Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 7. Pernikahan Megah Qi Lin

Akhirnya pernikahan Qi Lin dengan Watanabe diadakan dengan meriah. Ia bak permaisuri. Mungkin ia calon terkuat menggantikan sang permaisuri yang terancam hukuman pancung.

"Sambut Yang Mulia Raja Watanabe"

"Hidup yang Mulia Raja Watanabe"

Semua tunduk ketika Watanabe tampil. Tanda Hormat.

"Silakan kalian berdiri"

Rakyatpun berdiri lagi.

"Kita sambut calon selir Raja Watanabe... Qi Lin"

Sebuah gaun emas membalut tubuh Qi Lin.

Hyuga tersenyum. Anaknya kini akan bersanding dengan Watanabe.

Dan ibu Qi Lin, Qi Mey juga dihadirkan. Namun yang beredar kalau suaminya Qi Mey gugur di medan perang. Mereka tidak tahu kalau Hyuga itu adalah ayahnya Qi Lin. Dan ketika ke medan tempur ia bisa menyelamatkan diri. Dan wajahnya terbakar dan diubah menjadi keadaan sekarang. Tidak ada yang menyangka kalau Hyuga adalah Dariga, Ayahnya Qi Lin yang dikabarkan mati di medan perang. Sekarang wajah Dariga sudah diubah. Tidak ada yang menyangka kalau Hyuga adalah Dariga.

Ada misi tersembunyi Dariga di kerajaan. Dan di dukung oleh Qi Lin. Ia menyembunyikan Identitas Hyuga.

Pernikahanpun diadakan dengan meriah.

Dibacakan upacara pemberkatan.

Dan dinyatakan bahwa keduanya sekarang sudah sah menjadi suami istri. Qi Lin adalah selir raja ke 13.

Berita itupun sampai ke telinga Ang Lin sang permaisuri.

"yang Mulia Ang Lin, apa langkah selanjutnya. Apakah kita akan benar benar berakhir di tiang gantungan atau hukuman pancung"

"Tidak akan. Percayalah. Aku masih permaisuri yang sah. Akan kukirimkan bala tentara"

"Tentars yang mana"

"Nanti kamu akan tahu sendiri"

Dan benar saja Ang Lin mengirimkan intruksi tersembunyi ke kerajaan sebelah untuk menyerang kerajaan yang dipimpin Watanabe.

Ia memberikan kode dengan kertas lap bekas makanannya. Tulisannya sungguh mencengangkan.

Hanya berupa kode dari sang permaisuri.

Dan raja Ang Mo Kio mengerti maksud dari kode sang permaisuri.

"Ada apa ang mo kio?"

"Seperti nya Ang Lin dalam keadaan terjepit. Dia memerintahkan kita untuk menyerang kerajaannya".

"Wah itu pekerjaan yang besar. Apa paduka sanggup melawan pasukan Watanabe?"

"Kita harus dengan cara pintar maka kita akan mengalahkannya"

"Bagaimana itu"

"Nanti aku susun dulu. Untuk sementara kita kirimkan utusan dulu untuk memberikan obat ini pada Watanabe"

"Baiklah"

***

Hyogo kembali ke Koyagyu dan melambatkan jalan kudanya. Dilihat dari luar, ia tampak tenang, namun di hatinya berkecamuk perjuangan hebat. Oh, kalau sekiranya ia dapat melihat Otsu sekali lagi! Ia mesti mengakui pada diri sendiri, bahwa itulah alasan sebenarnya ia menyusul Otsu, namun ia tak akan mengakuinya pada orang lain.

Hyogo mencoba mengendalikan perasaannya. Seperti semua orang lain, prajurit terkadang mengalami saat-saat lemah, saat-saat gila. Namun kewajibannya sebagai seorang samurai sudah jelas: berkeras hati, sampai ia mencapai keseimbangan yang tenang. Sekali ia berhasil menyeberangi rintangan khayal, jiwanya akan ringan dan bebas, dan matanya akan terbuka melihat pohon-pohon dedalu hijau di sekitarnya, dan setiap lembar rumput yang ada. Cinta bukanlah satu-satunya emosi yang dapat mengusik hati seorang samurai. Hatinya adalah dunia yang sama sekali berbeda. Pada masa ini, dunia sedang sangat membutuhkan orang-orang muda berbakat, jadi bukan waktunya tergiur oleh sekuntum bunga yang ada di tepi jalan.

Menurut Hyogo, yang penting adalah bagaimana berdiri di tempat yang benar, agar ia dapat menunggangi ombak zaman. "Ramai juga, ya?" ujar Hyogo dengan hati riang.

"Ya, Nara jarang begini baik keadaannya," jawab Sukekuro. "Macam pesiar saja."

Beberapa langkah di belakang mereka, ikut juga Ushinosuke. Hyogo mulai menyukai anak itu. Anak itu sekarang lebih sering datang ke benteng, dan dalam masa peralihan untuk menjadi abdi biasa. Waktu itu ia memanggul makan siang kedua orang itu. Ia membawa sepasang sandal cadangan untuk Hyogo, yang ia ikatkan ke obi-nya.

Mereka berada di sebuah lapangan terbuka di tengah kota. Di satu sisi menjulang pagoda Kofukuji yang bertingkat lima, di atas hutan yang mengitarinya. Di seberang lapangan tampak rumah-rumah para pendeta Budha dan Shinto. Walaupun hari itu tenang dan udara seperti pada musim semi, namun di daerah-daerah rendah tempat berdiamnya penduduk kota, mengambang kabut tipis. Kerumunan orang yang berjumlah antara empat sampai lima ratus itu tidak tampak terlalu besar, karena luasnya lapangan. Sebagian dari rusa yang memasyhurkan nama Nara itu berjalanjalan di antara para penonton, di sana-sini mengendus-endus potonganpotongan makanan yang lezat.

"Mereka belum selesai juga, ya?" tanya Hyogo.

"Belum," kata Sukekuro. "Rupanya sedang istirahat makan siang."

"Jadi, pendeta pun mesti makan!"

Sukekuro tertawa.

Waktu itu berlangsung semacam pertunjukan. Kota-kota besar biasanya memiliki teater, tapi di Nara dan kota-kota yang lebih kecil, pertunjukan itu diadakan di udara terbuka. Para tukang sulap, penari, tukang boneka, demikian juga para pemanah dan pemain pedang, semuanya melakukan pertunjukan di luar. Tapi atraksi hari ini lebih dari sekadar hiburan. Tiap tahun para pendeta pemain lembing Hozoin mengadakan pertandingan. Dengan itu mereka menetapkan susunan kedudukan mereka di kuil. Karena pertunjukan dilaksanakan di depan umum, para pemain harus berjuang keras dan pertarungan sering berlangsung hebat dan menakjubkan. Di depan Kuil Kofukuji dipasang papan pengumuman yang dengan jelas menyatakan bahwa pertandingan itu terbuka untuk semua orang yang mengabdikan diri kepada seni bela diri, namun orang luar yang berani menghadapi pendeta pemain lembing itu sedikit sekali.

"Bagaimana kalau kita cari tempat duduk untuk makan siang?" tanya Hyogo. "Rasanya kita masih punya banyak waktu."

"Di mana tempat yang baik?" tanya Sukekuro, memandang ke sekitar.

"Di sini," seru Ushinosuke. "Bapak-bapak bisa duduk di atas sini." Ia menunjuk selembar tikar buluh yang telah diambilnya entah dari mana, dan ditebarkannya di atas bukit kecil yang menyenangkan. Hyogo kagum akan kecekatan anak itu, dan secara keseluruhan ia pun senang kebutuhan-kebutuhannya diperhatikan, walaupun menurut anggapannya sifat penuh perhatian itu bukan watak yang ideal untuk seorang calon samurai.

Sesudah mereka mengambil tempat duduk sebaik-baiknya, Ushinosuke menyuguhkan hidangan: gumpalan nasi kasar, acar prem asam, dan pasta buncis manis, semuanya terbungkus daun bambu kering untuk memudahkan membawanya.

"Ushinosuke," kata Sukekuro, "lari sana kepada para pendeta itu, dan ambil sedikit teh. Tapi jangan katakan untuk siapa."

"Akan mengganggu sekali, kalau sampai mereka ke sini menyatakan hormat," tambah Hyogo, yang waktu itu menenggelamkan muka ke bawah topi anyamannya. Wajah Sukekuro pun lebih dari setengahnya tertutup bandana, seperti yang biasa dipakai para pendeta.

Ketika Ushinosuke berdiri, seorang anak lelaki lain yang jaraknya sekitar lima belas meter dari sana mengatakan, "Sungguh saya tak mengerti. Tadi tikar itu di sini."

"Lupakan, Iori," kata Gonnosuke. "Tikar itu tidak penting."

"Tentunya ada yang mencuri. Siapa kira-kira yang melakukannya?"

"Tak usah repot-repot." Gonnosuke duduk di rumput, mengeluarkan kuas dan tinta, dan mulai mencatat pengeluarannya dalam buku catatan kecil, suatu kebiasaan yang baru-baru ini didapatnya dari Ion.

Dalam beberapa hal, sikap Iori memang terlampau serius untuk anak semuda dirinya. Ia memperhatikan benar keuangan pribadinya, tidak pernah memboroskan sesuatu. Ia rapi bukan main, dan ia merasa berterima kasih atas setiap mangkuk nasi yang diterimanya dan setiap hari cerah yang dihadapinya. Singkat kata, ia orang yang ingin serbalurus, dan memandang rendah orang yang tidak bersifat seperti dirinya.

Terhadap orang yang mencuri milik orang lain, walaupun hanya selembar tikar murah, ia merasa muak.

"Oh, itu dia," teriaknya. "Orang-orang di sana yang mengambilnya. Hei!" la berlari ke arah mereka, tapi sekitar sepuluh langkah sebelum sampai, tiba-tiba ia berhenti untuk menimbang-nimbang apa yang akan dikatakannya, dan tahu-tahu ia sudah berhadapan dengan Ushinosuke.

"Apa maumu?" geram Ushinosuke.

"Apa maksudmu, apa mauku?" bentak Ion.

Sambil memandangnya dengan sikap dingin, seperti sikap orang kampung terhadap orang luar, kata Ushinosuke, "Kau yang tadi meneriaki kami."

"Siapa membawa pergi barang orang lain, dia itu pencuri!"

"Pencuri? Kau ini kurang ajar!"

"Tikar itu punya kami!"

"Tikar? Aku tadi menemukan tikar itu di tanah. Apa itu yang bikin kau gusar?"

***

Watanabe tidak menaruh curiga dengan adanya utusan itu. Ia membawakan sejumlah obat obatan. Yang memang sudah sejak lama dikirimkan Ang Mo Kio. Sejatinya ramuan itu biasanya untuk sang permaisuri. Namun kini dia ada dipenjara. Dan Watanabe minta pendapat pada Adipati Unggara.

"Bagaimana Unggara, apakah ramuan ini diberikan untuk Ang Lin"

"Saya kira berikan saja. Ini hanya ramuan biasa"

Lalu diberikannya ramuan itu pada Ang Lin.

Dan Ang Lin kaget. Ang Mo Kio memberikan kode keras. Bahwa ia akan menghabisi kerajaan Watanabe pada pekan depan dengan serangan dahsyat. Dan menyuruh sang permaisuri bersiap siap.

Namun Sekarang Ang Lin tak mau gegabah. Ia tidak menceritakan hal itu pada Ang Mey.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel