Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

11. New Home

Waktu menunjukkan pukul sebelas malam.

Lisa mengeratkan pelukan pada wanita di depannya, menghela napas panjang. Ada rasa sedih dan menyesal yang bercampur aduk di dalam dadanya sekarang. Sedih karena setelah ini ia akan jarang bertemu dengan kedua orangtuanya. Menyesal karena sampai saat ini ia belum bisa memberi yang terbaik untuk mereka berdua. Lira sendiri tidak menyangka akan tinggal terpisah dengan kedua orangtuanya secepat ini. Umur Lisa masih tujuh belas, astaga! Kuliahpun ia berniat mencari universitas di dalam kota dan tetap tinggal bersama kedua orangtuanya. Tapi yasudahlah, itu rencananya dulu. Segalanya sudah berubah sekarang.

Acara tadi siang berjalan lancar, tidak ada hambatan sama sekali. Padahal Lisa berharap semoga saja ada masalah yang membuatnya tidak jadi menikah. Tapi sungguh, takdir tidak berpihak padanya. Acaranya lancar jaya abadi! Lisa jadi sebal sendiri.

Jangan ditanya apa acaranya. Lisa sudah melewati itu semua. Akad, resepsi, ia tidak ingin membahasnya lagi. Yang pasti hanya keluarga serta rekan kerja ayahnya dan Tuan Reigara yang datang menghadiri resepsi tadi siang.

Pukul empat sore, setelah acara selesai, Lisa memindahkan barang-barangnya ke rumah yang akan ia tempati. Tidak banyak, hanya pakaian dan buku pelajaran. Selain itu, semua yang mengisi rumah barunya juga ikut baru.

Ayah dan bundanya juga membantu mengurus kepindahan Lisa sampai malam. Baru akan pamit jam sebelas ini. Sama seperti dirinya, Ares juga begitu. Hanya saja mama dan papanya sudah pamit sejak pukul sembilan tadi. Ada acara mendadak di luar negeri. Orang super sibuk.

"Kamu masih bisa pulang ke rumah tiga atau dua hari sekali, Sa. Jangan sedih gitu," ujar bundanya, menepuk punggungnya menenangkan.

Lisa merenggangkan pelukan, tersenyum sedih menatap wanita di depannya. "Kalau pulangnya setiap malem gimana?"

Bundanya terkekeh. "Nggak ada bedanya dong tinggal sama bunda?"

Lisa menyengir di tempat.

"Baik-baik disini, ya, Sa. Jaga kesehatan. Meskipun nggak ada bunda, makannya jangan suka nelat. Kalau butuh apa-apa, bilang aja ke Bi Inah sama Pak Udin. Mereka bakal bantu kamu." Bundanya menjelaskan. Lisa mengangguk, tersenyum tipis. Bi Inah dan Pak Udin memang ikut dipindah tugaskan ke rumah baru Lisa, membantunya disana. Meskipun Lisa itu mandiri, tetap saja bundanya tidak akan membiarkannya mengerjakan apa-apa sendiri. Terlebih ada Ares. Siapa coba yang akan mengurusi pemuda itu?

"Kalau emang masih capek, besok hari Senin nggak papa izin nggak masuk sekolah," lanjut bundanya.

Lisa tertegun sejenak, memikirkan sesuatu. Ia berniat masuk sekolah sih. Ada ulangan harian yang harus ia ikuti. Lisa itu pantang tidak masuk sekolah sebelum ada alasan yang benar-benar memaksanya tidak masuk. Ia paling malas ketinggalan pelajaran. Apalagi harus mengerjakan ulangan susulan sendirian.

"Oh iya, Ares. Ayah bisa minta tolong?" ucap Ayah Lisa pada pemuda di depannya.

Lisa mengernyitkan dahi. Sejak kapan ayahnya menyebut dirinya sebagai ayah Ares juga? Kya! Apa-apaan itu?! Lira tidak terima!

"Kamu pasti tahu kan Lisa takut cicak? Biasanya dia bakal teriak kalau ada cicak di kamarnya. Setelah itu, harus ada yang bawa cicak itu keluar dari sana. Kalau suatu saat itu kejadian disini, bisa bantu Lisa kan?" lanjut ayahnya.

Ares mengangguk, berkata mantap, "Tenang aja, Yah. Ares bakal bantuin Lisa kok."

Mendengar ucapan pemuda Reigara itu Lisa langsung memberi eskpresi jijik. Pertama, karena Ares balik memanggil pria di depannya dengan sebutan ayah. Kedua, karena pemuda itu sok-sokan berlagak menjaga Lisa dari hewan yang ia takutkan, padahal sebenarnya kebalikan dari hal itu. Kalau ayahnya tahu Ares suka sekali mengganggu Lisa dengan cicak, Lisa yakin, pasti pemuda itu akan dipecat jadi menantu saat itu juga.

Ayah Lisa menoleh ke arahnya, tersenyum. "Ayah sama Bunda pulang dulu, Sa. Kamu sama Ares jangan suka berantem kalau di rumah. Bagus malah kalau bisa belajar bareng," ujar ayahnya.

Lisa tersenyum tipis, mengangguk. Ia maju melangkah memeluk pria di depannya. Sebenarnya ia tidak pernah menyulut pertengkaran. Ares saja yang jahilnya kelewat menyebalkan. Jika pemuda Reigara itu tidak menganggunya, Lisa pasti tenang-tenang saja sejak dulu. Tidak marah-marah pada pemuda itu seperti kebiasaannya sekarang.

"Hati-hati, Yah, Bun."

Lisa mengantar kedua orangtuanya sampai luar rumah, menyalami mereka berdua untuk terakhir kali. Ares di sebelah Lisa melakukan hal yang sama. Ayah dan bundanya segera masuk ke dalam mobil. Lisa dan pemuda di sebelahnya melambaikan tangan, lalu dibalas dengan lambaian tangan pula oleh bundanya lewat kaca mobil. Beberapa detik kemudian, mobil orangtua Lisa melesat keluar dari gerbang, menjauh dari rumah barunya. Lisa tersenyum getir, menatap sedih mobil orangtuanya yang menghilang di kelokan jalan.

Keadaan berubah sepi. Hanya ada suara gerbang besi yang ditutup oleh Pak Udin dan suara-suara malam lainnya. Lisa menoleh ke kanan kiri, mengerutkan dahi samar ketika tidak menemukan Ares di dekatnya. Yang ada hanya Bi Inah yang melangkah mendekat ke arahnya.

"Mbak Lisa, kapan pintu depan bisa Bibi kunci?" tanya wanita yang berusia sekitar setengah abad di depannya.

Lisa tersenyum. "Biar aku aja yang kunci pintunya, Bi. Bi Inah sama Pak Udin nggak papa istirahat sekarang," ujarnya.

Bi Inah dan Pak Udin itu pasutri yang sudah lama bekerja di rumah Lisa. Sejak ia kelas lima SD kalau tidak salah. Jadi Lisa cukup akrab dengan mereka berdua.

"Yaudah, ini kuncinya, Mbak. Kalau butuh apa-apa panggil Bibi di rumah, ya."

Lisa mengangguk, menerima kunci di tangan. Bi Inah dan Pak Udin memang tinggal di bangunan paling belakang---rumah sendiri, meskipun masih bersambung dengan bangunan utama. Rumah tempat tinggal Lisa cukup luas. Terdiri dari dua tingkat. Lantai paling atasnya atau lantai atap disulap menjadi rooftop. Lisa juga tidak mengerti mengapa tiga rumah yang disediakan Tuan Reigara semuanya dua lantai, tidak ada yang satu lantai dan minimalis. Padahal yang menempati hanya dua orang. Menghabiskan uang dan tanah di bumi saja. Orang kaya selalu begitu, Lisa tidak akan menampiknya.

Pekarangan depan rumahnya luas, meskipun agak gersang karena belum ada pepohonan. Mungkin beberapa hari lagi Bi Inah akan segera menanam tumbuhan disana, mengingat wanita paruh baya itu jadi suka bercocok tanam setelah Bunda Lisa mengajarinya beberapa bulan yang lalu.

Merasakan hawa dingin mulai menjadi-jadi, Lisa segera melangkahkan kaki masuk ke rumah. Keadaan di sekitar gelap, lebih banyak pepohonan dan jarang rumah warga. Jika ini cerita horor, mungkin rumah baru Lisa akan cocok sebagai latar tempatnya. Tapi maaf, ini cerita teenfic semi romance---atau sebaliknya. Jadi tidak akan ada kuntilanak ataupun pocong disana.

Sampai teras, Lisa mengernyitkan dahi. Ares berdiri di depan pintu rumah, menyenderkan punggung disana. Pemuda Reigara itu tersenyum, menatap Lisa yang berjalan mendekat.

"Ngapain disini?" tanya Lisa malas. Matanya mulai mengantuk.

"Ini apa?" Ares tersenyum lebar, mengeluarkan sebuah buku yang ia sembunyikan di belakang tubuhnya sejak tadi.

Lisa melebarkan mata, menatap buku warna biru yang dibawa pemuda di depannya. Kantuknya mendadak hilang. Itu buku diary Lisa sejak kelas dua SMP. Tebalnya tiga senti. Setengahnya sudah terisi tulisan.

"Dapet dari mana?! Bawa sini, Res! Jangan dibaca!" Lisa berseru, berusaha mengambil buku dari tangan Ares. Tapi terlambat, pemuda itu sudah berlari masuk ke rumah terlebih dulu, menjauhi Lisa.

"Ambil aja kalau bisa," ujar pemuda pemuda itu.

Lisa berdecak sebal, langsung mengejar Ares di depannya. Pemuda itu segera berlari, kabur dari kejaran Lisa. Jika bukan karena buku diary-nya, Lisa pasti sudah memilih pergi ke kamar sejak tadi, memasa bodohi pemuda itu. Tapi ini diary. Isinya privasinya sekali. Meskipun sebenarnya tidak ada rahasia apapun. Tapi tetap saja, rasanya memalukan jika segala curhatannya selama ini dibaca orang lain.

Lisa berhenti berlari, membungkukkan badan, memegang punggung kursi meja makan di depannya. Napasnya menderu. Dia baru saja lari memutari dapur demi mengambil bukunya. Dasar, Ares! Jika Lisa tidak sabar, dia pasti sudah mencak-mencak dan marah besar sejak tadi. Bagaimana bisa pemuda itu masih semangat menganggu Lisa di malam hari seperti ini? Nyaris tengah malam bahkan. Gila!

"Jangan dibaca, Res!" seru Lisa ketika Ares mulai membuka bukunya. Malah seperti diperintah, pemuda yang berdiri di dekat meja makan seberang Lisa itu membuka halaman paling tengah, membaca sembari tertawa.

"Oh Ares Reigara... Kau sungguh mempesona... Ketampananmu tiada tara..." Ares berujar seperti sedang membaca puisi.

Lisa memberi ekspresi jijik. Dasar, Ares ke-PD-an! Lisa tidak pernah menulis hal semenjijikkan itu kali di buku diary-nya!

"Oh Ares Reigara... Kutelah jatuh cinta... Pada ketampananmu yang membuatku gila..."

"Jijik! Bawa sini nggak, Res?!" Lisa berseru marah, kembali mengejar Ares. Suaranya meninggi. Tidak peduli bahwa ini sudah malam. Beruntung rumah Lisa jauh dari pemukiman warga. Jadi seruannya tidak akan menganggu mereka.

Ares berlari ketika Lisa kembali mengejar, tertawa menyebalkan. Pemuda Reigara itu keluar dari dapur, kabur menuju ruang tengah. Lisa yang menyadari hal itu segera berbelok ke ruangan lain, mengambil jalan pintas. Saat pemuda itu hendak menuju ruangan lain, Lisa dari arah tak terduga muncul mencegatnya.

"Ares, balikin bukunya!"

Ares nampak terkejut, berseru tertahan. Pemuda itu langsung melangkah mundur, berniat kabur. Tapi baru ingin membalikkan badan, tiba-tiba ia tersandung karpet tebal di ruang tengah. Tidak seimbang, pemuda Reigara itu langsung jatuh telentang ke sofa panjang di belakangnya.

Lisa melebarkan mata, menahan napas. Bukan karena Ares yang tersandung, melainkan karena guci setinggi setengah meter di dekat sofa ikut tersenggol Ares yang terjatuh. Sepersekian detik kemudian, suara barang pecah terdengar. Terdiam, Lisa maupun Ares sama-sama menatap guci mahal yang baru saja hancur berkeping-keping di depan mereka.

Lima detik sunyi, tiba-tiba Ares berkata, "Nggak papa. Harganya cuma dua puluh juta. Kayaknya papa nggak bakal marah." Pemuda itu nyengir, tampak skeptis saat mengucapkan kalimat terakhir.

Lisa melototkan mata. Hanya dua puluh juta katanya? Sekaya apapun Tuan Reigara, Lisa yakin pria itu pasti marah melihat guci yang baru saja dibelinya langsung pecah berkeping-keping hanya dalam waktu kurang dari 2x24 jam.

Astaga... Belum ada setengah hari Lisa dan pemuda Reigara itu tinggal satu rumah, tapi barang berharga dan mahal di rumah yang ia tinggali sudah melayang sia-sia. Seharusnya papa Ares memang tidak perlu menaruh barang-barang mahal di rumah ini jika pada akhirnya Ares akan merusaknya. Buang-buang uang saja.

Lisa mengambil bantal sofa di dekatnya, menimpuk kepala Ares yang masih tidur telentang di sofa beberapa kali, membalas kekesalannya. Pemuda itu tertawa, melindungi kepalanya. Tanpa babibu, Lisa langsung mengambil buku diary dari tangan Ares, menatap sebal.

"Bersihin sana!" seru Lisa, duduk sebentar di sofa tunggal tak jauh darinya, menormalkan napas. Meskipun hanya mengejar Ares, tetap saja hal itu melelahkan jika mengejarnya sampai mengelilingi satu rumah yang luas. Lisa berseru penuh emosi pula sejak tadi! Kerongkongannya langsung kering.

"Capek ternyata." Ares bangkit duduk, menyeka sedikit peluh di dahi. Ia menyenderkan punggung ke sofa di belakangnya, nampak ngos-ngosan.

Ck! Ares saja lelah, apalagi Lisa! Jika dipikir-pikir, pemuda itu memang mengajak sehat; olahraga, mengeluarkan keringat. Tapi jika di tengah malam hari seperti ini, maaf saja. Jika bukan karena diary-nya, Lisa benar-benar tidak sudi berlari mengejar pemuda Reigara itu.

Dasar, meneyebalkan!

***

Waktu menunjukkan nyaris tengah malam.

Lisa menutup pintu depan rumah, menguncinya. Ia melangkah ke dapur, mengambil segelas air putih untuk persediaan malam. Daripada naik turun untuk mengambil air minum nanti---kamar Lisa ada di lantai dua, lebih baik ia menyiapkannya sejak sekarang. Lisa malas mengambil air di malam hari. Yang ada ia malah mati bertemu dengan cicak nanti.

Oke, itu berlebihan. Lisa tidak akan mati jika hanya bertemu dengan cicak kali.

"Ngapain disini?" Lisa menatap datar Ares yang berdiri menyandar di pintu kamarnya sembari memainkan IPhone di tangan. Lisa sungguhan mencak-mencak jika pemuda itu berniat menganggu untuk kedua kalinya. Ia sudah lelah tahu!

Pemuda Reigara itu mendongak, mematikan handphone, tersenyum ketika menyadari Lisa ada di depannya. "Nungguin kamu," katanya.

Lisa mengerutkan dahi, menatap tidak mengerti. "Buat apa?" tanyanya ketus.

"Tidurlah."

"Yaterus?" Suara Lisa meninggi. "Kamarmu kan ada disana!" ia menunjuk pintu tak jauh dari tempatnya berpijak. Kamarnya dan kamar Ares memang bersebelahan. Sama-sama ada di lantai dua.

"Kita kan tidur bareng."

Lisa berubah ekspresi wajah, langsung berseru, "NGIMPI!"

Ares terkekeh, nampak senang melihat wajah Lira yang sebal dan terkejut secara bersamaan. "Bercanda, Sa."

Lisa menghembuskan napas sebal. "Yaudah, sana pergi. Mau ngapain lagi?" tanyanya.

"Cuman mau bilang," Ares tersenyum, tiba-tiba melangkah maju mendekat ke arah Lisa. Lisa masih menatap sebal, menunggu Ares lanjut berbicara. Tanpa diduga, pemuda itu mengusap pelan puncak kepalanya, berujar, "Good night, baby. Have a nice dream."

Lisa mematung, merasa aneh. Perilaku Ares sedikit berbeda. Itu jijik, tapi entah mengapa Lisa tidak merasa jijik. Dia baru berekspresi jijik ketika menyadari suatu hal. Baby katanya?

"Jijik, Res! Jangan panggil kayak gitu!" seru Lisa.

Ares tertawa, seolah tujuannya berbicara memang membuat Lisa kejijikan. "Yaudah, kuulang. Good night, my wife. Have a nice dream."

Lisa melototkan mata, memukul pemuda di depannya. "NAJIS!"

Astaga... Lisa double merasa JIJIK sekarang.

Bersambung.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel