1. Dominasi
Semilir angin dingin bertiup lembut menerpa teras pondok. Pondok kecil itu terletak di tengah kebun yang cukup luas. Farhan tengah beristirahat menunggu waktunya makan siang. Dia duduk di kursi kayu yang ada di teras pondok itu sambil merokok.
Pondok kayu itu hanya terdiri dari teras dan satu ruangan di dalam. Ruang yang tak terlalu besar itu berisi meja dapur tempat memasak air untuk membuat kopi dan hamparan tikar tempat dia biasa makan siang dan tiduran di saat tubuhnya lelah. Di teras, terdapat empat buah kursi dan satu meja untuk bersantai dan ngobrol. Dia biasa ngobrol dengan istrinya, Kirana di sana. Terkadang juga dia ngobrol dengan para pekerja yang kebetulan mampir ke sana.
Meskipun pondok itu sederhana, Farhan merasa betah dan nyaman beristirahat di sana di sela-sela pekerjaannya mengurusi sawah dan kebun yang sudah seperti miliknya sendiri.
Sebetulnya masih agak lama waktunya makan siang tapi Farhan merasa lelah setelah berkeliling di kebun memeriksa dan mengarahkan para pekerja yang sedang mengerjakan kebun cabai dan jeruk. Setelah makan siang, dia masih harus ke kebun kopi.
Farhan memandang hamparan kebun yang setahun ini sudah dikelolanya. Kedatangannya di desa ini awalnya hanya bertualang dengan motor adventure-nya ke berbagai daerah pelosok desa. Itu kerap dilakukannya untuk melupakan luka perceraiannya dengan mantan istrinya. Ketika dia sampai ke desa di kaki bukit itu, entah mengapa dirinya merasa nyaman dengan suasana yang ada di desa itu. Udara sejuk dan keasrian desa itu serta penduduknya yang masih tradisional membuat Farhan betah.
Tanpa sengaja, Farhan bertemu dengan Narto yang merupakan orang terpandang di desa itu. Kakek buyutnya adalah generasi pertama penghuni desa itu. Narto adalah anak tunggal dari bapaknya yang juga anak tunggal. Keluarga Soediro turun temurun hanya memiliki satu anak sehingga Narto tak memiliki kerabat. Saat itu, tinggal dia seorang pewaris keluarga Soediro. Tak heran jika Narto mewarisi tanah yang luas berupa sawah dan kebun.
Saat itu, Narto mengajak Farhan ngobrol di kebunnya yang letaknya tak jauh dari lokasi mereka bertemu. Dari obrolan mereka, ada rasa kecocokan di antara mereka untuk bekerja sama. Farhan yang mantan dosen fakultas pertanian memberikan masukan kepada Narto untuk melakukan diversifikasi tanaman di kebunnya dan dikelola secara lebih modern.
Narto lalu menawarkan kerjasama dengan Farhan jika dia berminat untuk mengelola kebun Narto secara bersama-sama dengan bagi hasil. Farhan yang sedang tak punya pekerjaan menerima tawaran Narto asal dia diberi tempat tinggal di desa itu. Narto lalu menawarkan paviliun di rumahnya untuk ditempati Farhan.
Setelah keduanya bersepakat, Narto mengajak Farhan mampir ke rumahnya. Mereka berboncengan dengan motor Farhan. Narto ingin menunjukkan paviliun rumahnya yang bakal ditempati Farhan.
Paviliun itu cukup luas dengan beberapa perabotan sederhana. Narto berjanji akan segera mengganti kasur yang sudah usang dengan yang baru agar Farhan merasa nyaman. Ruangan paviliun itu juga akan segera dibersihkan sebelum Farhan menempatinya.
Setelah melihat paviliun yang bakal ditempatinya dan berkenalan dengan keluarga kecil Narto, Farhan berpamitan pulang ke Solo, tempatnya tinggal sementara. Perjalanan dari desa itu ke Solo tak terlalu jauh. Hanya butuh waktu sekitar satu setengah jam perjalanan.
Rumah yang ditempatinya di Solo adalah rumah milik Gayatri, anak angkatnya. Dulu Gayatri adalah mahasiswi kesayangannya yang dianggapnya sebagai anaknya sendiri. Ada hubungan spesial antara Farhan dengan Gayatri. Perempuan itu bukan sekedar anak angkatnya melainkan sekaligus budak nafsunya.
Setelah lulus kuliah, Gayatri menikah dan diboyong suaminya ke Solo. Dia memiliki usaha sendiri di samping usaha suaminya. Gayatri menggunakan ilmu agrobisnis yang dipelajarinya waktu kuliah dan pengalamannya mengikuti Farhan membina usaha agrobisnis di masyarakat pedesaan.
Perceraian Farhan membuatnya merasa sudah merusak reputasinya di kotanya. Farhan tak sanggup lagi tinggal di kota tempat tinggalnya. Dia lalu menghubungi Gayatri yang dengan senang hati menyediakan tempat tinggal untuk Farhan, ayah angkatnya. Dari situlah petualangan Farhan di Jawa Tengah dimulai.
* * * * *
Bunyi langkah kaki menaiki tangga pondok. Farhan tersadar dari lamunannya. Dia menoleh ke arah tangga. Tampak istrinya mengumbar senyum manis di wajah cantiknya. Di belakangnya tampak Surti mengiringi putrinya.
"Mas." Kirana menganggukan kepalanya dengan hormat sambil membungkukkan tubuhnya. Dia lalu bersimpuh di lantai teras pondok.
Surti yang mengiringi putrinya mengantar makan siang Farhan duduk di kursi tak jauh dari Farhan.
Farhan mengangkat dagu istrinya agar menatap wajahnya.
"Bikinkan Mas kopi," ujar Farhan.
Kirana mengangguk lalu bangkit dari duduknya. Dia mengambil susunan rantang plastik yang diletakkan ibunya di meja lalu membawanya ke dalam pondok. Setelah dia meletakkan rantang di meja dapur, dia mulai sibuk bersiap untuk memasak air dan membuatkan kopi suaminya.
Farhan menarik tangan Surti mengajaknya masuk pondok. Dia menempatkan Surti berjalan di depannya. Setelah mereka berada di dalam pondok, dipeluknya tubuh Surti dari belakang. Dia tak peduli dengan istrinya yang sedang membelakangi mereka berdua di dapur sana. Diremas-remasnya gemas buah dada ibu mertuanya itu.
Surti melenguh. Dia tak menolak perlakuan Farhan terhadapnya.
Farhan lalu membalikkan tubuh Surti menghadap ke arahnya. Dilumatnya bibir Surti dengan penuh nafsu. Surti membalas dengan tak kalah bernafsu.
Getaran di lantai papan pondok membuat Kirana menoleh. Dilihatnya suaminya tengah mencumbui ibunya. Dengan cepat Kirana memalingkan mukanya kembali menghadapi pekerjaan yang sedang dilakukannya. Dia pura-pura tak tahu dengan apa yang terjadi di belakangnya. Itu kedua kalinya dia memergoki suaminya sedang mencumbui ibunya di pondok itu.
Setelah selesai membuat kopi, dia menoleh sejenak ke arah suami dan ibunya. Mereka sedang duduk di tikar dan sudah tak bercumbu lagi. Kirana lalu mengantarkan kopi ke meja teras pondok. Setelah itu diambilnya ember kosong lalu pamit pada suaminya untuk mengambil air ke sungai.
Farhan buru-buru menerkam Surti saat bunyi langkah kaki Kirana menjauhi pondok. Disingkapkannya ke atas kain Surti hingga tampaklah bagian bawah tubuh Surti yang indah tanpa celana dalam.
Surti sudah paham kemauan menantunya. Dia sengaja tak memakai celana dalam tadi. Mengerti apa yang dikehendaki menantunya, dia memposisikan tubuhnya menungging membelakangi Farhan. Direnggangkannya kedua kakinya hingga kemaluannya tampak menantang siap untuk digauli.
Farhan sudah menurunkan celana berikut celana dalamnya. Kemaluannya sudah mengacung keras siap menghujam kemaluan Surti. Diarahkannya kemaluannya ke milik mertuanya. Setelah kedua tubuh itu menyatu, kedua tangannya memegang pinggul Surti lalu mulai bergerak dengan cepat. Mereka tak punya waktu lama untuk bersenggama karena Kirana akan segera pulang ke pondok setelah selesai mengambil air.
Sementara itu, Kirana sengaja memperlambat langkahnya menuju sungai. Sebenarnya sungai itu letakknya tak begitu jauh dari pondok, tapi firasat Kirana merasakan bahwa suaminya sedang ingin mencumbui ibunya. Sesampainya di sungai, Kirana duduk menatap aliran air jernih dari bukit yang mengalir cukup deras. Tangannya bermain di sejuknya air.
Farhan masih berpacu bersama Surti. Farhan merasakan kontraksi bagian tubuh Surti semakin kuat. Dia tahu tak lama lagi Surti akan mencapai klimaksnya. Mulut Surti mulai mendesis-desis merasakan kenikmatan dalam selangkangannya. Dia sudah menjelang klimaksnya. Desahannya tertahan.
Tubuhnya mengejang. Kepalanya terangkat dan mulutnya terbuka merasakan puncak kenikmatan yang baru diraihnya. Otot-otot bagian tengah selangkangannya berkedut-kedut keras.
Farhan tak mau membuang waktu. Dipercepatnya genjotannya dalam tubuh Surti. Dia juga sudah hampir mendapatkan orgasmenya. Ejakulasinya sudah di ujung. Rasa geli di pusat sensitifnya sudah tak tertahankan. Satu hentakan keras mengakhiri genjotannya.
Farhan melenguh pelan.
Ditekannya bagian tubuhnya sedalam mungkin di rongga selangkangan Surti. Spermanya menembak kencang berkali-kali. Napasnya memburu. Peluhnya bercucuran.
* * * * *
Kirana melangkah perlahan menuju pondok. Tangan kanannya menjinjing ember berwarna merah yang berisi air. Kakinya menapak menaiki tangga kayu pondok. Bunyi langkah kakinya terdengar sampai ke dalam pondok itu.
Ketika dia masuk ke pondok, didapatinya suaminya sedang mengobrol dengan ibunya. Keringat masih tampak mengucur di wajah suaminya demikian juga ibunya. Kirana bisa menebak apa yang baru saja terjadi. Setelah tersenyum dan mengangguk pada suaminya, dia melangkah ke dapur mengantarkan ember berisi air yang dibawanya.
Dia lalu sibuk mempersiapkan makan siang mereka. Dituangkannya air minum ke dalam tiga gelas yang disiapkannya. Diisinya nasi ke dalam piring lalu menyodorkan ke hadapan suaminya, ibunya, dan untuk dirinya sendiri. Setelah semuanya siap, mereka lalu makan bersama.
Mereka biasa makan bertiga di pondok itu. Narto biasanya makan siang di rumah karena kesibukannya sehari-hari adalah mengurusi ternak ayam petelur dan ayam potong yang lokasinya di belakang rumah mereka. Setelah menyiapkan makan siang bapaknya, Kirana lalu ditemani ibunya mengantarkan makan siang ke pondok suaminya di kebun.
Setelah makan siang selesai, Kirana membereskan piring dan gelas bekas mereka makan lalu mencucinya dengan air yang tadi diambilnya di sungai. Suami dan ibunya ngobrol berdua di teras.
Kirana menyusul suami dan ibunya ke teras. Dia sudah siap untuk berpamitan pulang pada suaminya. Farhan bangkit dari duduknya ketika istrinya muncul. Dikecupnya bibir istrinya ketika Kirana berpamitan untuk pulang. Kirana tersenyum gembira mendapatkan perlakuan mesra dari suaminya. Wajah itu tampak polos dan tak menampakkan kemarahan sama sekali meski dia tahu apa yang telah dilakukan suaminya tadi pada ibunya. Kirana telah menerima itu sebagai takdirnya.
