Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Penagih Hutang

“Wan ... kamu baik-baik saja kan?” tanya Linda.

“Baik, Bu. Ini juga udah dijahit. Kok Ibu ke sini malam-malam? Siapa yang kasih tau?”

“Dokter Rudi yang kasih tau tadi.”

“Oh gitu. Oh ya Bu, kenalkan ini Pak Baskara. Dia pemilik Media Grup lho. Dia orang yang tadi bantu bawa Iwan ke sini.”

Linda melirik sebentar ke arah Baskara, “Oh iya, makasih, Pak.”

“Wan, ini Ibu kamu? Maksud saya, Ibu kandung kamu?” tanya Baskara.

“Iya. Saya putra tunggal Ibu saya.”

“Ayo kita pulang, Wan. Kamu udah bisa pulang kan?”

“Saya yang antar!” ucap Baskara tegas.

“Waaah dengan senang hati, Pak,” ucap Iwan senang.

Linda melihat ke arah Baskara. Dia ingin menolak apa yang diinginkan oleh pria tua di depannya itu. Tapi tatapan Baskara tidak berubah seperti dulu, dia tetap saja bisa mengintimidasi dirinya sejak dulu.

“Erik, siapkan mobil.”

“Baik, Pak.”

Baskara segera pergi meninggalkan ruangan itu terlebih dahulu. Dia sudah sangat geram saat ini. Dia dibohongi bertahun-tahun oleh Linda, mantan istrinya. Dia bertekat akan menyelesaikan semuanya malam ini juga, dia tidak punya waktu lagi.

Iwan keluar dituntun oleh Linda. Mereka segera duduk di kursi belakang mobil yang dikendarai oleh Erik. Mereka segera menuju ke penginapan tempat Baskara menginap.

“Kok kita di sini ya?” tanya Iwan polos saat ada di sebuah kamar penginapan.

Baskara melemparkan sebuah foto di atas meja. Tatapan matanya seolah menyuruh Iwan untuk mengambil foto yang ada di atas meja itu.

Mata Iwan terbelalak saat dia melihat foto yang kini ada di tangannya. Foto yang sama persis dengan yang ada di kamar ibunya yang telah disobek di bagian kepala si pria. Iwan melihat ke Ibunya dan Baskara secara bergantian.

“Apa ini, Bu? Kenapa ada foto kita bersama Pak Baskara?” tanya Iwan pada sang Ibu.

Linda terlihat panik. Mata dua orang yang sangat mirip itu seakan menjepit dirinya saat ini. Mata mengintimidasi Baskara menurun ke Iwan.

“Jelas kan, Linda! Kamu yang membuat ini rumit sekarang,” ucap Baskara.

Linda melihat ke arah Iwan, “Ini ... itu ... foto itu ...,” Linda tidak tahu harus bagaimana memulainya.

“Dia ayah Iwan?” tanya Iwan.

Linda tidak mampu menjawab, dia hanya bisa menundukkan kepalanya.

Pandangan Iwan berpindah ke Baskara. Dia menantikan jawaban datang dari pria yang baru saja di tolongnya itu.

“Kamu putraku. Putra kandungku. Putra penerus Media Grup.”

“Penerus Media Grup? Anda bilang saya penerus Media Grup? Jangan buat saya tertawa.”

“Apa yang lucu? Kamu memang putraku.”

“Kalo memang saya adalah putra Bapak, kenapa Anda baru mencari saya sekarang. Ke mana Anda selama ini? Apa Anda pikir selama ini kami hidup dengan baik seperti Anda? Apa karena kami miskin trus kami akan senang kalau Anda datang, begitu?”

“Tanyakan pada Ibumu. Apa yang dia lakukan selama ini.”

“Bu,” panggil Iwan.

Linda tidak punya alasan. Dia akhirnya menceritakan semuanya. Alasan dia selalu mengajak Iwan berpindah tempat tinggal dan bahkan mengganti nama mereka saat ini.

“Ibu bohong sama Iwan?”

“Sudahlah! Ga usah pake drama di sini. Ikut saya ke kota besok pagi. Kamu harus segera mempersiapkan diri untuk mengambil alih perusahaan,” potong Baskara,

“Maaf, ini tidak akan semudah itu. Masalah ini tidak akan semudah itu diterima.”

“Apa lagi yang kurang, saya sudah berbaik hati untuk memberikan kesempatan ke kamu untuk membuktikan diri kalau ada darah Halim yang mengalir di tubuh kamu, Lex.”

“Kita pulang saja, Wan. Jangan pernah berhubungan dengan orang tua itu lagi. Dia sangat berbahaya. Ayo kita pulang,” ucap Linda.

“Ibu benar, biarpun kita miskin tapi masih punya harga diri. Kita pulang, Bu.”

“Pikirkan lagi. Kamu ini anak Baskara Halim. Hidupmu akan berubah total saat kamu kembali lagi menjadi Alex Halim.”

Iwan yang masih belum bisa menerima kehadiran Baskara dalam hidupnya pun memilih untuk meninggalkan hotel. Dia mengikuti sang ibu pergi dari tempat itu.

Di sepanjang perjalanan pulang, Iwan tidak ingin bicara dengan ibunya. Tangannya sibuk terus berselancar di dunia maya. Dia ingin mengenal tentang Media Grup yang ternyata adalah perusahaan ayahnya. Ayah kandungnya.

“Wan, kamu mau makan dulu?” tanya Linda saat mereka sampai di rumah sederhana mereka.

“Iwan ga laper. Mau langsung tidur aja.”

Iwan segera masuk ke dalam kamarnya. Dia masih ingin meneruskan pencariannya tentang Media Grup.

“Perusahaan raksasa dengan banyak anak perusahaan yang berhasil. Pengaruhnya sampai ke semua Asia. Ini bukan perusahaan main-main. Aku calon penerus perusahaan ini, perusahaan ini tidak boleh jatuh ke tangan orang lain. Aku akan membuktikan pada Herman dan Bambang, kalau aku juga bisa jadi orang kaya!”

“Tapi apa masih bisa aku ambil kesempatan ini? Ah shiit! Aku sudah bosan miskin!” gerutu Iwan kesal sambil memukuli guling tipisnya.

***

DUG

DUG

DUG

Suara gedoran di pintu rumah Iwan pagi ini mengagetkan penghuni rumah itu. Iwan dan Linda yang sedang sarapan pun melihat ke arah pintu.

“Linda! Buka pintunya!”

Terdengar suara yang sangat tidak asing di telinga mereka. Siapa lagi kalau bukan Bang Togar yang hampir tiap hari datang untuk menagih hutang. Iwan segera melangkah ke arah pintu dan membukanya.

“Eeh ada si ganteng rupanya ya. Mana mamakmu hah?” tanya Bang Togar.

“Bisa ga sih kalo ke sini yang sopan dikit,” ucap Iwan tegas.

“Heleeh, macam betul aja kau ini ya. Kalo kau ingin aku sopan dengan mamakmu itu, lunasi hutangmu!”

“Bang, kasih kami tambahan waktu lagi ya. Kemaren Iwan kena musibah, jadi saya belum punya uang lagi hari ini," ucap Linda.

“Eh! Tambahan waktu lagi? Ga tau malu kali kau ini ya, sudah seminggu ini kau minta perpanjangan waktu. Ga mau tau aku lah, bayar pokoknya sekarang!”

“Emang sisa berapa lagi hutang Ibu?”

“10 juta. Itu udah aku banyak kurangi ya. Harusnya lebih dari itu.”

“Bang, kasih kami waktu lagi.”

“Eh, kau sama aja ternyata ya, ganteng. Kan aku udah pernah bilang sama kau ya, harusnya kau mau aja sama ajakan Tante Sonya waktu itu. Pake jual mahal lagi kau ini. Selain badan sama mukamu itu, apa lagi yang bisa kau andalkan hah!”

Iwan mengepalkan tangannya menahan amarah. Dia menghembuskan nafasnya berkali-kali untuk mencoba menstabilkan emosinya.

Dia memang pernah hampir saja dijual ke seorang tante kaya untuk melunasi hutangnya. Togar membohonginya dengan rayuan akan diberikan pekerjaan sebagai sopir.

“Heh Lestari, suruh aja si Iwan ini jual dirinya ke tante kaya itu. Cepat kaya kau nanti. Ga ada hutang pula. Lagi pula apa yang bisa diandelin dari Iwan ini.”

“Eh Bang, yang enak ya kalo ngomong!”

“Ga usah banyak gaya lah kau Iwan. Sok suci kali kau ini lah.”

“Brengsek!” Iwan mengangkat tinjunya bersiap untuk menghajar mulut kurang ajar Togar.

“Berapa hutangnya!”

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel