Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

10. Together

"Ini," Ares duduk di bangku sebelah Lisa, menyodorkan es krim berwarna pink padanya. "Suka strawberry, kan?" tanya pemuda Reigara itu.

Lisa yang sejak tadi fokus membalas pesan Vian mendongak, menerima uluran es krim dari Ares.

"Makasih," ujarnya singkat. Lisa suka semua rasa es krim, tapi rasa yang paling ia suka adalah rasa strawberry. Itu rasa paling enak di dunia menurutnya.

Menjilat es krim yang ia bawa di tangan, Lisa menyapu pandang ke sekitarnya. Ia baru menyadari jika keadaan yang ia rasakan sekarang sama seperti yang terjadi seminggu yang lalu. Hari yang sama, waktu yang sama, es krim yang sama, bangku serta suasana yang sama---taman kota selalu ramai dengan anak kecil dan beberapa orang dewasa setiap sore. Yang berbeda hanyalah hari esoknya. Hari libur yang tidak biasa, tapi juga bukan berarti hari libur yang luar biasa baginya.

"Nggak suka boneka ini ya, Sa?" Tiba-tiba Ares bertanya.

Lisa mengernyitkan dahi. "Kata siapa?" jawabnya. Lisa itu suka jerapah. Itu hewan favorit keduanya setelah cheetah. Bahkan ia menahan diri sedari tadi untuk tidak mengambil boneka yang kelewat menggemaskan itu dari tangan Ares. Lisa ingin sekali memeluknya, sungguh!

Lisa memang lebih suka hewan yang tidak bisa dipelihara dan tidak bisa disentuh. Bahkan hanya bisa diamati dari kejauhan. Ada rasa sedih menyenangkan tersendiri saat memandangi mereka dari kejauhan di kebun binatang maupun di hp. Rasanya seperti sedang mengagumi seseorang yang tidak mungkin digapai seperti doi saja. Tidak jelas memang. Tapi begitulah Lisa. Berbeda dengan kucing yang kapan saja bisa dimiliki dan disentuh, Lisa perlu menghalu untuk menyentuh serta memiliki jerapah dan cheetah sungguhan.

"Nggak. Cuman nanya. Bonekanya mau kubuang soalnya. Udah bosen," ujar Ares.

"Jangan!" seru Lisa. Dasar, Ares! Seenak jidat membuang boneka semenggemaskan itu. Bilang sudah bosan pula. Padahal baru didapat sejam yang lalu.

"Daripada dibuang, sini buatku," Lisa mengambil boneka jerapah dari tangan Ares, menjauhkannya dari pemuda itu. Sebenarnya Lisa tidak terlalu suka boneka. Ia bukan tipe gadis yang kamarnya penuh dengan barang itu. Tapi berhubung boneka milik Ares itu jerapah dan menggemaskan, Lisa jadi menyukainya.

"Ambil aja sana," kata pemuda itu. "Mau boneka cicak sekalian nggak?"

Lisa melotot tajam. Astaga... Ares mulai lagi.

"Jangan macem-macem, Res," Lisa mengancam. Nada suaranya dibuat semengerikan mungkin. Tapi Ares tetaplah Ares. Pemuda Reigara itu malah tertawa kencang melihat ekspresi marah Lisa. Dasar, menyebalkan! Sepertinya Lisa memang tidak bakat berekspresi marah yang menyeramkan.

"Oh iya, papa tadi kirim pesan." Ares berhenti tertawa, mengambil IPhonenya dari tas. Lisa menoleh, menunggu pemuda di sebelahnya melanjutkan ucapannya. "Papa nanya rumah yang bakal kita pilih. Furniturnya mau dikirim secepatnya kesana. Besok harus udah siap pakai."

Mendengarnya Lisa langsung menekuk wajah. Ia pikir Tuan Reigara akan mengirimkan pesan membahagiakan seperti 'Maaf, Nak. Papa berubah pikiran. Kalian tidak jadi menikah, ya'. Tapi ternyata... Ck! Seperti yang Lisa katakan sebelumnya, moodnya memang selalu jatuh jika membahas sesuatu yang berkaitan tentang hal itu.

"Jadi?" tanya Ares.

"Jadi apa?" Lisa masih menekuk wajah tidak bersahabat.

"Pilih yang mana?"

"Terserah."

"Hmm... Jawaban khas cewek."

Lisa melirik tidak peduli, mengambil hp, berniat membalas pesan dari Vian yang mulai menumpuk. Biarkan saja. Rasanya ia seperti mendukung perjodohannya jika ikut memilih rumah. Lagipula model tiga rumah yang sudah disiapkan semuanya bagus menurut Lisa---Ares sempat mengajaknya melihat rumah itu secara langsung sebelum pergi ke game center. Lisa tidak masalah tinggal dimana saja. Yang terpenting ia bisa melanjutkan hidup disana, meskipun tidak akan senyaman tinggal di rumahnya sendiri.

"Jadi, aku yang pilih?" tanya pemuda Reigara itu.

"Hm." Lisa hanya berdehem, mengetik balasan pada Vian di ponselnya.

"Beneran terserah?" tanyanya lagi.

"Hmm." Lisa masih fokus pada ponselnya, mengacuhkan ucapan Ares.

Beberapa detik kemudian...

"Res!" Lira beseru marah. Baru saja ia akan menyentuh ikon untuk mengirim pesan, tiba-tiba Ares menyaut ponsel Lisa dari tangan, bergerak menjauh. Pemuda Reigara itu mengerutkan dahi samar, membaca sesuatu di ponselnya.

"Vian? Adek kelas yang suka dateng ke kelas kita?"

"Hm," Lisa menjawab malas, "Itu tetanggaku," terangnya.

Ares mengangguk-anggukkan kepala, ber-oh ria.

"Udah, sini balikin hpnya." Lisa bergerak mengambil hp dari tangan Ares. Tapi memang dasarnya pemuda Reigara itu berniat mengganggu, ia malah menjauhkan tangannya, membuat Lisa tidak bisa menggapai hpnya.

"Pinjem bentar. Semenit."

"Buat apa?" tanya Lisa ketus.

"Nanti tahu sendiri," ujar Ares, bergeser menjauh ke pojok bangku. Pemuda itu mulai mengutak-atik hp Lisa, tersenyum seolah ada banyak ide jahat yang memenuhi otaknya. Lisa menghembuskan napas. Ia tidak punya ide sama sekali apa yang akan pemuda Reigara itu lakukan pada hpnya.

Sebenarnya Lisa santai saja. Tidak ada rahasia besar di hpnya. Isi pesan chatnya hanya dari itu-itu saja; orangtua, teman, dan guru. Galerinya juga kebanyakan hasil screenshot dan jepretan catatan pelajaran yang ketinggalan. Foto dirinya pun bisa dihitung dengan jari. Media sosialnya apalagi, tidak ada yang penting.

"Nih." Ares menyerahkan hp milik Lisa.

Lisa segera menerima hp miliknya, menyipitkan mata ke arah Ares, menatap curiga. Memang sudah seharusnya Lira curiga terhadap Ares sih. Pemuda itu pasti melakukan sesuatu pada hpnya.

Setelah menyentuh beberapa digit nomer sandi, tampilan home langsung terlihat di layar. Lisa melototkan mata, menjerit sedetik kemudian. Ia reflek membuang hpnya ke sembarang arah, ganti melotot tajam ke pemuda di sebelahnya.

"Ubah wallpapernya nggak, Res?!!" seru Lisa.

Ares yang dipelototi hanya tertawa, tidak merasa bersalah. Beberapa orang yang mendengar keributan antara Lisa dan Ares juga langsung menoleh, melengos tidak peduli beberapa detik kemudian. Tidak penting, hanya seaeorang yang sedang menjahili pacarnya, pikir mereka.

"Kenapa? Dedek cicaknya kelewat imut kan? Warnanya masih item."

Sial. Lisa menahan diri agar tidak mengumpat secara langsung. Jika begini terus caranya, Lisa perlu mengganti hp sehari sekali nantinya.

"Pokoknya ganti wallpapernya," ucap Lisa, menahan diri agar tidak meledak. Untungnya ia hanya melihat sekilas wallpaper hpnya tadi.

Ares memungut hp Lisa yang jatuh di tanah, membuka aplikasi kamera, lalu berselfie ria. Setelahnya, tanpa bertanya, Lisa langsung tahu jika pemuda Reigara itu akan menjadikan foto dirinya sebagai wallpaper. Tapi sungguh, itu lebih baik daripada melihat gambar seekor bayi cicak ada di tampilan layar handphonenya. Lisa mendadak merinding mengingatnya.

"Nih, Sa. Jangan diganti. Bisa jadi moodboster paling handal kalau kamu lagi badmood."

Lisq menyeringai jijik, mengambil hp dari tangan Ares. Terbalik. Lisa malah tambah badmood jika melihat foto Ares ada di layar handphone.

Beberapa detik kemudian, keadaan mendadak hening antara mereka berdua. Pemuda Reigara di sebelah Lisa sibuk dengan ponselnya, membalas pesan dari papanya mungkin. Kebalikan dari Ares, Lisa meletakkan hp, memilih mengamati sekitarnya.

Masalah dengan Vian sudah selesai. Tadi pemuda itu bertanya waktu luang Lisa besok, memaksa Lisa memberi waktu untuk mengajarinya. Lisa bilang tidak ada. Tapi mana Vian percaya. Ia tahu Lisa anak rumahan dan bukan makhluk sesibuk itu. Jadi Lisa perlu memberi alasan kuat untuk membuatnya percaya; Lisa harus menginap di rumah teman sampai hari Senin.

Lisa tidak berbohong kan? Alasannya benar. Ia memang akan menginap-atau lebih tepatnya tinggal-di rumah temannya a.k.a. Ares. Hanya perkataan 'sampai hari Senin' saja yang tidak benar, meskipun Lisa sangat berharap hanya sampai hari Senin saja Lisa tinggal bersama pemuda Reigara itu.

Lisa juga tidak tahu Vian akan menyelesaikan prnya sendiri atau meminta bantuan sepupunya nanti. Masalahnya Vian itu terlalu bergantung pada  dalam urusan pekerjaan sekolah. Vela juga, meskipun tidak separah kakaknya. Entahlah. Lisa tidak tahu akan bagaimana nasib mereka berdua jika ia pindah tempat tinggal nantinya. Poor, adik-adik Lisa tersayang.

"Rumah yang paling jauh dari sekolah mau?" Tiba-tiba Ares bertanya, menoleh ke arah Lisa.

Lisa tertegun sejenak, mengingat-ingat rumah yang dimaksud pemuda Reigara di sebelahnya.

"Yang deket hutan sama jarang rumah warga itu?" tanya Lisa memastikan.

Ares mengangguk. "Cocok kan? Jadi nggak ada warga yang curiga dan mikir aneh-aneh," jelasnya. Lisa terdiam, lalu mengangguk paham. Jika dipikir-pikir, perkataan pemuda itu benar juga. Dua remaja-remaji yang tinggal satu rumah... Mampus saja dihujat satu rukun warga nantinya.

"Jadinya yang itu?"

Lisa terdiam sejenak.

"Terserah." Pada akhirnya itu juga ia jawab. Dasar, cewek. Lisa sendiri mengakui cewek memang semenyebalkan itu jika sudah mengucapkan kata 'terserah'. Satu saja pesan Lisa untuk para laki-laki; sabar, ya.

"Fix itu kan? Aku bilang ke papa sekarang," ujar Ares, mengetik balasan untuk papanya. Lisa hanya bisa menghela napas panjang.

"Res."

"Apa?" sahut pemuda Reigara itu, masih fokus menatap hp di depannya. Merasa waktu sudah tepat, Lisa berniat memulai topik obrolan lain. Ada sesuatu yang perlu ia bicarakan pada pemuda itu.

Lisa menghembuskan napas, memantapkan diri untuk berbicara. "Mau janji sesuatu nggak?"

Mendengar ucapan Lisa barusan, atensi Ares langsung teralih. Pemuda itu menoleh ke Lisa, mengerutkan dahi samar. "Janji apa?"

Lisa mengangkat tangan kanannya, memberi jari kelingking. "Please, janji jangan nakutin pakai cicak setelah satu rumah," pintanya. Lisa menelan saliva, berdoa dalam hati agar Ares terketuk hatinya.

Pemuda Reigara itu terkekeh, memutar tubuh sehingga sempurna menghadap Lisa yang ada di sebelahnya. Sepersekian detik kemudian ia ikut memberi jari kelingking, melakukan sesuatu seperti yang Lisa lakukan. "Kamu juga harus janji."

Lisa tertegun sejenak. "Janji apa?"

Ares  mengulum senyum, menatap Lisa tepat di mata. "Promise me. We'll together.... forever."

Lisa mengedipkan mata, menelan saliva. Bukan hanya karena ucapan Ares, melainkan juga karena tatapan pemuda itu yang tak berpindah seinchi pun sedari tadi. Lisa ingin mengalihkan pandangannya ke arah lain, tapi sulit. Rasanya seperti matanya telah terpaku pada sesuatu; netra pemuda di depannya.

Lima detik bersitatap, Ares tiba-tiba menautkan kelingkingnya ke kelingking Lisa, berkata memaksa, "Pokoknya harus janji."

Lisa terperangah, agak terkejut. Kesadaran memenuhi dirinya. Dasar, Ares pemaksa! Ia ingin mengingkari hal itu, tapi ucapan pemuda itu selanjutnya membuat Lisa lupa.

"Tapi aku nggak janji tentang cicak tadi."

"Dasar!" Lisa berseru sebal, menekuk wajah sedetik kemudian. Pemuda Reigara itu malah tertawa seperti biasa.

Lisa menghembuskan napas, menahan kesal dalam dada. Ia tertipu, astaga! Satu pelajaran yang dapat Lisa ambil dari kejadan ini; jangan pernah berbicara serius dengan Ares. Tidak akan bisa!

Bersambung.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel