Pustaka
Bahasa Indonesia

Sang Pewaris

238.0K · Ongoing
Alleta Mei
216
Bab
7.0K
View
9.0
Rating

Ringkasan

Kehidupan Alex berubah total saat dia membantu menyelamatkan seseorang dari insiden perampokan. Alex yang biasanya selalu dipandang remeh karena miskin, kini kehidupannya membuat semua orang tercengang. siapakah sebenarnya orang yang diselamatkan oleh Alex itu? Dan mampukah Alex membalas semua penghinaan yang selama ini sudah dia terima?

actionTuan MudaBillionaire

Perampokan

“Ngapain kamu ke sini!”

Terdengar suara seorang pria paruh baya dari belakang Iwan. Pemuda itu segera menoleh ke arah sumber suara.

Ada Herman dan juga seorang pemuda bernama Bambang yang baru saja turun dari mobilnya. Kedua orang itu segera mendatangi Iwan yang berdiri di depan rumah Herman.

“Saya mau ketemu Rani, Om. Dia tadi titip martabak sama saya,” ucap Iwan sambil menunjukkan plastik yang ada di tangannya.

“Martabak? Cih, ga malu apa kamu ke sini cuma bawa martabak. Harusnya kamu ke sini bawa buah mahal kaya gini. Belinya di supermarket, yang kaya gini yang bikin Rani seneng tau ga,” sahut Bambang sambil menunjukkan barang bawaannya.

“Bener itu. Harusnya kamu kaya Bambang. Orang miskin kaya kamu kok mau deketin anakku yang bunga desa. Ga punya kaca apa kamu itu di rumah, hah!”

“Maklum lah, Om. Otak orang miskin itu emang rada beda sih. Aneh aja dia bisa jadi sarjana, padahal kan kuliah itu mahal ya. Darimana ibunya yang janda itu bisa dapet duit buat sekolahin dia.”

“Jaga ucapan kamu, Bambang! Jangan bawa nama Ibuku,” ucap Iwan tegas.

“Yang dikatakan Bambang semuanya bener kok. Ibumu itu cuma janda tua penjual gorengan. Mana bisa dia sekolahkan kamu sampe kuliah.”

“Aduh, Om. Kaya ga tau aja gimana pergaulan sekarang. Dia pasti jual tampang dia yang pas-pasan itu ke orang kaya. Ya imbalannya dia kudu dikuliahkan. Kalo dia emang pinter, pasti banyak perusahaan yang mau sama dia.”

“Iya juga ya. Heh Iwan! Mau ngapain lagi kamu di sini, cepat pulang sana dan jangan pernah dateng ke rumah ini lagi, jijik saya liat kamu!”

“Tapi Om, saya ke sini cuma mau ketemu Rani sebentar aja.”

“Ga ada! Mau kamu kasih makan apa anak saya kalo kamu cuma ngandelin motor butut kamu itu.”

“Mas Iwan,” panggil Rani saat dia keluar rumah.

“Ran, ini ....”

“Halo Rani, kamu pasti udah nungguin aku ya,” ucap Bambang sambil tersenyum lebar.

Tangan Bambang menampik tangan Iwan yang membuat kotak martabak di tangan Iwan terjatuh. Kaki Bambang sepertinya juga sengaja menginjak kotak martabak itu saat melangkah ke rumah Rani bersama Herman.

“Iwan, kamu pulang aja sana dan jangan pernah kembali lagi ke sini!” ucap Herman.

“Wan, martabaknya bawa pulang aja. Rani alergi makanan murah. Eh, jatuh keinjek ya. Maaf tadi ga sengaja, tanganku suka reflek kalo ada barang murah di depanku. Tapi kayanya masih ada yang bisa diambil tuh. Pilihin buat oleh-oleh Ibumu,” ucap Bambang sambil tertawa.

Iwan sangat murka saat ini. Dia merasa sudah diinjak-injak oleh Bambang. Dia hanya bisa menggenggam tangannya menahan amarahnya yang sudah ingin meledak rasanya.

Apa lagi dia melihat Herman dengan paksa menyuruh Rani masuk ke dalam rumah lalu menutup pintu rumah itu tanpa memedulikan Iwan. Iwan memilih untuk pulang agar dia tidak berbuat nekat malam ini.

“Woy! Apa yang kalian lakukan!” teriak Iwan.

Motor Iwan berhenti di jalan saat melihat ada seorang pria tua perlente yang sedang di rampok oleh tiga orang preman. Iwan yang sedang dalam keadaan marah butuh tempat pelampiasan.

“Eh brengsek! Ngapain lu ikut campur, mau nyari mati lu, hah!”

“Abisin aja udah, Bos!”

“Udah bosan idup dia kayanya.”

Iwan turun dari motornya dan mendekati mereka, “Sini kalian maju satu-satu. Jangan main keroyokan. Kaya bencong aja kalian!”

“Brengsek, beneran bosen idup dia. Kalo lu mati malam ini jangan nyesel lu, anying!’

Bug!

Bug!

Bruuuk!

Pukulan penuh rasa amarah Iwan mampu menjatuhkan lawan yang badannya lebih besar hanya dengan beberapa kali pukulan saja. Iwan masih melihat ke arah musuhnya yang sudah terduduk jatuh.

“Brengsek! Lawan gw!” ucap satu preman lagi.

Namun saat pertarungan antara dua orang itu akan terjadi, salah satu preman yang ada di belakang Iwan sedang bersiap menusuk Iwan dari belakang.

“Awas belakangmu!” teriak pria tua itu.

Iwan yang mendengar suara peringatan itu pun segera berbalik ke belakang. Tapi sayangnya semua sudah terlambat, hunusan senjata itu lebih cepat dari pada reaksi Iwan.

Jleeb!

“Mampus lu! Ayo cabut!” ucap orang yang menusuk Iwan.

Tiga orang preman itu segera pergi meninggalkan Iwan. Mereka sudah tidak peduli lagi dengan misi perampokan yang ingin mereka lakukan tadi. Kabur adalah hal terpenting sekarang bagi mereka.

“Tolong dia, Pak Budi,” ucap si pria tua pada sopirnya

“Baik, Pak.”

Pak Budi segera mendatangi Iwan yang sudah terjatuh di tanah sambil memegangi luka tusukan di perutnya. Darah sudah mengalir memberi warna pada kemeja yang dipakai Iwan saat ini.

“Mas, ayo saya antar ke Dokter. Ini harus segera diobati.”

“Tolong saya, Pak,” ucap Iwan lemah.

Pak Budi segera memapah Iwan masuk ke dalam mobil mewah majikannya. Dia membantu Iwan masuk ke dalam mobil lalu segera menjalankan mobil ke klinik terdekat.

Pria tua yang bernama Baskara itu melihat ke arah jok belakang mobilnya. Iwan tampak lemah dan sesekali merintih menahan perih di perutnya. Mobil berhenti di sebuah klinik yang letaknya tidak jauh dari tempat kejadian tadi.

“Dokter, tolong ada yang luka ini,” ucap Baskara saat dia masuk ke ruang dokter.

“Mana yang sakit, bawa masuk aja.”

Pak Budi segera membawa masuk Iwan yang dia papah. Iwan kemudian ditidurkan di atas tempat tidur periksa dengan bantuan Baskara.

“Lho, kamu kan Iwan. Kamu kenapa ini? Pak tolong buka bajunya ya,” pinta dokter.

“Baik, Dok.”

Baskara dan Budi segera saja melepaskan baju yang di kenakan Iwan. Baskara terdiam saat dia melihat ada tanda lahir yang sangat dia kenali di punggung Iwan. Dia tertegun bahkan menyentuh tanda lahir itu.

‘Ini anak Linda,’ Baskara melihat ke arah Iwan, ‘Apa benar dia anak Linda?’ ucap Baskara dalam hati.

“Permisi bentar, Pak,” suara Dokter segera membuyarkan lamunan Baskara.

“Oh iya, Dok. Silahkan.”

“Ini tadi kenapa, Wan. Kok kamu bisa luka kaya gini. Saya sudah menghubungi ibumu. Bentar lagi dia ke sini.”

“Makasih, Dok.”

Sementara dokter bertanya pada Budi tentang kejadian yang menimpa Iwan, Baskara memilih keluar klinik. Asistennya sudah datang dan menunggu di depan.

“Apa yang kamu temukan sekarang?” tanya Baskara.

“Maaf, Pak. Tapi Bu Linda sudah pindah rumah lagi. Dan saya curiga Bu Linda mengubah nama panggilannya di sini. Tidak ada orang yang tahu siapa Bu Linda sampai saya menunjukkan fotonya.”

Baskara menghembuskan napasnya, “Di dalam ada pemuda yang memiliki tanda lahir yang sama dengan Alex.”

“Tanda lahir yang sama? Tapi bukankah Alex putra Bapak sudah meninggal saat dia berumur 3 tahun?”

“Entah lah. Aku juga ga tau. Aku harus ketemu Linda. Aku harus tahu tentang anakku. Apa benar anakku sudah meninggal.”

Baskara datang ke kampung ini untuk mencari mantan istrinya yang kabur dengan membawa putranya. Putra kandung semata wayangnya karena di pernikahan kedua, Baskara tidak memiliki anak.

Malam semakin larut. Baskara ingin beristirahat di penginapannya. Dia masuk dulu ke dalam untuk melihat keadaan Iwan. Melihat Iwan sudah lebih baik setelah mendapatkan perawatan, Baskara memberanikan diri bertanya pada pemuda itu.

“Nama kamu siapa?”

“Saya Iwan, Pak.”

“Kamu tinggal sama orang tuamu?”

“Tinggal sama Ibu aja, ayah sudah lama meninggal.”

“Nama Ibumu siapa?”

“Lestari.”

‘Lestari? Linda Lestari. Apa dia benar anak Linda?’ ucap batin Baskara.

Tiba-tiba terdengar suara gaduh di depan klinik. Terdengar suara seorang perempuan yang memanggil nama Iwan.

“Iwan ... Iwan ....”

Seorang wanita paruh baya masuk ke dalam ruang pemeriksaan. Wanita itu tampak sangat panik saat ini.

“Iwan, kamu ....”

Tatapan Baskara terarah tajam pada sosok wanita yang ada di hadapannya. Dia sangat kaget dengan apa yang dilihatnya. Demikian juga dengan wanita yang baru saja masuk dengan nafas yang tersengal.

‘Linda!’

‘Baskara!’