dengan sembarangan saat sampai di pekarangan rumah milik orang tuanya dan langsung berlari memasuki rumah besar yang terlihat sepi itu dan dengan tidak sabaran memanggil kedua orang tuanya hingga Arini dan Samsul tergesa-gesa menghampiri anak laki-laki semata wayangnya itu.
"Ada apa, Sam, kenapa teriak-teriak gitu?" panik Arini ketika melihat anaknya yang kacau.
"Sam mau batalkan pernikahan," ucap laki-laki tampan yang terlihat kacau itu dengan yakin.
Samsul dan Arini terdiam mencerna apa yang telah di ucapkan anaknya barusan.
"Maksud kamu apa, Nak? Coba duduk dulu, dan bicara baik-baik," Arini dengan lembut menuntun anaknya untuk duduk di sofa yang ada di ruang tamu. Diikuti Samsul yang memilih sofa beseberangan dengan anak dan juga istrinya.
"Sam mau batalkan pernikahan dengan Cesil, Ma, Pa," ucap Samuel serius.
"Jangan bercanda, Sam! Pernikahan kalian tinggal menghitung minggu."
Samuel menggelengkan kepalanya pelan. "Sam, serius, Pa. Sam, mau membatalkan pernikahan dengan Cesil." Arini menegang di tempatnya, begitupun Samsul yang kini wajahnya sudah mengeras.
"Apa alasan kamu sampai mau membatalkan pernikahan ini? Bukankah setahun lalu kamu yang menginginkan ini? Memohon agar Papa dan Mama melamarkan Cesil untuk kamu. Lalu sekarang, ketika pernikahan sudah terencana, kamu berkata ingin membatalkannya ...? Apa kamu waras Samuel!" Samsul menggeleng tak habis pikir.
"Coba jelaskan apa yang buat kamu menginginkan hal gila ini? Apa Cesil melakukan kesalahan? Dia mengkhianati kamu?" Samsul kembali melembutkan suaranya, memberondong anak laki-lakinya itu dengan pertanyaan.
Samuel menggelengkan kepalanya pelan, tidak membenarkan semua yang di tanyakan oleh sang ayah.
"Lalu apa? Jelaskan Samuel!" tuntuk Samsul tegas.
"Samuel ingin Lyta, Ma, Pa. Sam ingin menikahi Lyta," ujar Samuel pelan. Namun masih dapat dengan jelas di dengar oleh Arini dan Samsul yang seketika membeku, lalu menatap tak percaya pada anaknya itu.
"Kenapa, Lyta hamil sama kamu?" tanya Samsul datar
Samuel menggeleng cepat. "Karena Samuel cinta sama Lyta, Ma, Pa," aku Samuel menatap kedua orang tuanya bergantian.
"Sejak kapan?" kini Arini membuka suara.
"Sejak lama. Sam gak tahu pastinya ..." Samuel kemudian menjelasakan mengenai perasaannya kepada Sherlyta yang sudah diungkapkan sebelum kepergiannya demi mengikuti sang orang tua. Menjelaskan kesediaan Sherlyta menunggunya dan janji yang pernah diucapkannya sepuluh tahun lalu. Tidak lupa Samuel pun menceritakan awal mula hubungannya dengan Cesil yang hanya di jadikan sebagai pelarian dari rasa kesepian. Tapi ternyata hubungan itu malah membuatnya nyaman dan berakhir dengan keputusan untuk kejenjang yang lebih serius, hingga janji yang dulu di ucapkan terlupakan begitu saja, dan kembali diingatkan belum lama ini.
"Sam menyesal, Ma, Pa," cicit Samuel seraya menundukkan kepalanya, mengakhiri penjelasan panjang lebar yang cukup merumitkan.
"Dan kamu percaya begitu saja pada ucapannya?" tanya Arini masih enggan mempercayai.
Samuel menggeleng. "Tidak ada alasan untuk Sam gak percaya, apalagi ketika melihat bagaimana kecewanya Lyta terhadap, Sam. Dia nunggu Sam, Ma, Pa," Samuel menatap sendu kedua orang tuanya dengan raut bersalah yang tidak dapat di sembunyikan.
"Jadi kamu ingin membatalkan pernikahanmu dengan Cesil hanya karena janji masa lalumu? Hanya karena rasa bersalahmu telah membuat Lyta menunggu selama ini dan akhirnya kamu kecewakan?" Samsul bertanya untuk memastikan.
Dengan cepat Samuel menggeleng. "Bukan karena itu, Pa. Tapi karena Sam sadar, Sam masih mencintai Lyta hingga detik ini. Bukan hanya kerana merasa bersalah atau kasihan." Tegas Samuel.
Arini dan Samsul tidak mampu berkata-kata lagi, keduanya tidak pernah membayangkan akan seperti ini jadinya. Sherlyta sudah mereka anggap sebagai anak, dan kenyataan seperti ini tidak pernah terbesit dalam kepalanya.
"Ma, Pa tolong, batalkan pernikahan Sam dengan Cesil. Sam, ingin menikahi Lyta. Sam hanya cinta sama Lyta, Ma, Pa." Samuel memohon, berlutut di bawah kaki sang ibu yang baru saja hendak pergi.
"Jangan gila, Samuel!"
***
