Pustaka
Bahasa Indonesia

Sepatu Sekala

85.0K · Tamat
Romansa Universe
80
Bab
1.0K
View
7.0
Rating

Ringkasan

Sekala adalah anak berusia 14 tahun yang tidak diinginkan keluarga. Dia tidur di dalam lemari sleeding bekas. Barang-barang bekas adalah kepunyaannya, sampai suatu hari Sekala diberi sepatu bekas warna mencolok agar dia malu memakainya. Diluar dugaan, sepatu itu mengubah Sekala dan membawanya berlari sangat kencang, saking kencangnya, sebuah portal dunia monster terbuka.

FantasiSupernaturalSuspense

Bab 1 Daun Brigalow

Bab 1 Daun Brigalow

Angin bertiup kencang dari langit Samudra Pasifik menuju benua Asia dengan berjuta ragam manusia. Menerbangkan segala jenis udara, gas, dan debu-debu kecil. Tidak terlepas dengan sehelai daun brigalow yang jatuh tanpa sempat menyentuh tanah. Ia terbang bebas bersama beberapa daun yang memiliki nasib sama dengannya.

Tiupan angin yang sangat kencang itu kemudia membawanya menjelajahi sebagian besar permukaan Bumi dan Samudra. Tak jarang ia hampir jatuh ke laut, namun angin tiba-tiba kembali bertiup dan membawanya meninggi. Semakin tinggi dan semakin tinggi. Hingga akhirnya ia berada satu senti di bawah awan kumolonimbus yang membawa bibit-bibit petir dan hujan. Beruntung daun penjelajah itu tidak tersambar petir. Jika itu terjadi, maka petualangannya hanya akan berakhir sampai di sana.

Langit kembali cerah. Dia bertemu dengan sekawanan burung pelikan yang tengah melakukan migrasi. Hampir saja salah satu dari burung itu menyambarnya karena mengira daun itu sebagai makanan. Untungnya, burung pelikan bodoh yang tidak tahu kalau dirinya tengah terbang di ketinggian seribu meter itu ditegur kawanannya. Ya, karena dia bodoh.

Angin mulai melambat. Daun itu pun perlahan semakin dekat dengan Bumi. apa yang dimulai, akan berakhir pada saatnya. Dan dia, harus dengan rela mengakhiri perjalanan jauhnya dari tanah luas habitat kangguru, ke pulau padat penduduk di sebelah selatan sebuah negara khatulistiwa.

Sebelum benar-benar jatuh, daun brigalow itu berusaha untuk tetap terbang. Ia tak ingin segera menyentuh Bumi. Karena beberapa kali ia melihat tupai yang jatuh dari pohonnya, mati saat sampai di Bumi. Dan karena itulah, ia takut untuk mendarat. Ada baiknya dia jatuh saja di lautan tadi.

Namun waktunya sudah tiba. Dia menabrak sebuah tiang listrik yang dipenuhi kabel kusut bertegangan tinggi. Tubuhnya yang ringan jatuh perlahan sambil menari-nari menikmati angin terakhir yang dirasakannya. Ia pun jatuh. Akan tetapi bukan di Bumi, melainkan di sebuah lantai rumah yang tak berapa luas nan berisik. Juga, ia tidak sakit.

Untungnya aku tidak jatuh di Bumi, kalau tidak aku bisa mati! Pikirnya saat mendarat di lantai yang pada kenyataannya lebih keras dari tanah di Bumi.

Rumah itu sangat berisik. Dia menyaksikan seorang anak yang malang tengah dimarahi habis-habisan oleh kedua orang tuanya. Kasihan, dia pasti merasa sangat tertekan karena tidak memiliki tempat berlindung. Ayahnya, ibunya, sama saja. Tidak ada yang bisa diandalkan. Mereka jahat seperti bukan orang tuanya saja.

Terlintas di pikiran daun brigalow untuk menjadi tempat berlindung bagi anak malang itu. Padahal, anak laki-laki itu tidak terlihat menyebalkan, ia hanya tampak lemah saja. Wajahnya putih, menarik dengan hidung yang mancung ketimbang kedua orang tuanya yang bahkan daun itu tak sudi melihatnya lagi. Tingginya cukup, mata birunya indah seperti peranakan orang barat. Namun, daun penjelajah itu tak habis pikir kenapa dia bisa menjadi sasaran amarah kedua orang tuanya.

“Sekala! Cuci piring sana!” teriak Ibunya dengan mata menyala dan tak pantas untuk dilihat seorang anak berumur empat belas tahun sepertinya.

“I- iya-“

“Cepat!” Belum sempat Sekala –nama anak itu– menjawab, ia sudah kena marah lagi oleh ibunya.

Sekala bergegas menuju bak cuci piring saat daun brigalow itu berangsur-angsur kehilangan kesadarannya. Waktunya untuk hidup sudah habis. Dia hanya bisa mendoakan yang terbaik bagi Sekala, seorang anak yang sangat ia cintai setelah perjalanan jauh yang ditempuhnya.

Bagi Sekala, ia sudah sangat beruntung dapat makan bersama ibu dan kedua adik kembarnya. Sebab, selama ini ia tidak pernah merasakan semua itu. Seringnya, saat makan bersama seperti ini, Sekala justru hanya menjadi penonton setia di pinggir meja makan. Jika ada makanan yang tersisa, maka dia boleh makan. Namun jika tidak ada, dia terpaksa berpuasa sampai waktu yang tak bisa ditentukan.

Beruntung dia memiliki dua orang adik yang sangat menyayanginya. Namanya Bumi dan Bulan. Mereka tak pernah menghabiskan makanannya. Bumi dan Bulan selalu mengambil porsi besar saat makan agar sisanya bisa diberikan pada sang kakak. Dan, sengaja menggigit sedikit daging ayamnya –jika ada– agar tidak diambil kembali oleh sang ibu yang jahat itu. Kalau tidak begitu, ibunya akan menyimpan kembali makanan yang belum tersentuh meskipun sudah pernah berpindah piring.

Bumi dan Bulan tidak kembar identik. Keduanya memiliki wajah yang berbeda, dan sifat yang berbeda pula. Bumi cenderung lebih dewasa saat mengambil keputusan. Namun, wajahnya yang biasa saja membuat ia kalah pamor dari adiknya sendiri, Bulan. Bulan memiliki emosi yang sangat tinggi. Wajah rupawannya membuat ia bisa dimaafkan kapan saja meski sudah banyak memarahi orang-orang. Dia gampang marah dan mudah menunjukkan perasaan bahagianya. Namun, di luar semua perbedaan yang mereka miliki itu, keduanya sama-sama menyayangi kakaknya. Dan itulah yang membuat mereka benar-benar kembar.

“Kak, Bulan taruh makanannya di depan pintu ke kamar. Simpan untuk nanti. Tenang saja, sudah aku bungkus rapi. Ibu tidak akan menyangka kalau bungkusan itu berisi makanan.” Bumi berbisik sembari menaruh piring kotornya di bak cuci. Sedangkan sang adik sudah kembali duduk di meja makan.

“Bumi! Biarkan kakakmu sendiri yang mengerjakannya! Dia bisa melakukannya sendirian.” Lagi-lagi perempuan paruh baya itu membentak dengan suara yang menggelegar. Tak ubahnya seperti petir yang menderu langit pada musim penghujan.

Betapa hancurnya hati Sekala saat mendengar bentakan Ibunya itu. Sebegitu bencinya ia terhadap anaknya sendiri. Ia menangis dalam hatinya, mengadu kepada semesta yang tak bisa diajaknya berbicara.

“I-iya, Bu. Bumi cuma bilang sama kakak kalau piringnya sangat kotor. Jadi, sabunnya harus banyak,” sergah Bumi beralasan.

“Begitu. Sudah biarkan saja Sekala mengerjakan tugasnya sendirian. Dia sudah biasa melakukannya.” Nada bicara Orion, wanita galak itu, menurun.

Sekala sudah selesai dengan tugasnya mencuci piring. Kini, ia bergegas menuju kamar dengan langkah pelan agar tidak disadari oleh Ibunya. Pun, jangan sampai Orion tahu kalau Sekala membawa bungkusan makanan di tangannya. Bisa-bisa, kalau sampai ketahuan, makanan sisa itu akan dibuang. Orion lebih rela makanan sisa terbuang daripada dimakan oleh Sekala. Kejam sekali.

“Ke mana Ayah, Bu? Perasaan tadi Ayah masih di sini.” Bulan berusaha mengalihkan perhatian Ibunya agar tidak menyadari Sekala yang pergi ke kamarnya dengan membawa bungkusan makanan sisa.

“Iya, padahal ada yang mau Bumi tanyakan sama Ayah,” tambah Bumi membuat Ibunya menatap kedua anak kembarnya itu bergantian.

“Ayah tadi langsung pergi ke belakang. Ke garasi mobil. Biasalah, paling-paling dia cuma otak-atik mobilnya lagi. Kurang kerjaan memang. Kalian berdua jangan sampai seperti itu, ya? Tumbuhlah menjadi anak yang bermanfaat dan menyayangi kedua orangtuanya.”

Bumi dan Bulan mengangguk menebar senyuman pada Ibunya. Orion membalas senyuman itu dengan elusan lembut di kedua kepala anak kembarnya. Betapa cintanya Orion kepada Bumi dan Bulan. Berbeda dengan sikapnya pada Sekala yang seenaknya. Kejam. Tidak berprikemanusiaan.

Begitulah Orion. Meski dia bersikap kasar dan jahat kepada Sekala, ia masih bisa bersikap lembut pula kepada Bumi dan Bulan. Bukan hal yang aneh jika di dunia ini ada hati yang pilih kasih. Dan sepertinya itu semua menimpa Orion, dan juga suaminya.

Janus yang seorang kolektor mobil antik sering sekali membentak Sekala lebih hebat daripada Orion. Dan jika keduanya sedang meluapkan emosi kepada Sekala, tak ada siapa pun yang bisa menghentikannya kecuali Bumi dan Bulan. Merekalah yang selalu bisa meredakan kemarahan keduanya.

Benda-benda keras di garasi pun sudah Sekala rasakan semuanya. Mulai dari kunci inggris, obeng, tang, hingga knalpot rusak yang menjadi koleksi kesayangan Janus. Tak elak, lebam di tubuhnya tak pernah hilang sampai kapan pun. Sebab, ketika sembuh satu, malah berganti seribu lebam.

Sekala memang terlahir berbeda. Kehidupannya berbanding terbalik dengan masa-masa yang seharusnya ia nikmati sebagai seorang siswa SMP. Dia tidak pernah sama sekali mendengar kata-kata manis dari kedua orang tuanya. Meskipun Sekala sering mendapatkan juara umum di sekolah, yang ia terima dari Orion dan Janus tetaplah hanya cacian dan kata-kata pedas penuh kebencian. Malang sekali nasibnya. Menjadi anak yang lemah, tanpa perlindungan orang tua, dan sendirian. Sekala tidak tahu takdir besar apa yang tengah menantinya di masa depan.

***