BAB. 2 Sedingin Es
"Semuanya telah selesai, Papi!" seru Peter lantang.
"Maksud kamu, apanya yang telah usai?" tanya Tuan Theo penasaran.
"Semua telah berakhir! Aku jamin, ini yang terakhir kalinya aku tersakiti karena wanita, Papi. Untuk kedepannnya aku tidak akan mau mengenal wanita manapun lagi. Aku juga sudah bertekad untuk melajang seumur hidupku! Aku akan menikmati rasa sakit itu sendiri." tegas Peter lagi.
"Apa? Kamu jangan bercanda begitu, Peter!" Kali ini justru ayahnya yang kaget dengan pernyataan sang putra.
"Papi tidak akan pernah setuju. Masa kamu mengambil keputusan yang sangat ekstrim?"
"Keputusan ekstrim apa maksud Papi?" tanya Peter lagi. Dia sepertinya pura-pura tidak tahu.
"Yang kamu katakan barusan, akan melajang seumur hidup. Papi tidak setuju dengan itu." ujar sang ayah khawatir kepada putra semata wayangnya.
"Keputusanku sudah bulat, Papi." ujarnya Peter lagi.
"Peter, jika kamu betah melajang sampai tua. Siapakah nantinya yang akan menjadi penerus keturunan keluarga Jacob? Kamu jangan asal ambil keputusan seperti itu! Kamu harus tahu jika hanya kamu satu-satunya yang berhak meneruskan generasi Keluarga Jacob berikutnya! Pokoknya apapun yang terjadi. Papi tidak setuju dengan keputusanmu itu!" sergah Tuan Theo kepada anaknya.
"Papi, Please. Tolong jangan goyahkan pendirianku kali ini! Tekadku sudah bulat. Aku tidak mau kecewa lagi! seru Peter lantang.
Tuan Theo menjadi terdiam. Putranya sungguh keras kepala.
"Ini tidak bisa dibiarkan! Aku harus segera memberitahukan hal ini kepada Neira!" gumam Tuan Theo dalam hati.
Lalu Peter pun terlihat bersiap-siap hendak ke luar dari ruangannya.
"Kamu mau ke mana?" tanya sang ayah.
"Sebentar lagi aku ada meeting dengan klien di luar kantor, Pi. Jadi aku mau bersiap-siap dulu." ujarnya lalu beranjak ke luar dari ruangannya.
Setelah Putranya ke luar dari ruangan itu, Tuan Theo segera menelpon sang istri.
Nyonya Neira :
"Halo, Pi. Ada apa kamu menelepon Mami?"
Tuan Theo :
"Halo, Mi! Gawat ... Mami!"
Nyonya Neira :
"Apanya yang gawat sih, Papi? Mami lagi sama teman nih."
Tuan Theo :
"Ini tentang Peter, Mami!"
Nyonya Neira :
"Memangnya Peter kenapa, Pi? Apa dia membuat masalah lagi?"
Tuan Theo :
"Pokoknya aku tunggu Mami di rumah, sekarang! Secepatnya Mami pulang, ya!"
Lalu panggilan telepon itu pun diakhiri oleh Tuan Theo.
"Kenapa jeng? Kok sepertinya ada hal penting?" Tanya Nyonya Dira kepada sahabatnya.
"Nggak tahu tuh jeng. Suamiku menyuruhku untuk pulang cepat. Katanya ada hal penting tentang Peter yang ingin dia bicarakan denganku."
"Oh gitu ya, Jeng? Ngomong-ngomong Nak Peter apa kabar, Jeng? Apakah sudah punya calon pendamping, belum?" selidik nyonya Dira.
"Sepertinya belum punya calon, jeng. Peter malah sering dikhianati sama perempuan."
"Wah kasihan banget. Semoga Nak Peter mendapatkan jodoh yang baik ya, Jeng?" seru Nyonya Dira.
"Ya harapan kita sebagai orang tua tentunya ingin yang terbaik untuk Peter. Kalau Farah kabarnya bagaimana?" Kali ini Nyonya Neira yang balik bertanya.
"Farah sebentar lagi akan wisuda, Jeng. Mungkin bulan depan wisudanya."
"Wah tak terasa ya, Jeng. Anak-anak kita sudah pada besar semua." ucap Nyonya Neira.
"Benar, Jeng. Umur kita juga semakin bertambah. Tapi kita jangan sampai tua-tua banget deh! Harus pintar merawat diri," tutur Nyonya Dira kepada sahabatnya.
"Iya, Jeng. Benar itu. Oh ya, Jeng. Bagaimana dengan Farah? Apakah Farah sudah memiliki kekasih?" tanya Nyonya Neira.
"Wah, soal itu saya kurang tahu, Jeng. Farah anaknya tertutup banget dan rada pendiam gitu. Tapi sepertinya tidak ada, deh." sahut Nyonya Dira.
Dering telepon Nyonya Neira kembali terdengar lagi. Di layar ponsel ada nama suaminya.
"Jeng, sepertinya aku harus pulang duluan nih. Suamiku menelepon lagi," ujarnya dengan wajah memelas.
"Iya, Jeng. Nggak apa-apa kok. Sebentar lagi, Zack juga akan menjemputku."
"Oh ya, bagus deh kalau begitu. Salam buat Mas Zack ya, Jeng. Kapan-kapan kita ngumpul bareng, deh. Sambil membawa keluarga kita masing-masing." seru Nyonya Neira
"Wah ide bagus tuh, jeng! Patut dicoba." Setelah selesai berbasa-basi ria. Nyonya Neira segera ke luar dari salon itu. Dan berjalan menuju parkiran di mana sang sopir sedang menunggunya dari tadi.
Nyonya Neira pun masuk ke dalam mobil.
"Kita ke mana, Nyonya?" tanya sang sopir.
"Langsung pulang saja, Pak." titahnya kepada sang sopir.
Sesampai di rumah. Nyonya Neira pun melihat jika suaminya sedang berjalan mondar-mandir di ruang keluarga. Dia pun menjadi bingung melihat tingkah suaminya itu.
"Papi, aku pulang," ujar Nyonya Neira senang. Lalu menghempaskan tubuhnya di sofa.
Tuan Theo segera menatap ke arah istrinya dengan pandangan datar.
"Kamu kenapa sih, Pi? Dari tadi aku melihat kamu jalan mondar-mandir terus. Memangnya apa yang sedang kamu pikirkan?" tanya sang istri kepada suaminya.
"Mami! Gawat, Mi! Ini sangat serius! ucapnya tiba-tiba.
"Gawat? Apanya yang gawat sih, Pi? Kamu yang jelas dong kalau ngomong. Oh ya, bagaimana penampilan Mami setelah ke salon? Makin cantik nggak, Pi?" seru Nyonya Neira meminta pendapat suaminya.
"Mami! Kita fokus dulu! Kamu kok terlihat santai, sih?" ucap Tuan Theo lagi.
"Maksud kamu apa sih, Papi? Tolong dong jangan mutar-mutar. Kepalaku bisa pusing. Aku hanya minta kamu memuji penampilanku. Tapi kamu malah seolah-olah tidak peduli!" Nyonya Neira pun mulai kesal kepada suaminya.
"Penampilanmu tetap cantik, Mami. Itu tidak diragukan lagi." puji Tuan Theo.
"Akan tetapi ada yang lebih penting dari itu sekarang!" serunya lagi.
"Duh, Papi! Kamu bikin aku sewot deh! Dari tadi bilang gawat, penting dan lain-lain tapi kamu tidak menyebutkan apa itu yang gawat dan penting!" kesal Nyonya Dira.
"Itu karena aku terlalu kaget, Mami! Aku tidak bisa berkata-kata lagi!" ujarnya tak kalah sengit.
"Papi, lihat aku!" ucap Nyonya Neira mendekat kepada suaminya.
"Coba sekarang Papi tarik napas dalam-dalam." Dengan cepat Tuan Theo mengikuti perkataan istrinya.
Suaminya pun menarik napasnya dan tidak lupa, dia menghembuskannya kembali.
"Nah sekarang ceritakan, apakah hal gawat itu?" tanya Nyonya Neira penasaran.
Tuan Theo pun mulai menceritakan keputusan putra mereka, Peter yang tidak ingin mengenal wanita lagi di dalam hidupnya.
"Apa? Papi jangan bercanda dong? Bukannya tadi pagi Peter sudah kembali masuk kantor, Pi? Bahkan tadi Leon memperlihatkan saat Peter sedang memimpin meeting di kantor." ucap sang istri.
"Iya, Mi. Memang benar Peter sudah masuk kantor. Bahkan tadi kami sarapan bersama."
"Terus kenapa Peter sampai berkata hal seperti itu?" tukas Nyonya Neira.
"Peter sama sekali tidak bercanda mengatakan itu, Mami. Dia mengatakannya dengan serius. Makanya Papi langsung menelpon Mami tadi." ucapnya lagi.
"Kalau begitu, kita harus mencari informasi dari Leon! Mami yakin, Leon pasti mengetahui sesuatu." tutur Nyonya Neira lalu menelepon Asisten Leon.
Sementara itu, Peter saat ini melajukan mobilnya di sebuah klinik tempat kerja sahabatnya. Setelah menempuh beberapa waktu dalam perjalanan, akhirnya dia sampai juga.
Peter turun dari mobil sport keluaran terbaru miliknya. Banyak mata melirik penampilannya yang sungguh tampan itu. Ada beberapa orang perempuan yang menatapnya dengan kekaguman yang hakiki karena wajahnya yang sangat tampan.
Namun sayangnya, Peter mengabaikan semuanya. Dia sama sekali tidak peduli dan masa bodoh. Setelah masa pelariannya selama hampir satu bulan lamanya. Peter telah mengambil tekad untuk mulai bersikap cuek dan dingin terutama dengan para wanita.
"Selamat pagi," ujarnya datar kepada seorang perawat yang sedang berjaga di klinik itu.
"Selamat pagi, Tuan Muda," sapa perawat itu.
"Saya mau bertemu dengan dokter Ridwan," ucapnya dingin.
"Apakah Anda sudah buat janji sebelumya, Tuan?"
"Cih, memangnya saya perlu buat janji dulu?" Peter mulai membangun sifat dinginnya dan perawat ini adalah kelinci percobaannya pertama.
"Harus ada janji dulu Tuan, karena dokter Ridwan sedang sangat sibuk saat ini. Terlebih saat ini Beliau sedang menangani seorang pasien." Jawab perawat itu mulai jengkel dengan sifat arogan yang ditampilkan oleh Peter.
"Katakan saja jika Peter Jacob ingin bertemu dengannya!" serunya sambil menatap tajam ke arah perawat itu.
"Ganteng-ganteng tapi galak!" gumam sang perawat.
"Anda mengatakan apa barusan?" tatapnya semakin tajam kepada perawat itu.
