3. Kiriman Bubur Membawa Petaka.
Sejak hari itu, sesuatu berubah.
Di balik dinding tebal Paviliun Qingxin, Chun Mei masih menjalani rutinitasnya seperti biasa—membaca kitab, menyulam perlahan, atau menyapu halaman kecilnya sendiri agar terlihat selalu sibuk. Dia pikir pertemuannya dengan "kasim misterius" itu tak akan menimbulkan masalah. Toh, tak ada yang tahu... dan pria itu pun tidak terlihat istimewa.
Namun, Chun Mei salah besar. Karena pria itu bukan kasim, melainkan seorang Kaisar Lin Yi sendiri.
Sejak hari itu pula, sang Kaisar mulai memperhatikan sesuatu yang tidak pernah dia perhatikan sebelumnya, yakni catatan selir rendahan.
"Ada seorang selir bernama Chun Mei di Paviliun Qingxin?" tanya Lin Yi acuh tak acuh saat makan malam bersama teman terdekatnya, Jenderal Shang Que.
Sumpit Jenderal Shang Que berhenti di udara.
"Chun... Mei?" ulangnya, bingung, "maaf, Yang Mulia, hamba belum pernah dengar namanya. Dia mungkin salah satu dari selir persembahan daerah tahun lalu."
"Begitu tidak terkenalnya dia?" tanya Lin Yi pelan.
Sang Jenderal mengangguk. "Betul, Yang Mulia. Jika boleh hamba jujur... selir seperti itu biasanya hanya numpang nama dalam daftar istana."
Lin Yi tersenyum kecil. "Menarik."
Malam itu, istana sunyi. Langkah kaki Lin Yi terdengar menyusuri lorong-lorong panjang menuju ruang kerjanya.
“Lapor, Yang Mulia. Catatan tentang Selir Chun Mei telah hamba bawa,” ujar kasim kepala, menyerahkan gulungan tipis.
Lin Yi membuka gulungan itu perlahan.
Nama: Chun Mei
Usia: 18 tahun
Asal: Kota pinggiran Hua Zhou
Status: Persembahan pajak tahunan dari Gubernur Hua Zhou
Keterangan: Tidak mencolok. Tidak menonjol. Tidak pernah memohon audiensi.
Penilaian dayang: Pendiam, cerdas, sangat mandiri. Tidak pernah terlibat konflik.
Lin Yi menyandarkan punggung ke kursinya. Mata tajamnya menatap titik kosong di udara.
“Dia bahkan tidak mencoba masuk ke hatiku... dan justru karena itu, dia masuk ke dalam pikiranku.”
Sementara itu di Paviliun Qingxin...
Chun Mei bersin pelan saat menyiram tanaman.
"Ah... siapa yang membicarakanku ya?" gumamnya sambil mengusap hidung.
Dia tak tahu, bahwa ada tatapan dari jendela istana utama yang tak henti mengawasinya sejak beberapa hari terakhir. Bahkan kini, Kaisar telah memerintahkan dayang tertua untuk diam-diam mengirimkan laporan harian tentang kegiatan Chun Mei.
Bukan karena cinta.
Belum.
Tapi rasa penasaran seorang Kaisar yang terbiasa dikelilingi kepalsuan, kini tertarik pada kejujuran tanpa usaha.
Lalu, pada hari berikutnya, sebuah kejutan datang ke Paviliun Qingxin.
Bukan bunga, bukan permata, melainkan semangkuk bubur panas yang dikirim oleh "kasim taman".
“Katanya, ini dikirim oleh pria yang pernah menolong Nyonya di taman minggu lalu,” ujar dayang kecil.
Chun Mei membeku di tempat.
"...Kas... kasim itu?"
Dayang kecil tertawa, "Iya, katanya ini balasan karena Nyonya memanggilnya kasim waktu itu."
Chun Mei menatap bubur hangat itu dengan perasaan aneh... aneh karena dia yang ditolong tapi kenapa dia yang mendapat balasan bubur.
Dia coba berpikir, menebak-nebak apa yang terjadi di balik semua ini hingga akhirnya dia tanpa sadar mengeluarkan jarum perak dari celah rambutnya, yang dia celupkan pada bubur untuk memastikan makanan itu beracun atau tidak.
Setelah jarum perak diangkat, Chun Mei memperhatikannya dengan pikiran tak menentu. Dan karena jarum itu tidak menghitam, Chun Mei mulai mencicip buburnya sedikit demi sedikit sambil tetap memikirkan maksud kiriman bubur itu sendiri.
Waktu bergulir.
Li Muwan sedang memeriksa kotak perhiasannya saat salah satu pelayan pribadinya datang membungkuk dalam, membawa kabar dengan nada hati-hati.
"Lapor, Nyonya... ada kabar dari Paviliun Qingxin."
Li Muwan tidak langsung menoleh, hanya mengambil sepasang giwang giok dari dalam kotak, mengangkatnya ke cahaya.
“Qingxin? Bukankah itu tempat para selir tak penting ditempatkan?” tanyanya dingin.
Pelayan itu menelan ludah. "Benar, Nyonya. Tapi... hari ini, ada kiriman bubur hangat yang datang dari seseorang yang mengaku sebagai kasim taman untuk Selir Chun Mei."
Ceklik.
Giwang giok itu jatuh ke lantai.
Li Muwan memutar tubuhnya perlahan, wajahnya membeku. "Apa kamu bilang barusan?"
"Ka... kasim taman, Nyonya. Tapi saat kami telusuri... tidak ada satu pun kasim taman yang ditugaskan di dekat area itu. Bahkan tak ada posisi 'kasim taman' dalam struktur istana."
Mata Li Muwan menyipit.
"Jadi siapa yang mengirim bubur itu?"
Pelayan itu diam. Lalu, dengan suara lirih penuh tekanan dia berkata, "Kami menduga bahwa yang mengirimnya adalah Kaisar sendiri."
Darah Li Muwan berdesir dingin.
Mulutnya terbuka, tapi tak ada suara keluar. Sejenak dia hanya berdiri kaku, lalu perlahan, bibirnya melengkung tipis, menunjukkan senyum yang sama sekali bukan pertanda baik.
“Chun Mei,” bisiknya, "anak hina dari pinggiran yang bahkan tak mampu menarik perhatian seekor burung istana... sekarang berani menyentuh pandangan Kaisar?”
Tangannya meraih tongkat rotan berhias ukiran phoenix, itu adalah tongkat simbol kekuasaannya sebagai selir utama istana dalam urusan harem.
“Persiapkan orang-orangku. Hari ini juga, aku akan ajari dia di mana tempatnya!”
Paviliun Qingxin – Tak lama kemudian
Li Muwan datang bagai badai. Gaunnya berkibar, suara langkah sepatunya menggema seperti genderang perang. Para dayang Paviliun Qingxin berhamburan, tak berani menatapnya langsung.
Matanya menyala marah saat dia melihat Chun Mei berdiri tenang di beranda kecil, tampak baru selesai menyiram tanaman.
"Chun Mei!"
Chun Mei menoleh. "Selir Li?"
“Dasar perempuan tak tahu diri!” seru Li Muwan, melangkah maju tanpa peduli aturan istana yang melarang selir menyerang sesama tanpa perintah Kaisar.
"Bubur itu dari siapa?" suaranya serak menahan emosi.
Chun Mei tetap tenang. “Aku tak tahu. Seorang kasim taman yang pernah membantuku di taman minggu lalu…”
Plak!
Tamparan keras mendarat di pipi Chun Mei, membuatnya terhuyung. Satu dari bunga yang dia pegang jatuh ke lantai.
“Bohong! Tidak ada kasim taman di istana ini! Kamu pikir aku bodoh, hah?!”
Li Muwan menoleh ke belakang, melambaikan tangannya.
“Seret dia ke halaman. Cambuk dia sebanyak sepuluh kali. Di depan seluruh pelayan dan selir lain. Biar dia tahu langit itu setinggi apa, dan siapa yang berhak menjadi mata sang Kaisar!”
