2. Dikira Kasim Taman.
Chun Mei menggigit bibir bawahnya pelan. Peta kecil yang digenggamnya tampak tak berguna di tangan. Jalur taman dalam istana ternyata jauh lebih rumit dari yang dia bayangkan, dan semakin dia berjalan, semakin terasa seperti ia tersesat dalam lukisan rumit berwarna daun gugur dan bunga plum.
"Ah, kenapa aku begitu bodoh, sudah satu bulan di sini masa bisa tersesat di taman, konyol!" gumamnya lirih, "dan sekarang malah nyasar."
"Sedang mencari jalan, Nona?"
Suara bariton itu datang begitu tiba-tiba, dalam dan tenang, membuat Chun Mei sedikit terlonjak. Dia menoleh cepat. Seorang pria berdiri tak jauh darinya, mengenakan pakaian hitam sederhana, nyaris tanpa ornamen. Tidak ada lambang kekaisaran di jubahnya. Tidak ada tanda-tanda bahwa dia siapa pun yang penting. Tapi aura dingin dan tatapannya...
...terlalu menusuk untuk seorang kasim.
Namun Chun Mei, yang pikirannya tengah kalut dan jiwanya setengah panik karena takut dihukum akibat keluar paviliun tanpa izin, justru tak memperhatikan itu.
"Oh, syukurlah!" ujarnya cepat, "aku tersesat... Anda tahu jalan keluar taman ini, kan? Saya hanya ingin kembali ke Paviliun Qingxin. Saya janji tidak akan keluar lagi, sungguh."
Lin Yi, yang semula terpaku oleh sosoknya; wajah tanpa polesan tebal, bibir lembut tanpa warna merah menyala seperti selir lain, dan sepasang mata yang... tidak memandangnya dengan hasrat seperti yang biasa dia lihat, kini terdiam beberapa detik.
“Kamu... tidak tahu aku siapa?”
Chun Mei mengerutkan kening, seolah pertanyaan itu tak penting.
“Eh... Anda kasim dari taman ini?” Dia membungkuk buru-buru. “Saya tak bermaksud lancang, saya hanya... saya tersesat dan tak ingin dihukum keluar tanpa izin.”
Hening.
Bibir Lin Yi berkedut. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang terasa sangat lama, sesuatu dalam dirinya terasa hangat, aneh, menggelitik. Apakah ini... lucu?
Dia menundukkan kepala sedikit, menyembunyikan senyuman yang nyaris tak kasat mata.
“Baiklah,” ucapnya datar, menyembunyikan gejolak dalam dada. “Ikuti aku. Aku tahu jalannya.”
Chun Mei menghela napas lega. “Terima kasih, Kasim!”
Lin Yi berjalan perlahan, membiarkan Chun Mei mengikuti di sampingnya. Langkah mereka menyusuri jalan batu yang bersih oleh sapuan angin, bunga-bunga gugur menghampar seperti karpet musim gugur. Daun plum berguguran di atas bahu Chun Mei, tapi dia tampak tak peduli, terlalu sibuk menyesali kebodohannya sendiri.
“Saya pikir, kalau berjalan lurus lewat gerbang utara, bisa sampai ke paviliun,” gumamnya sambil menatap peta kecil yang tetap membingungkan. “Tapi ternyata malah masuk ke labirin bunga-bunga.”
“Karena kamu berjalan dengan kepala penuh pikiran, bukan dengan mata,” ujar Lin Yi tenang.
Chun Mei menatapnya sekilas. “Itu... benar juga.”
“Kamu bukan seperti selir lain, bukan?” Lin Yi menoleh sekilas.
Chun Mei nyaris tersedak oleh pertanyaan itu, tapi buru-buru menutupi keterkejutannya.
“Saya hanya selir kecil,” katanya pelan, "tidak dikenal, dan lebih baik begitu.”
Lin Yi diam. Tapi dalam hatinya, kalimat itu justru tertanam dalam.
Tidak dikenal, dan lebih baik begitu.
Hingga tanpa terasa, mereka tiba di ujung taman, di mana paviliun Qingxin sudah tampak di kejauhan. Langit senja mewarnai langit dengan rona jingga lembut, dan suara lonceng dari aula utama terdengar samar.
Chun Mei menatap pria yang baru saja menolongnya. Dia membungkuk sekali lagi, lebih dalam.
“Terima kasih banyak. Saya tak akan lupa kebaikan Anda hari ini, Kasim.”
Lin Yi membalas dengan anggukan kecil, lalu membiarkannya melangkah pergi. Namun, matanya tetap mengikuti punggung ramping wanita itu sampai menghilang di balik lengkung lorong batu.
Baru setelah itu, dia tertawa... kecil, nyaris tak terdengar.
“Sungguh menarik.”
Untuk pertama kalinya, Kaisar Lin Yi mengingat wajah seorang selir bukan karena dia menginginkannya... tapi karena wanita itu tidak menginginkannya.
***
"Yang Mulia!"
Setelah Kaisar Lin Yi kembali ke aula utama, Li Mudah; selir senior, yang merupakan teman masa kecil Kaisar pun menyambutnya dengan senyuman lebar, tatapan hangat serta tak lupa tangan yang tanpa ragu menjangkau tangannya... selayaknya dua orang yang sudah akrab satu sama lain sejak dahulu.
"Kamu kemana saja? Jika ingin keluar jalan-jalan harusnya ajak aku, akan aku tunjukan tempat-tempat terbaik di sini," lanjut Li Muwan dengan suara lembut dan manja.
Kaisar Lin Yi mula-mula menyingkirkan tangan Li Muwan dari pergelangan tangannya sendiri kemudian bertanya, "Apa operanya sudah selesai?"
Li Muwan menjawab cepat, "Baru berakhir beberapa saat lalu, dan jangan khawatir, Nenek Permaisuri sudah membekali mereka hadiah yang layak."
Kaisar Lin Yi manggut-manggut. "Kalau begitu, aku harus kembali ke istana utama."
Wajah Li Muwan langsung dipenuhi kekecewaan. "Kamu tidak singgah di kamarku dulu? Aku membuat teh yang biasa kita minum di ujung senja seperti ini."
Kaisar Lin Yi mengangkat tangan tanda menolak. Dia melanjutkan langkah, tanpa menghiraukan kecemberutan di wajah Li Muwan.
Lagi pula, sejak kapan pria ini peduli pada wajah-wajah seperti itu?
Li Muwan hanya bisa memandang punggung Kaisar Lin Yi yang semakin menjauh. Dan dalam benaknya dia berpikir, ternyata menjadi teman lamamu tidak menjamin bisa menempati posisi istimewa di hatimu.
Sementara itu... di tengah ayunan kaki Kaisar Lin Yi yang menuju gerbong kereta, dia dengan suara rendah bertanya pada kasim. "Apa hari ini ada Selir yang tidak ikut serta menonton opera?"
