Pustaka
Bahasa Indonesia

SKANDAL RANJANG PENGANTIN

48.0K · Tamat
Ayu Wandira
25
Bab
4.0K
View
9.0
Rating

Ringkasan

21 AREA DEWASA DI BAWAH UMUR MENYINGKIR Kini bibir mereka saling berpangutan satu sama lain tanpa henti, ia berjinjit dan melingkarkan tangannnya ke leher Steven. Mereka saling menghisap bibir, memainkan lidah, dan bertukar saliva. Ciuman itu ritmenya berubah menjadi cepat. Ia tidak tahu sudah berapa lama mereka saling berciuman, sama-sama tidak ingin berhenti walau satu detikpun. Tanpa ia sadari, kedua tangannya, membuka kancing kemeja yang dikenakan Steven satu persau. Tidak butuh waktu lama kemeja yang dikenakan Steven terlepas dari tubuhnya. Jemarinya meraba tubuh bidang itu, Oh no! Dada Steven begitu tegap dan keras.

RomansaMetropolitanPresdirDokterBillionaireLove after MarriagePerselingkuhanKeluargaPernikahanplayboy

BAB 1

HAPPY READING

***

Seperti biasa, hari Senin menjadi hari terberat dalam sepekan, di mana hari libur kemarin ia telah melakukan rutinitas weekend yang semua dimanfaatkan sebagai ajang bersenang-senang, hang out atau sekedar bermalas-malasan di rumah. Steven berusaha menyelesaikan semua pekerjaanya hari ini. Ia melangkahkan kakinya ke ruang perawatan, ia membuka hendel pintu, ia melihat seorang pria separuh baya yang sedang terbaring di sana.

Di ruangan itu ada seorang wanita muda, mengenakan kemeja putih dan rok jins. Rambut panjangnya diikat ke belakang, ia tahu kalau wanita itu adalah anak pertama pak Wijaya yang bernama April dan si sebelahnya ada wanita separuh baya itu merupakan istri dari pak Wijaya.

Pak Wijaya Riadi itu adalah pasiennya, dia pendiri Grup Lipo grup, yang merupakan salah satu perusahaan besar di Indonesia. Perusahaan ini awalnya ini memiliki usaha perbankan. Kemudian mengembangkan usahanya dibidang property lalu berkembang pesat, berbagai jenis property meliputi perumahan, kondominium, perkantoran kelas A, pendidikan, pusat industry, pusat belanja, hotel, glof dan rumah sakit tempat dirinya bekerja saat ini. Oleh sebab itu beliau adalah pasien penting di sini. Dan dirinyalah yang bertanggung jawab dokter yang menangani pasien prioritas ini.

Steven tahu kalau pak Wijaya memiliki dua anak perempuan yaitu April dan Nara. April ini berprofesi sebagai pembisnis, dengan lulusan dokter anak dan Nara adiknya yang meneruskan beberapa usaha orang tuanya. Ia sangat bersyukur bahwa operasinya berhasil di tangannya.

Kemarin pak Wijaya mengalami Epidural hematoma, di mana kondisi darah masuk dan menumpuk di ruang antara tulang tengkorak dan selaput pelindung otak luar. Kondisi ini dapat menyebabkan pasien gangguan penglihatan serta kemampuan bergerak dan berbicara.

Ia harus melakukan operasi kraniotomi pada pak Wijaya. Operasi ini dilakukan dengan membuka tulang tengkorak, untuk mengeluarkan gumpalan darah yang menumpuk, dengan begitu tekanan di dalam kepala menjadi berkurang.

Ia bersyukur bahwa operasinya berhasil dengan baik. Pasca operasi dan masa pemulihan sudah berjalan dengan sesuai rencana, bahkan kondisi pak Wijaya sangat stabil. Ia lalu memberikan senyum terbaiknya kepada pria itu, ia melangkah mendekat.

“Selamat siang pak Wijaya,” ucap Steven menyapa beliau, ia melihat senyuman pada pria itu.

“Selamat siang juga dokter Steven,” ucap beliau.

“Bagaimana keadaan bapak?” Tanya Steven, ia memang rutin menjenguk beliau, ia memastikan kondisi beliau tetap stabil.

“Sudah lebih baik dok,” ucap beliau, ia menatap Steven, pria itu berdiri di sampingnya, ia tahu kalau Steven adalah dokter yang hebat menangani penyakitnya, dan itu sangat berhasil. Beliau pastikan nama dokter Steven semakin dikenal banyak orang di luar sana.

“Jangan lupa di minum obatnya, jaga pola makan, untuk saat ini hindari minum alkohol, hindari olahraga berat, dan istirahat yang cukup,” ucap Steven lalu tersenyum kepada beliau, karena ia tahu kalau besok pak Wijaya sudah diperbolehkan pulang.

“Bapak pasti sembuh.”

Pak Wijaya melihat ke samping, ia memandang putrinya yang berada tidak jauh darinya. Ia juga memandang istrinya yang melangkah mendekati.

“Terima kasih ya dok,” ucap istri pak Wijaya, ia memandang pria berjas putih berlengan panjang, postur tubuhnya tinggi dan wajahnya cantik, dia salah satu dokter hebat di rumah sakit ini.

“Sama-sama, bu.”

Pak Wijaya tahu bagaimana keterampilan dokter Steven di meja operasi, ahli bedah seperti dokter Steven dapat memotong tengkorak tanpa merusak otak. Tangan dokter Steven seakan sudah terlahir untuk melakukan prosedur craniotomy atau penghilangan bone flap bagian tempurung otak, dan kemudian menghubungkan dengan gergaji tulang. Dia juga ahli menggunakan perforator, bor yang berhasil melubangi tengkorak karena adanya tekanan balik dari duramater.

Ia tahu, setiap alat yang digunakan dokter bedah memberikan perasaan bagi dokter bedah itu sendiri, dapat merasakan dan mengontrol. Dalam orang awam mungkin sebagai pergerak mobil otomatis. Memiliki resiko dan dapat menciderai otak pasien.

Keterampilan dokter Steven memegang alat tidak ada yang dibayar murah, karena surgeon itu termasuk high risk apalagi yang dibedah itu bagian otak. Ngoperasi otak jika salah maka resikonya nyawa, salah potong saraf akan lumpuh bagian di tubuh pasien. Operasi yang dilaksanakan juga perlu stamina yang memapuni, karena berjam-jam lamanya berdiri. Ia pernah mendengar dokter Steven pernah menangani session bedah angkat tumor di otak memakan waktu 12 jam, mengalahkan operasi ortho.

Oleh sebab itu, ia selalu salut dengan dokter bedah. Menjadi dokter bedah seperti Steven itu memakan waktu yang lama, backroundnya lulus dokter umum, intership satu tahun, minimal bekerja satu tahun sebelum mengambil program pendidikan spesialis (PPDS) bedah saraf. Dan usia PPDS itu sekitar usia 32 tahun, belasan tahun belajar kedokteran. Oleh sebab itu ia selalu kagum dengan dokter bedah seperti dokter Steven. Ia sampai sekarang tidak tahu, bagaimana dokter-dokter bedah itu mengasah kemampuannya? Keterampilan itu dengan latihan ratusan kali sampai mendapatkkan feeling antara dokter, alat dan pasien.

Steven memeriksa kondisi pak Wijaya, ia tahu kalau pak Wijaya bisa saja dia berobat ke keluar negri, mencari dokter-dokter terbaik di dikelasnya. Namun beliau ingin dirinya untuk mengobatinya. Sekerang kondisinya jauh lebih baik bahkan sudah bisa ngobrol dan bercanda dengan keluarga.

Kemarin ia sempat cemas, karena pak Wijaya belum siuman, ia bahkan sulit tidur memikirkan kondisi pasiennya. Jika operasinya gagal maka hancur sudah riwayat karirnya. Beberapa hari setelah operasi pak Wijaya siuman dan lalu dibawa ruang perawatan, ia sangat lega pada akhirnya.

Pak Wijaya melirik putrinya yang sedang duduk di sofa sambil menatap ponselnya, “Dokter Steven sudah kenal dengan putri saya?” Tanya pak Wijaya membuka topik pembicaraan, beliau mengubah posisi tidurnya menjadi duduk, dengan sigap Steven membantu untuk memapahnya hingga duduk.

Steven lalu menatap seorang wanita yang duduk di sana, wanita itu mengalihkan pandangan ke arahnya mereka lalu saling berpandangan satu sama lain. Ia akui kalau wanita itu memiliki wajah yang cantik, rambutnya panjang hitam berkilau, kulitnya putih, garis wajahnya bagus, hidungnya mancung dan dia memiliki mata yang bening. Dia terlihat sangat elegan.

“Sini sayang, ini dokter Steven, dia dokter yang hebat di rumah sakit kita,” ucap pak Wijaya memanggil putrinya.

April melangkah mendekati ayahnya, ia melihat pria berjas putih berlengan panjang itu, dia memiliki wajahh sempurna, bak pahatan bak dewa yunani. Ia tidak menyangka kalau di rumah sakit ini memiliki dokter yang tampan. Tubuh pria itu juga proporsional, badannya tinggi tegap, pria itu menatapnya tanpa senyum.

“Ini putri saya, namanya April, dia lulusan dokter anak di Universitas Brimingham. Walau seorang dokter April lebih memilih mengurus bisnis eceran,” ucap pak Wijaya lalu tertawa.

Steven tersenyum kepada wanita itu, ia lalu mengulurkan tangannya kepada April, “Hai saya Steven,” ucap Steven.

April memandang pria bermata tajam itu, ia lalu menyambut uluran tangan itu, “Saya April,” ucap April, ia merasakan tangan hangat pria itu berada di bawah permukaan tangannya.

“Senang berkenalan dengan anda,” ucap Steven, setelah itu ia melepaskan tangan itu.

“Dokter Steven katanya sudah lama ya kerja di sini?” Tanya istri pak Wijaya.

“Iya bu, sejak menyelesaikan program pendidikan dokter spesialis bedah saraf saya langsung kerja di sini.”

“Pengalamannya sudah banyak,” sahut pak Wijaya kepada istrinya.

“Dokter Steven sudah menikah?”

Steven tersenyum, “Kebetulan belum bu.”

“Umurnya berapa?”

“36 tahun.”

“Wah sama dong kayak April. April hampir 30 tahun. Siapa tau kalian cocok kan?” Ucap pak Wijaya.

Steven lalu memandang wanita yang tidak jauh darinya, wanita itu memiliki kelas social yang tinggi, apalagi anak pertama pak Wijaya. Sedangkan dirinya hanya seorang dokter bedah saraf, tidak sepantasnya bersanding dengan wanita itu. April lebih pantas bersama pengusaha atau pria yang sekelas dengannya.

Lagi pula ia selalu menilai wanita dari expend hidup, cara hidup dan gaya hidup wanita itu sendiri. Menurut orang di luar sana, dirinya sudah mapan, memiliki rumah, mobil, dan beberapa aset lainnya. Namun kemapanan itu sendiri, tidak ada ukuran bagi seorang pria seperti dirinya. Pria itu kadang mengukur kemapanan dirinya dari pasangannya seperti apa. Paling tidak ia berpacaran dengan sesama seorang dokter seperti mantannnya terdahulu Sophia.

Ia tidak mau dianggap punya beban yang berat melebihi pendapatan dirinya. Memang kata orang mencari pasangan yang setara itu benar adanya, karena setara itu menandakan cara hidupnya.

“Dokter Steven sudah punya pacar?”

Steven tersenyum, “Belum pak.”

“Kebetulan April juga belum, sama-sama sudah dewasa, mapan, kalian berdua sibuk kerja, jadi lupa cari pasangan.”

“Iya, sepertinya saya sibuk kerja, hingga lupa mencari pasangan,” ucap Steven sekenanya.

Steven tersenyum, ia menatap April, wanita itu juga memandangnya. Steven melirik jam melingkar di tangannya menunjukan pukul 12.00, ia harus memeriksa pasiennya yang lain.

“Mari pak Wijaya, ibu dan April. Saya harus keliling melihat pasien yang lain,” ucap Steven, ia lebih baik undur diri, agar pembahasan ia dan April tidak terlalu dalam dan membuat merasa tidak enak.

“Dokter Steven,” ucap pak Wijaya sebelum Steven meninggalkan ruangan.

“Iya, pak.”

“Saya belum minta nomor ponsel kamu.”

Alis Steven terangkat, ia tidak menyangka kalau seorang pak Wijaya meminta nomor ponselnya. Ia tentu saja tidak menolak ketika pria separuh baya itu meminta nomor ponselnya.

“Baik pak.”

“Mi, catat nomor ponsel dokter Wijaya.”

“Iya pi,” ucap iistri pak Wijaya.

Istri pak Wijaya memberikan ponsel itu kepadanya, ia lalu memasukan nomor ponsel pribadinya, ia tahu kalau pak Wijaya adalah orang penting di sini.

“Sudah pak.”

“Terima kasih dok.”

“Sama-sama. Mari saya undur diri,” ucap Steven, ia lalu melangkah keluar dari ruangan.

April dan kedua orang tuanya melihat tubuh dokter Steven menghilang dari balik pintu. Ia menatap kedua orang tuanya, terlihat jelas raut bahagia berhadapan dengan dokter Steven. Hanya karena dia berhasil menyembuhkan sang ayah, lalu kedua orang tuanya sudah menaruh hati kepada pria itu. Dia seorang dokter, sudah menjadi tugasnya menyembuhkan pasien.

Ia tahu jika penyakit sang ayah tidak ditangani dengan cepat maka akan mengalami cedera otak permanen. Cedera otak permanen yang disebabkan oleh epidural hematoma dapat menimbulkan gangguan jangka panjang, seperti epilepsy yang ditandai dengan kejang, kelumpuhan dan gangguan saraf lainnya, ia tahu, karena ia seorang dokter.

“Papi buat apa minta nomor ponsel dokter Steven?” Tanya April menyelidiki, tidak seperti biasanya ayahnya seperti itu.

“Buat undang makan malam kalau papi sudah sehat.”

“Ya ampun, terus?”

“Enggak ada terusnya. Papi suka sama dokter Steven, dia orangnya sabar, sehari dua kali lihat kondisi papi.”

“Dia emang dokter pi. Udah seharusnya periksa papi, papi pasien prioritas di sini. Papi yang punya rumah sakit, wajar dia perhatian, dia banyak cerita ini itu soal rumah sakit kita, perkembangannya karena dia kerja di sini,” ucap April menjelaskan.

“Apapun itu papi suka dia, April. Dokter Steven udah nyelamatin papi, buat papi sembuh.”

“I know. Tapi malu tau, seorang papi minta nomor dokter Steven.”

“Malunya di mana? Yang malu itu kamu April, udah hampir 30 tapi belum nikah.”

“Bukannya gitu pi ….” Ucap April mulai jengah, karena lagi-lagi sang papi membawa status dan umur.

“Papi suka dokter Steven. Dia cerdas, dia memiliki pengetahuan yang luar biasa dibidang ini, papi lihat dia juga anaknya ulet, rajin, dan dia berwibawa. Sangat cocok dengan kamu.”

“Yaudah papi nikahin aja sama dokter Steven,” timpal April, karena dalam beberapa hari ini, ia selalu mendengar nama Steven dari mulut kedua orang tuanya, betapa mengagumi pria itu.

“Kok papi.”

“Kan papi suka sama dokter Steven.”

“Papi kan udah ada mami. Kamu memangnya nggak tertarik sama dokter Steven. Dia sendiri kamu juga sendiri.”

Seumur hidupnya ia tidak pernah melihat kedua orang tuanya kagum dengan seorang pria, kecuali dokter Steven. Ia tidak tahu obrolan apa yang mereka bahas hingga membuat kedua orang tuanyaa kagum. Karena ketika ia ke sini beberapa kali ke sini, ia tidak pernah bertemu pria itu. Ini pertama kalinya ia melihat secara langsung siapa dokter Steven. Secara fisik dia sempurna, oke yang jelas dia cerdas.

“Bukannya gitu pi, kalau cari jodoh itu nggak sembarangan.”

“Iya, tahu. Itu dokter Steven loh, bukan pria sembarangan. Papi tau April, mana pria yang berkualitas atau nggak.”

“Tapi pi, ini tuh bahasannya kesehatan papi, bukan jodohin April sama dokter Steven.”

“Mumpung orangnya di sini, makanya di jodohin, siapa tau cocok,” ucap papi.

April tidak bisa berkata-kata lagi, ia lalu duduk di sofa. Ia mengambil satu Oreo dari dalam toples di meja, ia lalu mulai memakannya sedikit demi sedikit, ia menghitung jumlah kalori yang ia makan sama dengan satu buah burger McDonald’s. Ia menatap ponselnya dengan gemas, seolah layar itulah yang menjadi pusat perhatiannya. Ia tahu tipe orang tuanya seperti apa, jika sudah suka dengan seseorang maka akan diundang ke rumahnya.

“Dokter Steven sudah menyelamatkan nyawa papi, April.”

“I know, tapi jangan berlebihan mengagumi seseorang papi. Bersikaplah biasa aja sama dokter Steven, lagian dia bekerja di sini dibayar mahal untuk ilmu dan keterampilannya. Dan jangan jangan jodohin April sama dia pi.”

“Kamu nggak suka dokter Steven?” Tanya mami, ia mendekati putrinya.

“Bukan nggak suka mami. Aku juga dokter, dan memang dokter semua seperti itu. Tugasnya nyelamatin pasien dan udah disumpah menjalankan tugasnya dengan cara terhormat.”

April menarik nafas, “Yaudah kalau gitu,” ucap April, ia menyerah begitu saja, ia sebenarnya tidak perlu mengkhawatirkan pendapatnya lagi. Ia lalu memilih sibuk browsing internet untuk mencari tahu tentang siapa dokter Steven.

“Nara adik kamu mana?”

“Lagi di jalan, bentar lagi ke sini.”

“Papi jadi keluar besok?” Tanya April.

“Iya, jadi. Dokter Steven udah ngasih tau kalau besok sudah boleh pulang.”

***