Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

BAB 2

HAPPY READING

***

Dokter Steven adalah dokter paling berbakat di rumah sakit ini. Setelah ia membawa profil dokter Steven, akhirnya ia tahu bahwa dokter Steven lulusan dari Universitas Indonesia, lalu menyelesaikan spesialis bedah sarafnya di Universitas New South Wales, Australia, pengalamannya 5 tahun di rumah sakit ini sebagai dokter spesialis bedah saraf. Umumnya dia banyak menangani penyakit seputar mikrodisektomi, elektromiografi, elektroensefalogram, lumbar puncture, seputar stroke, dan pengobatan Parkinson. Sebenarnya dia cukup terkenal di Jakarta sebagai dokter hebat jika dikalangan dokter. Tapi tetap saja, sebagai orang awam yang bukan dari kalangan medis belum terlalu kenal siapa dokter Steven.

Kecuali dokter-dokter yang sering di undang di TV, misalnya dokter Boyke, atau dokter Reisa yang sering diundang diberbagai acara. Ia melihat lagi sebuah artikel di branda itu terdapat nama Dokter Steven Louise. Sekarang ia tahu nama kepandangan pria itu. Ia lalu membaca secara fokus.

Dokter Steven Louise

Beliau adalah dokter muda ternama, lulusan Universitas Indonesia, seorang dokter yang dinilai killer karena karakternya yang keras, bahkan beliau sendiri mengakui akan sikap kerasnya kepada pasien. Hingga sikap kerasnya menjadikan nama Dr. Steven banyak terdengar di masyarakat. Namun dengan sikapnya tersebut, di tambah dengan kejujuran dan profesionalitasnya di dunia kedokteran membuat orang kagum atas prestasinya. Dia seorang dokter yang mempunyai keahilian di bidang ahli bedah, dan pernah mendapatkan penghargaan di sebuah organisasi internasional dengan sebutan ‘pisau bedah’.

April mengigit bibir bawahnya, ia tidak menyangka bahwa dokter tampan itu tidak hanya memiliki wajah dan postur tubuh yang rupawan, namun juga dia memiliki otak yang cemerlang. Pantas saja kedua orang tuanya mengagumi pria itu. Pintu ruangan terbuka, ia melihat ke arah depan. Ia menatap adiknya Nara yang berada di sana, dia baru masuk sambil membawa buket bunga dan parcel buah.

“Siang ma, pa,” ucap Nara, dia meletakan parcel buah itu di meja dan lalu meletakan bunga di vas bunga.

“Siang juga sayang,” ucap mama, memandang putri bungsunya.

Mama memperhatikan penampilan Nara, dia mengenakan kemeja berwarna coklat dan rok span berwarna merah maroon, rambut panjangnya dibiarkan terurai,

“Gimana kantor hari ini sayang?” Tanya mama, karena ia tahu kalau kedua putrinya saat ini sedang meneruskan usaha suaminnya dan mereka berdua anak yang cerdas dan dapat diandalkan.

“Yah, seperti biasa mi. Papi besok udah pulang?”

“Iya.”

Nara tersenyum, “Syukurlah kalau gitu.”

Nara melirik saudaranya yang sedang duduk di sofa, ia melihat infus yang berada di tangan papi masih terpasang.

“Ternyata di Jakarta ini, banyak juga ya dokter hebat,” ucap Nara, “Siapa kemarin yang operasi papi? Dokter Steven?”

Mama tersenyum, “Iya, dokter Steven.”

“Katanya ganteng ya?” Ucap Nara.

“Kamu udah kenal dokter Steven?”

“Belum.”

“Tadi sempat ngobrol sih sama beberapa staff di luar, katanya dokter Steven itu tampan banget,” ucap Nara sambil terkekeh.

“Tanya aja sama April, dia udah kenalan langsung,” ucap mama sambil terkekeh.

Nara menoleh ke samping menatap April, alisnya terangkat, “Serius udah kenalan?” Tanya Nara.

“Iya, udah.”

“Gimana?”

“Biasa aja, mama aja yang berlebihan,” ucap April.

“Masa sih. Ada fotonya nggak?” Tanya Nara penasaran, karena setiap ke rumah sakit jenguk papa beberapa hari ini ia tidak menemui dokter Steven dan ia penasaran seperti apa dokter Steven yang dibanggakan oleh mama dan papa.

April menarik nafas beberapa detik, ia lalu menunjukan foto yang ada di beranda google kepada adiknya. Nara lalu mengambil ponsel itu dari tangan April, ia memperhatikan foto yang ada di dalam ponselnya.

“OMG, beneran ini dia?” Tanya, ia melihat seorang pria mengenakan jas putih berlengan panjang di sana dengan posisi kedua tangan terlipat di dada. Ia mengakui kalau pria yang di dalam foto itu tampan, biasa ketampanan seorang pria bertambah, jika di lihat secara real.

“Iya, dia dokter Steven.”

“Ganteng banget tau, cool. Aslinya pasti lebih cakep, tipe lo banget nih,” ucap Nara.

“Tau dari mana dia tipe gue.”

“Ya, kan mantan-mantan lo kayak gini. Cocok sih sama lo!”

“Iya, cocok sama April,” sahut mama tersenyum.

“Kok, aku dijodoh-jodohin.”

“Karena kamu udah seharusnya nikah,” timpal papi ikut tertawa.

“I know, tapi nggak semudah itu lah.”

April ikut tertawa, ia santai saja tidak perlu dianggap serius obaran perjodohhan ini. Ia tahu niat baik orang tua dan adiknya, yang menjodohkan dirinya. Kalau dirinya memang agak sulit mendapatkan jodoh. Mungkin karena pria yang mencoba dekat dengannya tidak memiliki daya tarik.

Ia tahu kalau berbicara tentang daya tarik bukan hanya tentang fisik, well of course ya itu bukan yang terpenting. Daya tarik yang ia maksud itu adalah energy positif dan manner. Cara berbicara, berpenampilan, cara memperlakukan orang lain, keputusan-keputusan positif, intergritas, dan behaviours.

Ia juga biasanya mengecek sedikit demi sedikit seperti bau badan, kebiasaan sehari-hari, kosakata apa yang dia pakai, cara memantaskan diri ketika bertemu dengan tamu penting, cara memperlakukan teman, staff, ketegasan, ketulusan, kedisiplinan dia dalam bekerja. Gampangnya seperti ia bercermin diri sendiri, ia membayangkan dia calon jodohnya, orang seperti apa yang membuatnya jatuh cinta dengan sosok di depan cermin itu.

So, ia memilih pasangan memang harus dipilih secara cermat. Apa sih yang ia harapkan dari seorang pasangan? Yang pasti, orang itu mengerti dan memahami dirinya, orang yang membuatnya hidup lebih baik. Dan yang jelas standarnya, jodohnya itu akan membuatnya jatuh cinta setiap hari. Walaupun nanti sudah bertemu dengan jodohnya, ia selalu ingat tidak ada seorangpun yang punya tanggung jawab mencintai dirinya sendiri.

Kalau boleh jujur, ia desperate dalam mencari jodoh, bukan karena dirinya tidak menarik dan cantik ia memenuhi standar itu semua. Seriously? Sebenernya ia tidak terlalu suka di jodoh-jodohkan seperti apa yang dikatakan kedua orang tuanya dan Nara. Ia seperti wanita yang tidak laku saja. Excuse me? Pengen ia bungkam orang-orang yang menjodohinya. Ia lebih baik go to gym, buat badannya seseksi mungkin, dan ia akan traveling ke luar negri dan menjadi volunteer. Love my self frist.

April beranjak dari duduknya, ia menatap mama sedang menaruh ponsel di telinga. April mengerutkan dahi, lalu memicingkan matanya,

“Mami ngapain? Telfon siapa?” Tanya April.

“Telfon dokter Steven.”

“Hah! Nelfon dokter Steven?”

“Iya.”

“Ngapain mami nelfon dokter Steven?” Tanya April penasaran.

“Ngetes nomornya aja kok.”

“Aduh mami, kayak nggak ada kerjaan aja,” ucap April, ia mengambil tas nya di meja.

“Ah, nggak apa-apa.”

Beberapa detik kemudian ponsel dari milik Steven terangkat, “Iya, halo.”

“Halo dokter Steven, ini ibu, istrinya pak Wijaya.”

Alis Steven terangkat, ia tidak percaya bahwa ibu wijaya menelfonnya, “Iya, bu. Ada yang bisa saya bantu.”

“Ah, nggak, cuma mau ngetes nomor ponsel dokter Steven saja.”

Steven menyungging senyum, “Iya, bu. Ini nomor pribadi saya.”

“Syukurlah kalau begitu. Dokter Steven besok sibuk nggak?”

“Kenapa bu?”

“Besok rencananya suami saya mau pulang, kira-kira sekitar jam sepuluh. Saya harap dokter Steven ikut hadir buat ngantar pak Wijaya pulang.”

“Itu, pasti bu. Saya pasti ikut ngantar bapak pulang.”

“Terima kasih dokter Steven.”

“Sama-sama bu.”

Mami lalu mematikan sambungan telfonnya, ia tersenyum penuh kemenangan. Sementara April dan Nara menatap sang mami, oh God, orang tuanya baru kali ini benar-benar ingin menjodohkannya dengan pria bernama Steven Louise. Apa yang harus ia lakukan jika pria itu setuju, atas permintaan kedua orang tuanya untuk menikahinya? Apa yang harus ia lakukan ketika berhadapan dengan pria itu? Karena menurutnya kedua orang tuanya benar-benar serius menginginkan dokter Steven. Ia tahu kedua orang tuanya seperti apa, beliau akan melakukan segala cara agar dokter Steven menjadi bagian dari keluarga ini.

“Mami? Serius mami?”

“Iya, serius. Memangnya kenapa?”

April dan Nara tidak bisa berkata-kata, mereka lalu terdiam dan kembali duduk di sofa. Setelah itu lalu kembali fokus dengan papi, mereka mengalihkan pembicaraan ke arah yang lebih menarik, misalnya perusahaan baru yang telah mereka bangun, dan liburan pasca papi pulih. Obrolan yang bersifat menyenangkan menurutnya.

***

Keesokan harinya,

Tidak ada yang special dari kehidupan seorang dokter spesialis bedah, sehari-hari sama saja, bangun tidur, mandi, berangkat kerja, makan siang, kerja lagi, pulang mandi, makan malam, baca buku, tidur. Sama seperti profesi-profesi yang lain.

Menjadi dokter bedah seperti dirinya memiliki tantangan tersendiri. Saat itu ia harus menentukan kapan harus dioperasi, karena pada saat itu ia menghadapi pasien yang sudah terbius di meja operasi, hingga mencapai point of no return. Apapun yang didapatkan pada pasien di meja operasi, operasi harus tetap berjalan dan harus diselesaikan.

Sering kali ia sebagai dokter bedah mendapatkan hal yang tidak sesuai dengan pemeriksaan penunjang yang belum dilengkapi sebelum operasi. Dan karena operasi harus diselesaikan bagaimanapun maka improvisasi dan pengalamanlah yang bertindak. Ia kadang harus mengambil tindakan kepada keluarga pasien, mana yang harus ditindak lanjuti dan yang akan di ambil.

Saat di mana kondisi high alert. Mungkin dokter spesialis lain yang tidak berurusan dengan operasi, bisa mengulur waktu untuk berpikir dan memberikan obat-obatan atau nasihat yang meredakan gejala. Namun dokter spesialis bedah seperti dirinya harus mengambil keputusan saat itu juga, di kala tertekan dan keputusan haruslah zero mistake. Jika memikirkan pekerjaan memang tidak ada habisnya, karena rutinitasnya setiap hari seperti itu.

Pagi ini ia seperti biasa melakukan visite pasien dulu, jika ada operasi ia ke ruang operasi terlebih dahulu, kalau sudah selesai ia lalu ke poli rawat jalan, setelah itu ia ke ruangan pak Wiaya. Ia sudah berjanji kalau hari ini aia akan mengantar pak Wijaya untuk pulang.

Ia teringat tentang wanita bernama April, wanita itu anaknya pak Wijaya, mereka sudah berkenalan kemarin. Namun entahlah, ia merasa kalau kedua orang tua gadis itu menginginkannya. Namun ia berpikir lagi, seorang pak Wijaya, siapa yang tidak kenal beliau dan kekayaanya. Dia merupakan salah satu konglomerat di negri ini. Jika bersanding dengan salah satu putrinya, ia tidak bisa membayangkan apa yang terjadi dengan dirinya. Ia tidak akan menaruh harapan dengan keluarga itu, yang jelas ia sudah menjalankan tugasnya dengan baik.

Ia membuka hendel pintu, ia tersenyum dan melangkah masuk. Ia melihat di sana ada pak Wijaya dan istrinya. Di sana juga di hadiri kedua putrinya, wanita yang mengenakan dress berwarna putih itu April, dia tampak elegan dan berkelas. Dia selalu berpakaian rapi rambutnya selalu diikat ke belakang, dengan rambutnya seperti itu, dia terlihat sangat mahal. Di dalam ruangan ada beberapa perawat, membawa kursi roda untuk pak Wijaya.

“Selamat pagi pak Wijaya,” ucap Steven.

“Selamat pagi juga dok.”

Steven memperhatikan ruangan kamar yang sudah rapi, dan beberapa koper sudah berada di dekat sofa.

“Sudah siap untuk pulang hari ini?” Tanya Steven.

“Iya sudah dok.”

Steven lalu membantu pak Wijaya ke kursi roda, beliau lalu duduk di kursi. Ia memandang ibu wijaya yang berdiri di sampingnya.

Sementara di sisi lain Nara menginventori penampilan Steven, mulai dari ujung rambut hingga ujung kaki. Dia memperkirakan bahwa tinggi dokter Steven lebih dari 180 sentimeter, dengan berat 75 kilogram dan ukuran sepatu 44, dokter Steven bisa dikatagorikan sebagai raksasa untuk laki-laki Indonesia. Ia tahu, karena ia menghabiskan waktunnya di dunia fashion. Meskipun begitu tubuhnya sangat proporsional dan ia tidak akan tahu bahwa dia memang se-cool itu, sampai akhirnya ia bertemu langsung.

Sekali lagi ia menatap dokter Steven yang tersenyum ke arah mereka, ia menyadari selama lima menit belakangan ini, bahwa ia telah terpaku kepada sosok pria itu. Inilah pria yang dipuji-puji kedua orang tuanya, tidak hanya cerdas dia juga seperti Zeus.

“Dokter Steven sudah kenalan dengan putri saya satunya adiknya April?” Tanya mami membuka topik pembicaraan.

“Belum.”

“Ini putri saya namanya Nara,” ucap mami memperkenalkan Nara kepada dokter Steven.

Steven mengulurkan tangan kepada wanita bernama Nara itu, ia memperhatikan bahwa Nara sama cantiknya dengan April, namun April terlihat lebih dewasa dan berkelas. Mungkin karena gaya penampilan mereka berbeda. Jika boleh jujur ia lebih suka fashion April dibanding Nara.

“Saya Steven.”

Nara tersenyum dan membalas uluran tangan itu, “Nara,” ucap Nara menyambut uluran tangan itu, jika dokter Steven bukan seorang dokter mungkin ia akan merekrut pria itu menjadi salah satu model fashionnya.

“Bagimana keadaan bapak? Apa masih ada keluhan?”

“Mungkin sedikit pusing dok.”

“Nanti siang di minum lagi obatnya.”

“Baik dok.”

Steven lalu mengambil alih kursi roda itu dan ia mendorongnya keluar dari kamar perawatan. Ia tahu di belakangnya ada Nara, April dan istri pak Wijaya. Mereka melawati koridor, melangkah menuju lift.

“Dokter Steven tidak ada kepikiran buat menikah?” Tanya papi membuka topik pembicaraan.

Dokter Steven menyungging senyum, “Kenapa bapak bertanya seperti itu?”

“Umur dokter sudah sepantasnya sudah menikah,” ucap pak Wijaya.

Steven menarik nafas beberapa detik, ia tertawa, “Saya belum nyari juga pak. I think I'm fine with just me for the time being,” ucap Steven.

“Kenapa?” Tanya pak Wijaya.

“Sekarang saya punya pemikiran kalau ingin nikah, bukan dari lihat umur. Kalau ingin menikah, saya akan melihat kualitas hubungan saya dan pasangan saya. Apakah saya nyambung dengan dia, apa bisa saling mengerti? Saling kenal warna masing-masing. Setelah itu saya akan buat janji di hadapan Tuhan. Dan saya tidak akan memiliki pemikiran lagi ‘why did I marry this person.”

Pak Wijaya tersenyum mendengar jawaban Steven, ia menoleh kepada April putri sulungngnya, “Jawaban kamu hampir sama dengan April.”

Mereka masuk ke dalam lift dan lift membawa mereka menuju lantai dasar. Steven melirik April yang hanya diam, tatapan mereka lalu bertemu.

“Mungkin kalian akan cocok.”

Steven tidak bisa berkata-kata, ia lalu tersenyum, “Semoga saja pak.”

***

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel