5. Awal yang Baik
5. Awal yang baik
"Janinnya sehat. Berat badan janin mengalami kenaikan. Hal itu bagus dan harus tetap dijaga. Namun berat badan sang ibu bulan ini tidak mengalami kenaikan. Apa mungkin ada keluhan?" seorang dokter berusia pertengahan empat puluhan menjelaskan kondisi Mitha dan bayi dalam kandungannya seusai melakukan pemeriksaan.
Akhir-akhir ini Mitha memang semakin malas makan. Untungnya ia selalu memaksakan dirinya untuk minum susu ibu hamil juga beberapa suplemen dan vitamin yang telah dokter berikan.
"Saya kembali sering mual, dok." dokter Ajib, dokter yang memeriksa Mitha tampak menganggukkan kepalanya.
"Ada lagi keluhan lain?"
"Saya akhir-akhir ini semakin malas makan." setidaknya Mitha harus berterus terang tentang kondisinya kepada dokter Ajib. Ia tak mau sesuatu yang buruk terjadi pada anaknya.
"Mitha, kamu kalau sering mual kok nggak bilang ke mama. Mama nggak tahu lo. Setelah ini kalau ada apa-apa kamu harus bilang ya, nak. Ingat, kesehatan kamu dan cucu mama juga tanggung mama." Mitha hanya tersenyum mengiyakan perintah ibu mertuanya.
Dokter Ajib memberikan beberapa saran juga menuliskan resep. Pria itu dengan sabar menjawab pertanyaan demi pertanyaan yang Mitha dan ibu mertuanya tanyakan. Setelah menghabiskan waktu yang cukup lama, akhirnya mereka pun beranjak keluar dari ruangan dokter Ajib.
"Kamu duduk di sini ya. Mama mau bawa ini dulu ke apotek," bu Nisa memberikan perintah sambil menunjukkan resep dari dokter Ajib untuk segera ia bawa ke apotek.
"Biar Mitha aja, ma. Mama aja yang duduk."
"Hush. Nggak boleh nolak. Kamu lagi hamil jadi ikuti perintah mama. Apoteknya agak jauh, nanti kamu nggak kuat jalannya. Perutnya sudah sebesar drum gitu. Kamu duduk aja di sini. Mama berangkat sekarang." akhirnya Mitha pasrah menuruti perintah mertuanya. Ia pun duduk di kursi ruang tunggu sambil memainkan ponselnya.
Lima belas menit berselang bu Nisa sudah kembali. Mereka pun beranjak menuju mobil yang sedari tadi menunggu mereka.
"Pak, Kita putar balik aja. Terus mampir belanja baju sebentar ya," bu Nisa memberikan perintah pada sopir keluarga mereka. Pria itu pun mengiyakan dan membawa mobil membelah jalan raya yang cukup padat di siang hari.
Menjelang sore, mereka pun sudah tiba di rumah. Makan siang telah mereka nikmati di salah satu pusat perbelanjaan yang telah mereka datangi. Sebenarnya Mitha malas jika harus makan tepat di jam makan siang. Ia masih merasa kenyang. Namun, bu Nisa tak berhenti berceramah tentang bagaimana pentingnya menjaga asupan gizi pada ibu hamil. Akhirnya Mitha menyerah juga.
"Mitha, kamu mandi dulu, terus tidur siang. Nggak apa-apa meskipun telat. Yang penting kamu istirahat. Habis ini mama suruh bibi anterin susu sama buah kamu," Mitha hanya tersenyum kemudian mengucapkan terima kasih. Ia pun beranjak menuju kamarnya.
Rasa penat juga lelah segera lenyap saat air hangat mengguyur tubuhnya. Ya, meskipun hari ini cukup melelahkan, namun hatinya cukup senang. Betapa beruntungnya ia masih memiliki mertua seperti kedua orang tua Yoga. Mereka benar-benar menjaga fisik dan juga batinnya.
Saat Mitha keluar kamar, dilihatnya segelas susu dan sepiring buah potong sudah tersaji di atas meja oval di samping sofa empuk kamarnya. Mitha pun segera mengenakan bajunya dan merapikan penampilannya di depan meja rias kamarnya.
Dilihatnya tubuh mungilnya yang telah berubah bentuk. Memang tubuhnya tetap mungil, namun tonjolan besar di perutnya jelas tidak bisa diabaikan begitu saja. Jangan lupakan juga kedua buah dadanya yang berukuran melebihi rata-rata akibat kehamilannya. Cukup indah namun ada banyak hal yang hilang dari tangannya.
Setelah menikah, Mitha tidak lagi melanjutkan kuliahnya. Bahkan Mitha belum resmi menyandang status sebagai mahasiswa baru. Ia baru saja mendapat pengumuman jika dirinya telah diterima di salah satu universitas negeri ternama di kotanya begitu musibah itu datang. Musibah, namun bagi Mitha juga berkah. Tak mungkin ia menganggap kehadiran darah dagingnya sendiri sebagai musibah, bukan?
Dan sejak itulah semuanya berubah. Belum sempat ia memberitahu kondisinya kepada Yoga. Kedua orang tuanya terlanjur mengetahui kehamilannya. Mereka menemukan test pack yang telah Mitha buang ke tempat sampah. Entah, Mitha juga tidak tahu bagaimana hal itu bisa terjadi.
Dan setelah itu semua hal menjadi tak terkendali. Papanya yang tak terkendali mendatangi rumah Yoga, membuat Yoga merasa tidak dipercaya oleh Mitha. Ia kecewa karena Mitha tidak memberitahunya terlebih dahulu jika ia hamil dan membuat situasi sedemikian rumit. Yoga merasa, ia bukanlah pria yang tak bertanggung jawab yang layak dipermalukan. Sebejat-bejatnya, ia tak mau dipermalukan di hadapan kedua orang tuanya apalagi ditambah insiden pemukulan kakak Mitha kepadanya.
Dan sejak saat itulah sikap Yoga berubah dingin. Tak ada lagi Yoga yang selalu memanjakan Mitha. Yoga yang menyayanginya. Semuanya lenyap tak bersisa. Pria itu merasa Mitha telah membohonginya.
"Kamu tadi siang jadi periksa ke dokter?" tiba-tiba sebuah suara mengusik lamunan Mitha. Segera di alihkannya pandangan dari cermin di depannya menuju pintu yang terbuka dan menutup kembali.
Sosok gagah suaminya tampak lelah sepulang kerja. Segera diraih tangan suaminya dan mencium punggung tangan pria tampan itu.
"Iya, jadi mas. Sama mama," ucapnya pelan sambil membantu suaminya melepas bajunya. Ia selalu melakukannya dan untungnya Yoga tak pernah menolak.
"Mas mau langsung mandi kan? Biar aku siapin baju gantinya." pria itu hanya berdeham mengiyakan.
Segera Mitha meletakkan baju kotor Yoga di keranjang cucian. Dan tak lama kemudian menyiapkan baju ganti untuk suaminya.
"Bagaimana kata dokter tadi?" Mitha yang baru menyentuh tumpukan baju Yoga segera membalikkan badan. Mitha mengembangkan senyuman. Ternyata suaminya masih peduli kepadanya.
"Bayi kita baik-baik saja. Berat badannya naik. Dia juga cukup aktif," mata Mitha berbinar saat menceritakan hasil pemeriksaannya tadi siang.
"Bagaimana dengan keadaan mu?"
"Apa?" Mitha mengerjab tak mengerti dengan pertanyaan suaminya.
"Setiap pagi ku dengar kamu selalu muntah." oh, itu. Dada Mitha seketika mengembang bahagia. Ternyata di balik sikap dinginnya, Yoga masih memperhatikannya.
"Dokter sudah memberiku obat anti mual, juga beberapa vitamin. Jadi tidak ada yang perlu dikhawatirkan." senyum tak luntur dari bibir Mitha. Saat-saat seperti ini jarang sekali ia rasakan. Berkomunikasi dengan akrab dengan suaminya benar-benar hal langka.
"Banyak-banyaklah makan. Tubuh mu terlihat kurus." Mitha menganggukkan kepalanya.
"Apa dokter memberi print out hasil USG mu tadi?"
"Iya, tentu saja," Mitha segera berderap meraih tasnya yang masih tergeletak di sofa. Diambilnya benda yang ditanyakan Yoga. Kemudian memberikannya pada sang suami.
Pria itu tampak mengamati benda di tangannya. Senyum tercetak jelas di wajahnya. Pemandangan itu tak luput dari mata Mitha. Rasa hangat kembali menjalar di dadanya.
"Apa jenis kelaminnya sudah bisa diketahui?" pandangan Yoga tak lepas dari benda di tangannya.
"Sebenarnya sudah, tapi kemarin kebetulan tak terlihat. Mungkin bulan depan dia akan menunjukkan dirinya," Mitha terkekeh dengan kalimatnya sendiri.
"Aku akan menyimpannya. Tidak apa-apa kan?" tentu saja Mitha dengan sukarela mengiyakan. Pria itu segera memasukkan benda tipis itu ke dalam dompetnya, ia akan bisa mengambilnya sewaktu-waktu jika ingin melihat buah hatinya.
Mitha benar-benar tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Suaminya sudah mulai peduli kepadanya. Ia berharap semoga hal ini menjadi awal yang baik bagi hubungan mereka. Ya, ia hanya harus lebih bersabar saja menghadapi sikap Yoga.
###
