CURHAT YANG SIA-SIA
Dokter Megan menunggu kelanjutan kalimat Fachri tentang suaminya. Di sisi lain, Yuli juga penasaran sebenarnya apa yang ingin disampaikan oleh Fachri. Rahasia apa yang dimiliki oleh Baim. Jangan-jangan itu soal....
"Telah sukses sebagai seorang pria dengan menikahi wanita sempurna seperti dirimu. Terus terang, kami berteman lama dan aku tahu dia orang yang sangat baik," lanjut Fachri.
"Ya ampun, kukira apa? Kamu menakuti Meggy ku sayang," omel Yuli pada Fachri, tetapi di dalam hatinya ia merasa lega karena ternyata bukan hal buruk yang didengar olehnya.
"Oke lah! Aku harus pulang, anakku menunggu," sela Dokter Megan. Ia agak kesal karena dalam mood yang buruk, Yuli dan Fachri malah mempermainkannya meskipun bermaksud bercanda. Akan tetapi, ia benar-benar sedang tidak ingin bercanda apalagi soal suaminya.
Dokter Megan ngeloyor ke luar dari rumah Yuli. Ia tak lagi menghiraukan panggilan Yuli maupun Fachri yang hendak memintanya untuk duduk dan makan camilan.
Sesampainya di rumah. Putranya dan suaminya yang sudah selesai makan malam kini tengah main Playstation di ruang keluarga. Ayah dan anak itu tampak begitu akrab dan bersenang-senang. Melihat Baim sangat menyayangi Brandon rasanya tidak mungkin jika suaminya itu bermain-main dengan rumah tangga mereka karena itu sudah pasti akan menyakiti anak lelaki itu.
"Brandon, ini sudah larut. Ayo, tidur!" perintah Dokter Megan pada putranya.
"Sebentar, Ma! Game nya sebentar lagi selesai," tolak Brandon masih melihat ke arah layar televisi.
"Pergilah tidur, Nak. Jangan buat mamamu menunggu," bujuk Baim mulai meletakkan stik Playstation.
"Oke, Pa!" seru Brandon yang langsung patuh pada Baim.
Anak lelaki itu lantas berlari menghampiri sang ibu. Keduanya pun naik ke lantai dua, ke kamar Brandon.
Dokter Megan pun menyuruh putranya untuk melakukan aktivitas sebelum tidur seperti menggosok gigi, mencuci muka, dan berdoa. Setelah mematikan lampu kamar sang anak. Dokter Megan duduk di sofa depan televisi di sisi suaminya.
"Mas belum ngantuk?" tanya Dokter Megan pada suaminya.
"Sebentar lagi bolanya akan mulai. Aku mungkin akan begadang malam ini. Kamu tidur saja dulu," jawab Baim yang malah menyuruh istrinya itu untuk pergi tidur. Ia tahu jika istrinya besok harus pergi ke rumah sakit pagi-pagi sekali.
"Apa mau kubuatkan kopi?" Dokter Megan bertanya.
"Boleh. Terima kasih, Sayang," jawab Baim lalu mengelus pipi Dokter Megan.
Meninggalkan ruang keluarga. Dokter Megan mulai meracik dan menyeduh kopi di dapur. Saat menunggu air mendidih, fokusnya teralihkan pada ponsel suaminya yang sedang diisi daya di sudut kitchen set.
Sebenarnya ia tidak ingin seposesif ini sampai harus membuka HP Baim secara diam-diam. Akan tetapi, dorongan untuk mengetahui sesuatu begitu kuat. Dokter Megan menoleh ke sana ke mari memastikan keadaan aman sebelum mengambil HP tersebut.
Ragu-ragu, HP tanpa password itu akhirnya ia nyalakan. Pertama, ia mengecek bagian galeri. Foto dan video di sana hanya ada gambar dirinya, suaminya, dan putra mereka. Bahkan, wallpaper HP Baim adalah foto bersama Dokter Megan berpose mesra. Galeri pun dinyatakan aman tidak ada yang mencurigakan.
Kemudian Dokter Megan beralih ke fitur chat, seperti WhatsApp, telegram, inbox dan tidak ada chat mencurigakan. Yang ada justru chat darinya berada paling atas karena disematkan yang berarti dianggap sangat penting oleh Baim. Dengan demikian fitur chat juga aman sentosa.
Dokter Megan tidak langsung lega. Masih ada rasa mengganjal. Dan saat hendak meletakkan HP itu kembali, tiba-tiba ada email masuk.
"Kami harap Anda menikmati masa-masa tinggal di Hotel Honeymoon. Kami menantikan kunjungan Anda selanjutnya...."
Deg. Hotel Honeymoon?! Apa orang yang sedang melaksanakan perjalanan bisnis cocok dengan hotel romantis seperti itu? Hati Dokter Megan jadi tidak karuan lagi.
"Sayang!" seru Baim dari ruang keluarga.
"Iya, Mas!" sahut Dokter Megan.
"Apa kopinya belum?" tanya Baim.
"Iya, Mas! Sebentar lagi," jawab Dokter Megan.
HP segera diletakkan. Dokter Megan segera menyeduh kopi untuk suaminya. Setelah meletakkan kopi dan kue di depan Baim, ia pun pamit untuk tidur lebih dulu.
Hari berikutnya....
Siang itu, Dokter Megan yang telah keluar dari ruang prakteknya karena pasien terakhir sudah selesai ditangani, ia pergi menemui rekannya sesama dokter. Seorang wanita di poli umum lainnya bernama Dokter Rasya yang tidak lain dan tidak bukan adalah sahabat suaminya yang selama beberapa tahun ini juga menjadi sahabatnya.
Dokter Megan menceritakan kepada Dokter Rasya tentang temuan sehelai rambut panjang berwarna blonde di jaket suaminya. Dua hari ini, ia benar-benar tidak bisa hidup dengan tenang. Makan, tidur, bekerja selalu saja kepikiran.
"Rambut?!" kejut Dokter Rasya usai mendengar cerita dari Dokter Megan.
"Iya, dan aku menemukannya di jaket suamiku," jawab Dokter Megan.
"Ya ampun, Megah. Hahaha! Oops, sorry sorry. Baim selingkuh? Nggak mungkin. Gila aja, dia itu bucin setengah mati sama kamu. Semua orang yang punya mata juga tahu itu," ujar Dokter Rasya yang malah menertawakan sikap paranoid Dokter Megan perihal sehelai rambut saja.
"Aku juga berpikir begitu. Tapi aku terus kepikiran," jujur Dokter Megan tampak jelas dari raut wajahnya yang kuyu dan sayu serta kurang fokus.
"Pertama, Baim nggak suka wanita dengan rambut yang diwarnai. Aku tahu itu karena dulu dia pernah punya pacar dan dia putus dengan pacarnya itu hanya karena pacarnya mewarnai rambut," bela Dokter Rasya terhadap suami Dokter Megan yang sudah ia kenal sangat baik sejak kecil dan bahkan keduanya bersekolah di sekolah yang sama sedari taman kanak kanak sampai sekolah menengah atas.
Penjelasan Dokter Rasya untuk memberikan alibi pada Baim ternyata tidak lantas membuat Dokter Megan lega. Ia tidak yakin kalau suaminya itu masih saja bersikap impulsif seperti zaman sekolah atau kuliah dulu.
"Kamu percaya feeling wanita terkadang benar, nggak? Aku merasa ini bukan sekedar rambut yang kebetulan menempel di jaket Mas Baim," bantah Dokter Megan masih yakin pada apa yang ia curigai.
"Tapi itu kemungkinan yang kupikirkan. Bisa saja, kan? Namanya sehelai rambut bisa terbang dan menempel tanpa permisi," jawab Dokter Rasya kurang lebih seperti yang dipikirkan dan dikatakan oleh Yuli tadi malam.
"Tetangga ku, Yuli. Dia juga punya pelembab bibir yang sama. Dia juga baru kembali dari luar kota," tambah Dokter Megan masih saja menggiring opini kemungkinan suaminya telah selingkuh hanya saja ia tidak tahu siapa wanita yang menjadi selingkuhan suaminya.
"Apa?!" sentak Dokter Rasya.
"Kamu terkejut kan?" Dokter Megan berakhir. Akhirnya, sahabatnya ini berpihak padanya.
Sayangnya tidak begitu. Dokter Rasya justru menganggap kecurigaan Dokter Megan sudah melewati batas.
"Terkejut bukan soal pelembab bibir. Tapi aku nggak menyangka kamu mencurigai tetangga mu sendiri. Megan, Yuli itu sebentar lagi akan menikah dengan Fachri, dan Fachri itu sahabat Baim. Nggak mungkin lah ... astaga, kamu udah kelewatan." Dokter Rasya mulai agak kesal, tapi berusaha untuk tidak menunjukkannya secara langsung. Bagaimana juga sahabatnya itu datang untuk didengar olehnya, bukan untuk berdebat dengan dirinya.
"Coba kamu lihat dari sudut pandang sebagai aku, Sya," pinta Dokter Megan ingin dimengerti. Sejak kemarin Yuli tidak memahami kecemasannya dan sekarang Dokter Rasya juga begitu.
"Aku memahami kamu, loh! Sungguh. Justru yang perlu kamu lakukan adalah memahami suami mu sendiri. Kalian sudah 5 tahun berumah tangga. Selama itu pula dia memujamu. Bisa-bisanya sekarang kamu mencurigai pria sebaik Baim," jawab Dokter Rasya.
"Kamu bicara membela sahabatmu," komplain Dokter Megan.
"Bukan begitu, Megan. Kamu juga adalah sahabat ku. Tapi, aku, Fachri dan Baim, kami berteman sejak kecil. Aku berani jamin kalau Baim adalah pria yang setia," bujuk Dokter Rasya tidak ingin sahabatnya ini merasa sendirian.
Dokter Rasya segera sadar kalau wanita di hadapannya saat ini sedang dilanda kecemasan dan kecurigaan. Candaan apa pun tidak akan mempan. Akan tetapi, ia tahu apa yang seharusnya dibutuhkan oleh sahabatnya ini, yaitu istirahat dan bila perlu bicara dengan seorang psikiater.
"Jadi...?" tanya Dokter Megan.
"Jadi, istirahat lah, Megan. Buat surat cuti dan berlibur lah. Aku tahu kamu bekerja sangat keras akhir-akhir ini," jawab Dokter Rasya.
Kemudian telepon di atas meja Dokter Rasya berdering. Ia segera menjawab telepon tersebut dan ternyata ia harus meninggalkan ruang praktek karena ada panggilan ke resepsionis. Tapi, ia juga masih belum lega meninggalkan sahabatnya yang masih saja terlihat begitu galau.
Bersambung....