Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Hasrat Yang Keliru

"Geli ah, kamu kebiasaan deh suka kayak gitu." Firda menggeliat kegelian di tempat tidur apartemen Firda.

"Tapi kamu suka, kan?" sahut Alan sambil memeluk Firda. Ia pun melancarkan aksinya lagi. Terdengar desahan yang saling bersahutan dari mulut Alan dan Firda. Mereka sedang menikmati surga dunia di apartemen Firda.

Firda merupakan mantan kekasih Alan, mereka berpisah karena hubungan tidak direstui oleh orang tua Firda. Status sosial yang membuat mereka tidak bisa bersatu. Firda menikah dengan laki-laki pilihan papanya, tentu saja seorang pengusaha sukses.

Alan yang hanya seorang pegawai di sebuah CV yang bergerak di bidang konstruksi, dianggap tidak sepadan dengan keluarga Firda, pengusaha batubara dan memiliki usaha lainnya.

Drtt….drtt… ponsel Alan berdering. Mereka yang sedang dalam kondisi menuju puncak pun langsung kesal. Alan segera melihat ke ponselnya, sebuah nama terpampang di layar ponsel itu. Aira, istri dan ibu dari anak tunggalnya, Kenzo.

"Maaf sayang, aku tadi lupa men-silent ponselku," kata Alan pada Firda. Alan pun menonaktifkan ponselnya.

"Tadi kan sudah aku bilang, silent ponselnya," gerutu Firda.

"Maaf Sayang," bisik Alan sambil menggoda Firda. Mereka pun melanjutkan sesuatu yang sempat tertunda.

Di tempat lain, Aira gelisah. Keringat dingin membasahi dahinya sementara tangannya erat memeluk Kenzo, anak lelakinya yang demam tinggi. Tubuh kecil itu menggigil dalam dekapannya, sesekali merengek lemah, seolah berusaha mencari kenyamanan di dada ibunya.

Dengan satu tangan, Aira kembali mencoba menelepon Alan. Nada sambung sempat terdengar tadi, tapi kini… ponselnya tidak aktif.

Hatinya mulai diselimuti perasaan tidak enak. Ke mana Alan? Kenapa justru di saat seperti ini dia sulit dihubungi?

Mengabaikan pikirannya yang mulai bercabang, Aira segera memasukkan beberapa perlengkapan Kenzo ke dalam tas. Taksi online yang dipesannya sudah menunggu di depan rumah.

Tin… tin…

Bunyi klakson membuyarkan lamunannya. Dengan sigap, Aira keluar rumah sambil menggendong Kenzo yang makin lemah.

"Sesuai aplikasi ya, Bu?" tanya sopir taksi online setelah Aira masuk ke dalam mobil.

"Iya, Pak," jawabnya dengan suara bergetar. Ia berusaha tetap tenang, tapi hatinya terasa begitu sesak melihat Kenzo seperti ini.

Dari kaca spion, sang pengemudi menatapnya sekilas. Raut wajah Aira yang cemas dan air mata yang menggenang di pelupuk matanya membuat lelaki itu merasa iba.

"Maaf, Bu. Anaknya kenapa?" tanyanya pelan, penuh empati.

"Demam tinggi, Pak. Makanya saya bawa ke rumah sakit," jawab Aira dengan suara lemah.

"Ibu harus tetap tenang, supaya anaknya juga tenang. Insyaallah, anak Ibu akan baik-baik saja," ucap pengemudi itu, berusaha memberi ketenangan.

Aira menarik napas panjang, mencoba menenangkan dirinya sendiri. Senyum tipis terukir di wajahnya meski hatinya tetap didera kecemasan.

"Terima kasih untuk sarannya, Pak," ucapnya lirih.

"Sama-sama, Bu."

Tak butuh waktu lama, mobil berhenti di depan rumah sakit. Setelah membayar ongkos, Aira buru-buru turun sambil menggendong Kenzo dan berjalan cepat menuju ruang UGD.

Begitu tiba, dokter dan perawat segera menangani anaknya. Aira menunggu dengan dada berdebar, perasaannya tak menentu.

Drtt… drtt…

Ponselnya bergetar. Jantungnya langsung berdegup kencang. Apakah ini Alan?

Namun, ketika melihat layar ponselnya, alisnya mengernyit. Nomor tidak dikenal.

Biasanya ia enggan menjawab panggilan dari nomor asing, tapi entah mengapa, kali ini ia langsung mengangkatnya.

"Selamat siang, Bu. Saya pengemudi taksi tadi. Tas Ibu ketinggalan di mobil saya. Saya sekarang ada di depan pintu ruang UGD," kata suara di seberang.

Aira tersentak. Tangannya otomatis meraba-raba bahunya. Benar saja, tas yang tadi ia bawa tidak ada.

Tanpa berpikir panjang, ia segera keluar dan melihat sang pengemudi taksi berdiri di sana, membawa tasnya.

"Maaf, Pak. Saya lupa membawanya. Tadi saya buru-buru turun," ucap Aira sambil menerima tas itu dengan wajah penuh rasa syukur.

"Iya, Bu. Nggak apa-apa, namanya juga sedang cemas," jawab pengemudi itu dengan senyum ramah. "Bagaimana anak Ibu?"

"Sedang ditangani dokter, Pak," jawab Aira.

"Syukurlah. Ibu harus tetap tenang. Anak Ibu sudah berada di tangan yang tepat," katanya lagi sebelum akhirnya berpamitan.

"Iya, Pak. Terima kasih banyak," ucap Aira tulus.

Saat kembali ke dalam, Aira menggenggam ponselnya erat. Hatinya kembali bertanya—di mana Alan? Kenapa bukan suaminya yang ada di sini bersamanya, di saat ia paling membutuhkan?

Di dalam ruangan lain, Kenzo masih terbaring lemah. Dan di tempat yang berbeda, suaminya tengah terlarut dalam pelukan wanita lain.

Aira menatap layar ponselnya. Alan masih belum bisa dihubungi.

Air matanya akhirnya jatuh.

*

Alan membuka pagar rumahnya yang tertutup rapat. Biasanya, setiap sore Aira dan Kenzo sudah menunggu di teras, menyambutnya pulang dengan senyuman hangat. Tapi kali ini, tidak ada siapa pun. Hanya kesunyian yang menyambutnya. Dahinya berkerut. Ia merasa ada yang aneh.

Setelah memeriksa sekeliling, ia masuk kembali ke mobil untuk mengambil kunci garasi dan kunci rumah—sesuatu yang selalu ia bawa agar tidak perlu membangunkan Aira saat pulang larut malam. Setelah mobil terparkir di dalam garasi, Alan masuk ke rumah. Suasana begitu sepi. Biasanya, begitu mendengar suara mobilnya, Kenzo langsung berlari menyambutnya dengan tawa riang.

"Aira! Kenzo!" panggilnya. Hening.

Alan menghela napas, melepas jasnya, lalu berjalan menuju kamar mandi. Walaupun sebelumnya sudah mandi di apartemen Firda, ia merasa perlu membersihkan diri lagi. Tapi bukan karena dosa yang ia lakukan—melainkan sekadar rutinitas, seperti halnya segala sesuatu yang sudah lama kehilangan makna. Air dingin mengguyur tubuhnya, tapi pikirannya melayang.

Ia teringat momen-momen bersama Firda—mandi bersama, bercumbu di bawah pancuran air, menikmati setiap detik kebersamaan yang mereka ciptakan dalam rahasia. Sudah satu bulan ini mereka menghidupkan kembali kisah lama yang seharusnya terkubur. Di hotel, di apartemen, di mana saja. Mereka sudah memiliki pasangan masing-masing, tapi masih mencari yang lain. Dengan alasan cinta yang belum usai.

Setelah selesai mandi, Alan berjalan menuju ruang makan. Perutnya mulai terasa lapar. Tapi saat membuka tudung saji, tak ada makanan di sana. Wajahnya mengeras.

"Ngapain aja sih Aira seharian ini? Masak nggak ada makanan sama sekali?" gerutunya dalam hati.

Ia kembali ke kamar, meraih ponselnya, berniat menelepon Aira. Tapi begitu melihat layar, ia baru sadar—ponselnya masih dalam keadaan tidak aktif sejak tadi. Begitu ia menghidupkannya, notifikasi langsung membanjiri layar. Puluhan panggilan tak terjawab, dari Aira.

Alan terdiam sesaat, hatinya berdebar. Ada rasa bersalah yang tiba-tiba menyelinap, tapi dengan cepat ia tepis. Sebelum sempat menekan nomor Aira, ponselnya kembali berdering. Firda. Senyuman kecil muncul di wajahnya. Seketika, bayangan istrinya menghilang. Tanpa berpikir panjang, ia langsung mengangkatnya.

"Ada apa, Sayang? Baru beberapa jam nggak ketemu kok sudah rindu?" godanya. Di seberang sana, suara Firda terdengar mendayu.

"Iya, aku kok selalu kangen sama kamu ya? Rasanya ingin selalu di dekatmu."

Senyuman Alan semakin lebar. Sejenak, ia lupa bahwa ia baru saja mengabaikan belasan panggilan dari istrinya. Tanpa berpikir panjang, ia segera beralih ke video call. Begitu wajah Firda muncul di layar, Alan menelan ludah. Firda hanya mengenakan pakaian dalam, tubuhnya yang sempurna sengaja dipertontonkan.

"Kok berani VC-an? Memang istrimu kemana? Aman?" tanya Firda dengan nada menggoda.

Alan menyeringai. "Lagi keluar, tenang aja. Aman kok."

Firda menggigit bibirnya, lalu mulai menyentuh dirinya sendiri, membiarkan jemarinya bermain di tempat yang seharusnya tidak Alan lihat. Nafas Alan memburu. Jantungnya berdetak lebih cepat.

Ia sudah lupa segalanya. Lupa bahwa di luar sana, ada seorang istri yang sedang menangis. Lupa bahwa ada seorang anak yang tengah terbaring lemah di rumah sakit. Yang ada di kepalanya saat ini hanya Firda. Dan dosa yang kembali ia ulangi.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel