Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 2 Kebebasan

Bab 2 Kebebasan

“Ibu sudah kesal dengan omongan tetangga yang pedas itu, Yah! Mereka bilang kalau kita ini terlalu miskin sampai-sampai tidak bisa membelikan anaknya sepatu yang layak!” Orion berbicara dengan nada tinggi saking kesalnya.

Janus mengembuskan napas ringan, ia sebenarnya malas mendengarkan pengaduan istrinya itu. Sebab, dia sama sekali tidak tertarik untuk memberikan fasilitas yang layak untuk Sekala. Ia rasa, semua yang dia berikan kepada Bumi dan Bulan seharusnya dilihat oleh tetangga-tetangga bawelnya itu. Kedua anak kembarnya itu sudah mendapatkan fasilitas yang lebih dari layak. Pakaian baru setiap bulannya, sepatu bersih dan mengkilap, juga jangan lupakan dengan tas yang ia beli dari luar negri dengan model paling trendi.

“Ayah!” seru Orion, kesal kata-katanya hanya dibalas dengan dengusan napas saja.

“Iya, iya! Nanti Ayah beli di pasar bekas.”

Tanpa banyak basa-basi lagi, Janus pergi ke garasi belakang rumah. Mengurus mobil-mobil antiknya lebih membuat hatinya gembira ketimbang memberi Sekala sepatu baru.

“Ck! Anak itu memang hanya menyusahkan saja. Janji empat belas tahun itu sampai sekarang pun belum terwujud. Dasar manusia sialan!” gumamnya dalam hati seraya membuka pintu garasinya.

Sekala yang baru saja pulang dari sekolah mendengar semua pertengkaran itu. Hatinya semakin sedih manakala dia menyadari bahwa di depan dan belakang dirinya pun, sikap kedua orang tuanya tetap sama. Dia memang anak yang tidak diharapkan. Bahkan, untuk membelikan sepatu baru saja kedua orang tuanya harus bertengkar dulu. Bukan bertengkar menentukan pilihan model sepatu, melainkan beli atau tidak.

Setelah percekcokan itu selesai, Sekala masuk ke rumah. Wajahnya murung. Bajunya kusut dan kotor. Begitu pula dengan sepatu yang sudah tak layak pakai. Lubang di depan sepatu itu membuat jempol kakinya terlihat jelas. Kaus kaki yang dulu bisa menyembunyikannya, kini tak berguna lagi karena sudah sama-sama jebol.

Pernah suatu kali Bumi menawarkan Sekala menggunakan sepatunya. Namun, niat itu tercium oleh Ibunya. Imbasnya, Sekala pun dipukul oleh gagang sapu dengan tuduhan memaksa adik-adiknya. Padahal Bumi sudah menjelaskan bahwa dia sendirilah yang menawarkannya. Akan tetapi Orion bersikeras bahwa Sekala yang sudah memperdaya kedua adiknya hingga tidak berani mengatakan hal yang sebenarnya.

Tangannya membuka pintu perlahan. Ia tidak mau mengganggu ibu dan ayahnya. Bisa kena pukul kalau dia sampai mengusik ketenangan Orion dan Janus. Ya, semua yang dilakukan Sekala memang tidak pernah benar di mata keduanya. Bagi keduanya kesalahan setiap manusia selain Sekala bisa dimaafkan. Sedangkan Sekala, adalah tempat mutlak terjadinya kesalahan dan dosa.

Ia masuk dengan menenteng sepatu robeknya, lantas membuka pintu kamar yang memperlihatkan tangga panjang ke bawah tanah yang gelap gulita. Sekala selama ini memang tidur di bawah tanah. Dia hidup terasing di keluarganya sendiri. Menjadi gelandangan yang mengemis tempat berteduh dan makanan sisa dari ibu dan ayahnya sendiri.

Namun, meski betapa perihnya hari-hari yang dialaminya, ia tetap berusaha menjadi anak yang baik dan berbakti kepada orang tuanya. Tak pernah sekali pun ia berpikir untuk mencelakai ibu dan ayahnya. Ia selalu mencintai mereka, juga Bumi dan Bulan, sepenuh hati. Baginya, semua ini hanyalah nasib yang seharusnya bisa dia ubah.

“Suatu hari nanti, kalau aku sudah menjadi orang yang berhasil, Ibu dan Ayah pasti akan memelukku penuh kebanggaan,” lirihnya sembari terisak menahan sakit di hatinya.

***

Alarm jam yang ditaruh di meja belajar berbunyi nyaring. Api obor yang menerangi kamar bawah tanah Sekala mulai redup karena kehabisan minyak. Itu pertanda bahwa hari sudah mulai pagi dan ia mesti segera berangkat ke sekolah.

Perlahan Sekala membuka matanya yang masih perih. Jika boleh, sebenarnya ia tak ingin bangun secepat ini. Dia masih butuh istirahat demi memulihkan energi di tubuhnya. Sudah beberapa hari ia tidur larut malam. Ada banyak tugas yang mesti ia selesaikan menjelang waktu ujian akhir semester. Apalagi, Sekala tidak memiliki ponsel seperti teman-temannya. Jadi, sebisa mungkin ia harus menyelesaikan semuanya sendirian. Tanpa bantuan teman maupun akses internet.

Dengan membawa baju seragamnya, Sekala pergi ke belakang rumah. Ia tidak boleh mandi di toilet seperti yang lain. Ia hanya boleh mandi di tempat ayahnya mencuci mobil. Untungnya, di belakang rumah ada benteng setinggi dua meter yang mempu menyembunyikan tubuhnya dari mata tetangga yang sering mencibir keluarganya itu. Selepas mandi, Sekala mengambil bungkusan makanan yang biasa disimpan Bulan di depan pintu kamarnya.

Sekala berjalan melalui keempat keluarganya yang sedang asyik berbincang di meja makan. Hari memang masih sangat pagi. Mereka bisa berangkat setengah jam lagi. Apalagi Bumi dan Bulan selalu diantar dengan mobil ayahnya. Hanya Sekala yang pergi ke sekolah berjalan kaki.

Tiba-tiba, saat Sekala sudah hampir keluar dari pintu dapur, ia dilempari sepasang sepatu oleh ayahnya. “Pergi sana!” ketus ayahnya tanpa menoleh sedikit pun pada Sekala.

Sekala tampak senang mendapati sepatu baru yang diberikan ayahnya. Meski sebenarnya sepatu itu pun dibeli dari pasar rongsokan dengan harga yang tak seberapa. Namun, ia tetap mengenakannya dengan senang hati.

“Terima kasih, A-“

“Sudah sana pergi!” potong ayahnya yang tak tahan dengan kehadiran Sekala.

Tanpa banyak bicara lagi, Sekala pergi dengan sepatu barunya. Ia terlihat sangat percaya diri dengan langkah yang mantap. Tanpa ia sadari, setiap kali sepatu itu menyentuh tanah, maka sebuah percikan kecil berwarna hitam pun muncul. Akan tetapi, dia hanya mengira bahwa percikan kecil itu hanyalah kepulan debu aspal biasa.

Setibanya di sekolah, Sekala bertemu dengan Jeri, berandalan yang selalu mengganggunya setiap hari. Jeri dan teman-temannya membawa Sekala ke belakang sekolah. Mereka berniat menghajar Sekala bergantian. Melampiaskan kekesalan mereka dengan pukulan. Walaupun Sekala tak pernah sekali pun membuat masalah pada Jeri dan kawan-kawannya.

“Kau masih hidup. Jadi, takdirmu belum berhenti. Kau memang sudah ditakdirkan jadi samsak tinju untuk kami!” ucap Jeri disambut dengan tawa gelak dari teman-temannya.

Sekala terdiam. Dia hanya bisa meratapi dirinya yang terlahir lemah dan tak bisa berbuat apa-apa. Jangankan melawan Jeri dan gengnya, untuk lari saja dia tidak memiliki keberanian. “Lebih baik diam, dan menikmati pertunjukan rutin ini saja,” pikirnya.

Ia menunduk menatapi sepatu barunya. Percikan hitam itu semakin nyata. Kedua matanya bisa melihat bulatan-bulatan itu dengan jelas. Muncul, hilang, dan berganti bulatan yang baru.

“Lari! Larilah Sekala!”

Terdengar oleh Sekala suara yang menyuruhnya untuk segera berlari. Entah dari mana, namun suara itu nyata. Ia pun segera meneguhkan hatinya untuk berlari sekuat tenaga. Ini saatnya bagi Sekala untuk bangkit dari takdir menyedihkannya. Meski bukan dengan perlawanan langsung, setidaknya dia bisa melindugi tubuhnya dari luka-luka yang akan diberikan Jeri beserta kawan-kawannya.

Mata Sekala menatap Jeri tajam, ia mengumpulkan keberaniannya untuk pergi dari amukan Jeri. “Wah wah! Dia sudah berani menatapku seperti itu, teman-teman! Lihatlah! Mungkin Sekala mau mengajakku berkelahi kali ini. Ayo, maju sini!”

Semuanya tertawa terbahak-bahak. Mereka tidak tahu kalau Sekala memiliki rencana yang akan membuatnya bebas sejak hari ini. Bebas dari semua penyiksaan geng kejam itu.

“Cepat lari, Sekala!”

Suara itu kembali muncul. Kali ini lebih keras dan nyata. Sekala semakin yakin kalau dia tidak sedang berhalusinasi. Ini bukan khayalan yang muncul karena dirinya sudah terlalu lama mengalami penyiksaan dan kepedihan.

Tanpa banyak bicara, Sekala berlari sekuat tenaga ke arah Jeri. Dia menabrakan tubuhnya, hingga membuat Jeri terpental jauh. Dan, masalah baru pun timbul. Ia berlari dengan sangat kencang hingga menabrak apa pun yang dilewatinya.

Tak ada satu mata pun yang bisa melihat langkah kaki Sekala. Dia seakan lenyap dari pandangan. Jeri dan kawan-kawannya dibuat kebingungan dengan hilangnya Sekala. Tubuhnya mengalami luka parah. Bahkan beberapa tulang rusuknya pun patah. Ia tak bisa berdiri.

“Bantu aku berdiri!” seru Jeri kepada kawan-kawannya. “Sialan! Tunggu pembalasanku, Sekala!”

“Bos!” sahut salah satu anak buahnya.

“Apa!” Jeri menanggapinya dengan amarah.

“Lihat itu!” tunjuknya pada tembok yang membatasi bangunan sekolah dengan pemukiman warga.

Tembok itu berlubang seukuran tubuh Sekala.

“Ba- bagaimana bisa Sekala sekuat itu?” Jeri terpaku melihat tembok jebol yang ditabrak Sekala.

***

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel