Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

4. Semuanya Akan Baik-baik Saja

4. Semuanya akan baik-baik saja

"Tha, jangan lupa hari ini jadwal kunjungan ke dokter. Kamu sudah menyampaikannya ke Yoga kan?" bu Nisa, mama Yoga mengingatkan di suatu pagi saat mereka menikmati sarapan di teras belakang.

Yoga sudah pergi sedari pagi. Pria itu begitu bangun langsung bersiap dengan setelan jasnya dan berangkat ke kantor tanpa berpamitan. Bahkan kopi yang sudah Mitha siapkan tak disentuhnya sama sekali.

Untungnya ayah mertua Mitha, pak Pandu bisa mengurangi kekecewaan Mitha. Pria yang masih tampan di usianya yang tak lagi muda itu segera meminta kopi yang telah Mitha buat dan meminumnya. Setelah menghabiskan sarapannya pria itu pun bergegas menyusul Yoga ke kantor.

Meskipun Yoga dan sang ayah bekerja dalam gedung dan tempat yang sama, namun sangat jarang mereka berangkat bersama. Tidak leluasa. Itulah dalih Yoga saat mamanya menyuruhnya berangkat bersamaan dengan sang ayah.

"Saya sudah bilang, ma. Tapi kata mas Yoga, dia sangat sibuk. Jadi saya disuruh ke dokter sendirian saja. Bulan depan dia janji akan mengantar," Mitha berbohong. Suaminya tak mengatakan hal itu. Saat Mitha meminta suaminya mengantarkannya ke dokter, suaminya menolak.

Manja. Itulah kata yang sempat keluar dari mulut Yoga. Seharusnya Mitha bisa berangkat ke dokter sendiri tanpa di antar. Toh dia tidak sedang sakit.

Bu Nisa mendesah pelan. Ia tahu menantunya tidak jujur. Ia begitu hafal dengan sifat anak kandungnya.

"Kamu kalau ada apa-apa bilang sama mama sama papa ya. Jangan disimpan sendiri. Yoga memang seperti itu." Mitha hanya mengulas senyum, ia tak akan berkomentar apapun tentang suaminya. Ia bukanlah seorang pengadu.

Saat ia menikah dengan Yoga, ia sudah siap dengan apapun resikonya. Baginya yang penting bisa selalu berada di dekat Yoga sudah lebih dari cukup. Yoga begitu manis saat mereka berpacaran dulu, ia yakin sifat itu masih ada pada diri Yoga saat ini meskipun sikap kasarlah yang sering pria itu tunjukkan.

Ia yakin, jauh di dalam hati Yoga, pria itu benar-benar mencintainya. Ia akan berusaha membuat Yoga luluh. Dan perlahan mengembalikan sifat Yoga seperti saat awal mereka berpacaran.

"Mitha nggak apa-apa kok, Ma. Kami juga baik-baik saja," bu Nisa hanya mampu menghela nafas lelah. Anak dan menantunya ini sebenarnya pasangan yang cocok. Yoga yang cuek dan semaunya sendiri bersanding dengan Mitha yang lemah lembut dan selalu bersabar menghadapi suaminya.

Kesabaran Mitha dalam menghadapi Yoga patut ia acungi jempol. Mungkin jika ia sendiri berada di posisi Mitha, tak akan sanggup. Memiliki suami bertemperamen buruk jelas bukanlah hal yang baik. Tak sekalipun bu Nisa pernah melihat anak pertamanya itu bersikap manis kepada istrinya. Jangankan bersikap manis. Berbicara tanpa nada tinggi saja jarang dilakukan.

Bu Nisa fikir, setelah Yoga menikah, sifat buruk yang di miliki Yoga perlahan akan lenyap. Apa lagi sebentar lagi ia juga akan menjadi seorang ayah. Makanya begitu ia dan suaminya tahu bahwa anak mereka telah merusak anak gadis orang. Bu Nisa dan pak Pandu segera menikahkan mereka. Mungkin Yoga memang benar-benar mencintai gadis itu sehingga mereka berpacaran yang akhirnya kebablasan.

Namun ternyata bu Nisa dan suaminya hanya akan menelan kekecewaan saja. Mitha sepertinya hanya digunakan anaknya sebagai ajang bersenang-senang. Padahal apa yang kurang dari gadis belia itu. Cantik-iya, pintar-sudah jelas, sopan dan lemah lembut-tak diragukan lagi. Benar-benar sempurna.

Mereka bahkan tak menyangka gadis baik-baik seperti Mitha bisa bertemu dengan Yoga. Bagaimana bisa? Dimana mereka dulu berkenalan?

Yah, meskipun bukan berarti Yoga bukanlah pria baik-baik, namun melihat lingkup pergaulan mereka jelas hal yang sangat aneh jika Mitha sampai berkenalan dengan Yoga.

Yoga adalah pria dewasa berusia tiga puluh tahun yang sudah matang. Lingkup pergaulannya tentu saja dengan orang-orang seumurannya juga. Selama ini kekasih yang Yoga miliki adalah wanita dewasa berparas cantik yang terlihat berkelas dan juga modern. Bukan anak sekolahan seperti Mitha yang polos yang memakai lipstik saja mungkin belum pernah.

Makanya saat mengetahui hal itu. Bu Nisa dan pak Pandu mengira selera Yoga sudah berubah dan ingin lebih serius menata hidupnya. Namun kini semuanya lenyap. Yoga tetap dengan gaya hidupnya seperti sedia kala dan Mitha hanya mengurung diri di rumah dan dengan sabar menanti suaminya. Menanti suaminya yang pergi entah kemana sepulang kerja.

"Ya sudah kalau begitu. Biar nanti ke dokternya sama mama aja ya. Mama juga pengen lihat sudah sebesar apa cucu mama di sini," bu Nisa mengusap perut buncit Mitha perlahan.

"Mama nggak repot kalau nganterin Mitha? Mitha nggak apa-apa kok berangkat sendiri."

"Nggak. Mama nggak ada kegiatan juga kok. Kamu tenang aja, nanti sepulang dari dokter kita cari baju-baju kamu ya. Perut kamu sudah semakin membesar, kamu perlu baju baru lebih banyak lagi." Mitha mengangguk sambil mengucapkan terima kasih. Ia merasa begitu beruntung mempunyai mertua seperti orang tua Yoga.

Mereka mau menerima keadaannya dengan lapang dada. Orang tuanya saja masih belum mau membuka hati untuk Mitha. Aib itu begitu besar Mitha torehkan di wajah mereka.

Mitha ingat saat orang tuanya tahu bahwa dirinya berbadan dua, papanya seketika menarik ikat pinggang yang dipakainya. Menggunakannya untuk mencambuk tubuh kurus Mitha. Sekali, dua kali, tiga kali cambukan itu ia rasakan. Namun ternyata tak jua berhenti hingga entah ke berapa kali. Mitha tahu itulah akibat dari kesalahannya. Ia patut mendapatkannya. Bahkan mamanya hanya menangis meraung tanpa mau menolongnya. Kedua kakak laki-lakinya hanya bergeming dan terlihat murka.

Malam itu juga, setelah kesakitan yang luar biasa papanya menyeretnya ke rumah Yoga. Menyuruh laki-laki itu bertanggung jawab atas perbuatan biadabnya. Dan tak lupa beberapa pukulan dari kakak-kakaknya juga sempat melayang di wajah tampan Yoga.

Pukulan atas sakit hati seorang kakak yang kehilangan adik kesayangannya. Adik yang sedari dulu mereka jaga selayaknya porcelen langka. Adik yang begitu di banggakan kepada seluruh dunia.

"Mitha," sebuah suara lembut mengusik lamunan Mitha yang berkelana. Ia tergeragap menyadari panggilan dari ibu mertuanya.

"Kamu jangan kepikiran terus ya. Ingat kesehatan kamu dan cucu mama. Kami semua menyayangi mu, nak. Meskipun Yoga sering berkata kasar namun, mama tahu. Dia juga mencintai mu," hibur bu Nisa. Senyum teduhnya seketika menular kepada menantunya.

"Mitha tahu, hal itu, Ma. Mama jangan terlalu khawatirin Mitha ya. Mitha baik-baik aja kok," ya ia akan baik-baik saja. Ia yakin itu.

###

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel