Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Menjadi Budak

---

### Keesokan Harinya

Sejak pukul empat pagi, Nikita sudah sibuk berkutat dengan pekerjaan rumah. Mencuci pakaian, memasak, hingga membersihkan seluruh ruangan rumah. Selama lima tahun menikah dan menjadi bagian dari keluarga Davidson, Nikita tidak pernah lepas dari pekerjaan rumah yang seharusnya dikerjakan oleh asisten rumah tangga.

Wanita berusia dua puluh lima tahun itu sudah yatim piatu sejak berusia sepuluh tahun. Paman dan bibinya yang merawatnya, meskipun dengan imbalan harus bekerja keras sejak kecil. Namun, Nikita tetap bersyukur bisa hidup dengan mereka. Pernikahan ini adalah harapan terakhirnya untuk bisa merubah hidup, terbebas dari paman dan bibinya, serta hidup lebih baik. Tetapi, harapan itu justru hancur. Pernikahan yang seharusnya membawa perubahan malah menambah penderitaan. Sebagai bentuk rasa hormat kepada pamannya, ia rela menerima perjodohan ini dan menjadi budak di keluarga Davidson.

**"Nikita...!! Nikita...!!"**

Suara teriakan suaminya memecah kesunyian pagi. Nikita yang baru saja selesai mencuci pakaian bergegas keluar dan menghampirinya. Ternyata, Isa sudah berdandan rapi, siap berangkat ke kantor.

**"Lama sekali jawabnya? Punya telinga buat apa?"** tanya Isa dengan nada yang sudah penuh amarah.

**"Maaf, Mas. Tadi aku di kamar mandi, jadi kurang dengar,"** jawab Nikita dengan takut-takut.

**"Alasan! Di mana berkas-berkasku?"** tanyanya dengan suara menggebu.

**"Aku sudah menyiapkannya di atas meja, Mas. Sebentar, biar aku cuci tangan dulu, nanti aku ambilkan berkasmu,"** jawab Nikita dengan suara pelan, mencoba menenangkan keadaan.

Namun, langkah Nikita terhenti ketika Isa kembali bersuara dengan nada ketus.

**"Tidak perlu! Aku bisa mengambilnya sendiri!"** jawabnya tajam.

Nikita, yang tahu suaminya butuh sarapan, bergegas mencuci tangan dan meninggalkan pekerjaannya untuk melayani Isa. Setiap pagi, keluarga Davidson selalu sarapan bersama di ruang makan, meskipun Nikita adalah menantu di rumah megah itu, ia tak pernah sekalipun ikut duduk bersama mereka.

**"Mas, mau makan apa? Biar Nikita siapkan,"** tanya Nikita dengan lembut.

**"Aku bisa melakukannya sendiri!"** kata Isa, suara ketusnya semakin menggema, sembari menyingkirkan tangan Nikita yang hendak mengambilkan makan untuknya.

Aksi itu disaksikan oleh kedua orang tua Isa yang duduk di meja makan. Nikita menunduk, tak berani mengatakan apa-apa karena menghargai mertuanya.

**"Isa, istrimu baik lho, mau melayani suaminya. Tapi kenapa kamu malah menolaknya?"** sahut Papa Isa, mencoba melerai.

Seketika, Isa menghela napas berat. **"Pah, wanita seperti ini yang kalian idamkan jadi menantu? Tidak becus mengurus suami, jam segini masih berdandan lusuh, kotor, dan memalukan!"** jawab Isa dengan nada penuh ejekan.

**"Isa, jaga ucapanmu! Bagaimanapun juga Nikita adalah istrimu. Tolong hargai keberadaannya di sini. Kalian menikah sudah lima tahun, itu bukan waktu yang singkat untuk saling mengenal!"** suara Papa Isa semakin keras, mengingatkan putranya.

**"Pah, coba bayangkan, Isa orang terpandang, terhormat, banyak uang. Tapi lihatlah istri Isa, jelek dan miskin. Isa malu kalau rekan kerja membanggakan istrinya. Tapi istri Isa? Nikita tidak pantas jadi istri Isa! Dia lebih pantas jadi asisten rumah tangga di rumah ini!"** sindir Mama Isa.

**Deg.**

Seketika, darah Isa terasa mendidih. **"Isa! Jaga ucapanmu! Papa sengaja menjodohkan kamu dengan Nikita supaya bisa mengubah karaktermu, menjadi lebih baik lagi. Tapi kenapa kamu justru bersikap kurang ajar seperti ini kepadanya? Di mana sopan santun yang pernah papa ajarkan?"** bentak Papa Isa, wajahnya memerah menahan emosi.

Isa hanya tersenyum sinis ke arah ayahnya, tidak menghiraukan bentakan itu. **"Aku tidak habis pikir dengan pemikiran Papa. Apa yang harus dibanggakan dari wanita bodoh ini? Dari awal sampai sekarang Papa terus membelanya. Memangnya apa yang menguntungkan dari wanita bodoh ini, Pa?"** sindirnya tajam.

**"Isa! Sekali lagi kamu menghina Nikita, Papa tidak akan segan menarik semua aset yang pernah Papa berikan kepadamu!"**

**"Ancaman klasik! Selalu aset yang Papa ancam! Memangnya Papa pikir aku tanpa aset itu tidak bisa bertahan hidup? Ambil saja semuanya kalau Papa mau!"** bentak Isa, lalu dengan marah pergi meninggalkan ruangan makan, tanpa sarapan.

Nikita merasa bersalah, karena telah menyebabkan keributan itu, dan segera bergegas menyusul suaminya.

**"Mas, tunggu sebentar!"**

**"Puas kamu, Nikita! Silakan terus menarik perhatian kedua orang tuaku! Semakin kamu membuat keributan di rumah ini, semakin aku membuatmu tersiksa keberadaanmu di sini. Aku sudah muak melihatmu!"** teriak Isa, wajahnya penuh kebencian.

Isa pergi meninggalkan pekarangan rumah dan berangkat ke kantor dengan sopir pribadi. Sementara Nikita hanya bisa menatap kepergian sang suami dengan hati yang hancur. Air matanya menetes, dan dalam hati ia berpikir, *"Sampai kapanpun aku tak akan pernah bisa meluluhkan hati Isa."*

---

**Sore Hari**

Pada sore hari, saat rumah sepi, Nikita baru saja hendak beristirahat setelah seharian penuh bekerja. Tiba-tiba, mobil berhenti di depan pekarangan rumah. Tidak lama setelah itu, Nyonya Wilo datang dan melemparkan bahan-bahan masakan ke arahnya.

**"Belanja bulanan. Berikan debit pemberian Isa!"** perintah Nyonya Wilo dengan nada sinis, sambil mengatupkan tangan.

Nikita ragu sejenak, namun akhirnya memberikan debit yang diberikan oleh suaminya, sebagai jatah bulanan.

**"Lagi! Aku yakin Isa memberikan lebih dari dua debit untuk biaya hidupmu kan?"** tanya Nyonya Wilo dengan tatapan tidak percaya.

**"Sudah Nyonya, hanya dua debit itu yang diberikan Mas Isa untuk kebutuhan bulanan,"** jawab Nikita jujur.

Nyonya Wilo mengernyitkan dahi. **"Pemberian suamiku? Aku tahu diam-diam dia memberikan aset kepadamu kan? Cepat berikan!"**

**"Maaf Nyonya, tapi Pak Dirga tidak memberikan apapun. Saya berani bersumpah!"** Nikita berkata dengan tegas.

Namun, Nyonya Wilo tak mendengarkan. Ia menarik dagu Nikita dengan kasar, membuat Nikita tersentak kaget. Tidak berani menatap wajah mertuanya yang sedang menatapnya dengan penuh sinis, Nikita hanya terdiam.

**"Aku tidak akan membiarkan suamiku memberikan aset untukmu! Bahkan sekalipun kamu berpisah dengan Isa, tidak akan ada sedikitpun harta untukmu!"** tegas Nyonya Wilo, suaranya dingin dan penuh ancaman.

Ucapan mertuanya itu seperti pisau yang menancap dalam hati. Nikita teringat saat ia dianggap sebagai asisten rumah tangga oleh teman-teman mama mertuanya. Tanpa terasa, air matanya kembali mengalir, deras seperti hujan.

**"Sudahlah, Nikita. Hentikan drama tangisan air mata buayamu itu. Kesedihanmu tidak akan pernah membuatku iba. Sekuat apapun kamu menangis, itu tak akan mengubah keadaan!"** ejek Nyonya Wilo, tanpa belas kasihan.

**"Mah... selama ini aku terus mengalah demi keutuhan rumah tanggaku, dan bertahan di sini. Tidak adakah sedikit rasa iba dari Mama terhadap semua perjuanganku? Aku juga lelah berjuang sendirian, Mah!"** Nikita akhirnya meluapkan perasaan yang tertahan begitu lama.

**"No! Jangan memanggilku dengan sebutan Mama! Kedudukanmu di sini hanya sebagai asisten rumah tangga. Tidak berhak memanggilku dengan sebutan seperti itu! Panggil aku Nyonya!"** bentak Nyonya Wilo dengan wajah mengerikan.

**"Sekali lagi aku ingatkan, pernikahan ini adalah kontrak! Jika hutang paman dan bibimu sudah terbayar lunas, maka perjanjian ini selesai. Tetapi jika mereka belum bisa melunasi hutangnya, selamanya kamu akan jadi budak di sini!"**

\*\*"Jangan berani menantang aturan dariku! Satu hal yang perlu kamu ingat, kedudukanmu di sini hanya

sebagai asisten rumah tangga, bukan menantu, apalagi istri Isa. Paham?!\*\*

**"Kalian tega..."**

Bersambung...

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel