Bab 3 Badai Tengah Malam
Bab 3 Badai Tengah Malam
Sudah lewat jam 12 malam saat Riana terjaga dari tidurnya. Sarman dalam balutan selimut, tanpa baju tampak kelelahan dalam tidurnya. Riana mengusap wajah suaminya penuh cinta, sebelum akhirnya turun dari ranjang dan keluar kamar.
Listrik telah padam, Riana mengambil lampu minyak yang tergantung di dinding ruangan keluarga. Kakinya berjalan pelan, takut-takut timbulkan suara yang dapat membangunkan Sarman. Dia berjalan ke dapur, menuang teko berisi air yang ada di atas meja makan ke dalam gelas kaca warna hijau. Dia minum segelas penuh dalam sekali teguk. Entah jam berapa keduanya tertidur, Riana lupa.
Ada kilatan disusul suara gemuruh tampak menembus sela-sela dinding yang kurang rapat. Riana tersadar kalau hari masih tengah malam. Berikutnya terdengar suara pohon-pohon bambu saling bergesekan, dan ujung atap Rumah bergelodekan tertiup angin. Tampaknya hujan deras akan segera turun. Riana cepat-cepat menuangkan air dalam gelas untuk ia bawa masuk ke kamar.
Pikirannya mulai tak nyaman, ada sekelebatan dalam kepalanya yang timbul di belakang tubuhnya, juga pintu kamar Nenek yang remang terlihat dari tempatnya berdiri. Tangannya mendadak tak kokoh, dan getaran yang ditimbulkan membuat air yang ia tuang tumpah sedikit ke atas meja.
"Tidak ada apa-apa," serunya dalam batin.
Perlahan, Riana meletakan teko air ke atas meja, mengambil lampu minyak dengan tangan kiri, sebelumnya ia letakan dekat penutup makanan. Sementara itu tangan kanan Riana menggenggam gelas berisi air. Dia mulai berjalan kembali ke kamar.
Sebenarnya berjalan ke dapur atau toilet tengah malam seperti ini biasa Riana lakukan, namun entah mengapa mimpi tadi sore membuatnya berspekulasi yang tidak-tidaķ seperti baru-baru tinggal di Rumah ini. Batinnya tidak tenang dan berpikir sesuatu mengganggu di dekatnya.
Langkahnya terhenti tepat di depan pintu kamar Nenek. Kakinya menginjak sesuatu seperti kertas. Sejak kecil Riana memang memastikan kertas-kertas yang berserakan atau akan di buang merupakan kertas bekas dan tak berguna. Sambil memiringkan lampu minyaknya, Riana memperhatikan kertas apa yang baru dipijak. Dahinya mengernyit, itu hanya kertas putih dengan tulisan tangan yang dia hafal bentuk masing-masing hurufnya. Seharusnya kertas itu tidak ada di situ. Riana ingat telah meletakannya di antara tumpukan majalah di bawah Tv.
Riana berpikir sejenak, apakah dia salah ingat. Tidak, dia yakin betul telah meletakan surat itu di sana. Sementara batinnya mencari alasan, dari balik jendela ruang serba guna tampak petir menyambar dan hutan bambu di luar sana menggila. Suaranya membuat Riana ingin cepat-cepat kembali ke kamar. Ditinggalnya surat itu begitu saja. Dia berpikir positif, kemungkinan besar kertas itu tertiup angin yang masuk entah bagaimana.
Kelegaan mengusainya begitu sampai kamar. Diletakannya lampu minyak dan gelas di meja samping ranjang, kemudian menutup pintu. Sarman terbangun karena tanpa sengaja Riana membanting pintu lumayan kuat. Suara gemuruh terdengar keras bersamaan kilatan terang dari luar, Sarman dapat melihat wajah istrinya yang terkena pantulan kilatan tersebut.
"Aman?" Tanya Sarman memperhatikan wajah istrinya yang tampak dalam keremangan.
Riana mengangguk cepat, lalu lompat ke atas tempat tidur, memeluk suaminya erat-erat. Sarman agak bingung, tapi rasa kantuk yang menguasainya membuat pria itu kembali tertidur sembari memeluk istrinya dengan satu lengan. Riana tak lantas tertidur, matanya terpejam, tapi otaknya berpikir.
Hujan pun menghujam Bumi dengan suara gaduh yang semakin membuat Riana tidak tenang. Banyak kenangan berusaha ia ingat dan pikirkan untuk mengalihkan sugesti negatif mengenai mimpinya dan kamar Nenek yang pada hari-hari biasa terasa dingin dan sunyi.
Petir menyambar-nyambar sepuasnya, seolah membalas keabsenannya selama beberapa minggu belakangan. Kegaduhan dan suara-suara di balik badai malam itu memperparah kecemasan Riana. Sampai pada ingatan mengenai Ibu-ibu menyebalkan di pasar tadi pagi. Rupanya Riana menaruh kekesalan cukup besar terhadap wanita separuh baya yang telah menghabiskan waktu lebih dari separuh hidupnya membesarkan anak berjumlah 5 orang.
Kini Riana ingat nama wanita itu adalah Nur, orang-orang memanggilnya Bu nur. Dia tinggal di samping masjid agak jauh dari rumah ini. Riana tidak kenal secara langsung dengan Bu Nur, pertama ketemu adalah saat Nenek meninggal 6 tahun lalu. Bu Nur sedang hamil anak kelima dan dia bertanya pada Ibu kenapa menantunya yang dari kota belum juga hamil. Risih, Ibu sedikit mempermalukan Bu Nur atas jumlah anak yang dimilikinya. Riana kurang tahu bagaimana mulanya, yang jelas sejak hari itu Bu Nur seperti antagonis setiao bertemu anggota keluarga Sarman. Wanita itu juga menganggap tidak kunjung hamilnya Riana merupakan kutukan.
Belakangan perbuatan Bu Nur semakin intens mengganggu pikiran Riana. Beberapa tetangga menanyakan kebenaran atas kebohongan-kebohongan yang Bu Nur cipta dan kreasikan menjadi bahan bisik-bisik tetangga. Contohnya seperti minggu lalu, Salma si pengantin baru diceritakan oleh Bu Nur kalau tidak kunjung hamil sampai setahun pernikahan akan sulit dan terkena kutukan yang sama dengan Riana. Hal itu membuat perasaan Riana terluka semakin dalam. Dia ingin membalas wanita itu, tapi setelah dipikir-pikir gunanya tak begitu besar.
Saking kesalnya Riana, dia memukul bahu Sarman yang tertidur. Sarman kaget dan terbangun dengan wajah bingung. Riana baru menyadari apa yang telah ia perbuat, tertawa kecil. Dia kembali memukul Sarman, kali ini pukulan kecil yang Sarman anggap menggoda.
"Sekarang?" Tanya Sarman dengan senyum jahil, membuat Riana memukulnya sekali lagi, agak keras sehingga Sarman meringis. "Sakit, tuh."
Riana terkekeh melihat wajah suaminya yang kesakitan dalam keremangan. Diciumnya pipi kiri Sarman. Suaminya membalas dengan ciuman agak liar di pipi kiri dan kanan Riana. Dia memeluk istrinya dengan dua tangan, dan sesuatu membuat Riana terkejut karena menyentuh bagian tubuhnya dengan tiba-tiba.
"Udah tidur aja, besok kerja," kata Riana mengingatkan.
"Sekarang pun boleh kerja," ledek Sarman yang kini mendekap istrinya penuh kehangatan. "Hujan nih,"
"Ya, pake bajunya. Dingin, ‘kan bang?" Riana menyambar kaos abu-abu Sarman yang tergeletak di lantai, melemparnya ke wajah Sarman yang hendak mencium Riana lagi.
Riana tersenyum, suaminya menggelitik perut Riana, membuat perempuan itu tertawa. Dicubitnya perut Sarman yang keras, sekali lagi suaminya meringis dan Riana tertawa. Karena geram dan tak ingin membuang masa, Sarman beranjak dari tidurnya, menopang tubuh dengan kedua tangannya yang kokoh. Riana memandang wajah suaminya yang saat itu tampak lebih tampan dari sebelumnya.
Riana merasakan suara gaduh teredam, matanya menyala, memantulkan kobaran api dari dalam diri. Sarman mendekatkan tubuhnya perlahan, sebelum mengecup mesra istrinya yang menerima segala perlakuan suaminya.
Lampu minyak entah bagaimana, padam. Riana tak merasa takut meski kegelapan menguasai kamar. Udara dingin yang dirasakan sebelumnya berganti menjadi kehangatan seperti madu yang baru dipanen; lembut, lembab, dan memenuhi dada dengan sensasi hangat menyenangkan. Riana menutup matanya, sementara Sarman memberikan kebahagiaan yang selalu istrinya sukai. Waktu itu berlalu dengan sendirinya, dan mereka berdua berkeringat saat badai mereda serta Sarman menyelesaikan kehangatan yang ia berikan pada istrinya.
Riana menghela napas, mengaturnya agar kembali normal. Hujan belum reda sepenuhnya, suara rintik mengundang tanya apakah pagi akan cepat datang.
Tok... tok... tok...
Terdengar suara pintu diketuk lembut. Seseorang yang tak asing mengucap salam, suaranya hampir seberat suara Sarman, namun mengandung nada naif dan agak terdengar seperti nada bicara pria terdidik. Riana terkejut awalnya, jantungnya berdebar karena ini tengah malam hujan. Untuk sesaat dia pikir sugesti dalam kepalanya mulai lagi. Tapi, Sarman menatapnya dalam kegelapan.
Sarman beranjak, berseragam dengan cepat, sementara dia menyalakan lampu minyak, Riana merapikan diri. Keduanya berjalan ke ruang Tamu. Setelah memastikan benar-benar ada orang di luar sana, Sarman membuka pintu. Riana yang sembunyi di balik tubuh suaminya harap cemas saat suara pintu berderit terbuka perlahan.
Ketika terbuka lebar, seorang perempuan muda langsung memeluk Sarman dengan tangisan tertahan. Petir menyambar sekali, wajah mereka kelihatan. Itu adalah Tika adik Sarman, dan Doni adik Riana berdiri di belakangnya.
"Tika, kenapa?" tanya Sarman bingung. Begitu juga Riana.
Sekolah Tika memang akan libur selama sebulan kedepan karena Puasa, dan Doni memang ditugaskan untuk mengantar Tika. Tetapi, tengah malam seperti ini bukanlah waktu yang tepat mengantar gadis itu kembali dengan tangisan.
"Don, ada apa ini?" tanya Riana yang kini bergeser ke sebelah Sarman.
"Kita masuk dulu, boleh?" ujar Doni dengan nada agak kesal.
Riana berjalan lebih dulu, meletakan lampu minyak di sebelah bunga plastik.Tika tampak terguncang dan terus berada di ketiak Abangnya. Sementara Sarman kebingungan, menenangkan adik semata wayangnya, Doni menutup pintu dan bergabung dengan yang lainnya, duduk di kursi rotan.
Doni duduk di kursi tunggal, suaranya keriat-keriut ketika di duduki. Semua memandang ke arah Tika, termasuk Riana yang duduk sendiri di kursi berukuran sedang. Dia menyatukan buku-buku jarinya bertemu, melipat siku dan menopang wajahnya dengan kedua kepal tangan.
"Doni, ada apa ini?" Sarman yang bertanya setelah sesaat hening.
Selama tiga tahun terakhir Tika tinggal di rumah Orangtua Riana, di kamar lama Riana yang nyaman dan dihiasi wallpaper bunga-bunga kecil. Tika betah tinggal disana, tak ada selentingan apapun selama ini. Tidak mungkin sesuatu terjadi di rumah, pikir Riana dengan keyakinan penuh.
"Sudah tiga hari Tika sakit. Tadi sore Mama bawa Tika ke dokter..." Doni terhenti, matanya tak tenang sambil melihat Tika yang terisak dan menyembunyikan wajahnya dengan rambut lurus panjangnya.
"Lalu?" Tanya Riana ingin tahu.
"Tika hamil," tuntas Doni.
Sarman terkejut. Tubuhnya bergeser, dan dia menatap wajah Doni. Semua diam, bahkan isakan Tika meredam saking takutnya. Doni mengira Tika pingsan sekarang. Riana melepaskan kedua tangannya, tidak tahu harus apa. Petir menyambar sekali lagi, kilatnya menembus puri gorden warna cream. Hujan kembali deras, saat itu Sarman beranjak dari kursinya saking bingung harus berbuat apa.
