Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

4

"Teh Lilis baru pulang kampung, ya?" tanyaku karena beberapa hari dia tidak pernah menyetop Mie Ayam ku dan tidak terlihat sama sekali. Aku kehilangan pelanggan yang paling aku tunggu.

"Iya Jang, nengok Abah dan Ambu di kampung. Maklum sudah lama tidak mudik. Ini Jang, ada sedikit oleh oleh, ada beras hasil panen dan dodol garut.." jawab Lilis, suaranya yang halus begitu merdu. Sungguh beruntung Pak Budi mempunyai isteri secantik dia, apakah aku juga akan mempunyai keberuntungan seperti yang dimiliki Mas Gatot dan Pak Budi yang mempunyai istri cantik? Mimpi.

"Nggak usah repot, Teh. Pake acara ngasih oleh oleh.” Kataku tersenyum senang dan menerima bungkusan oleh oleh yang diberikannya kepadaku, tanpa sengaja tangan kami saling bersentuhan, tangannya begitu halus. Aku menaruh bungkusan di gerobakku.

“Kamu sendiri sudah pulang kampung belum? Kamu kapan bikin mie ayamnya? Perut Teh Lilis sudah lapar, nich.” Kata Teh Lilis menyadarkanku dari pesona yang dimilikinya.

“iya Teh, lupa. Teh Lilis sich ngajak ngobrol terus..” kataku tersipu malu, ternyata dari tadi yang kulakukan adalah menaruh minyak dan bumbu ke dalam mangkok sementara mie belum aku masukkan ke dalam panci yang berisi air mendidih. Pesona Lilis membuatku melupakan tugas sebagai penjual mie ayam, hal yang sama lernah terjadi saat aku memulai berjualan mie ayam, Lilis adalah orang pertama yang membeli mie ayamku. Andai aku punya istri secantik dia, hidup akan terasa lebih indah.

" kok malah aku yang disalahin? Salah sendiri kamu melihat ke arahku terus. Hihihi jadi ingat pertama beli mie ayam kamu, aku disuruh bikin mie sendiri." kata Lilis membuatku tertawa geli.

"Hari senin aku mau pulang dulu, Teh." kataku sambil terus mengaduk Mie yang berada di panci. Sesekali aku melirik ke Lilis yang berada di sampingku, sangat dekat sehingga aku bisa mencium aroma tubuhnya yang harum, padahal aku tahu itu bukan harum dari parfum yang dipakainya. Itu bau dari tubuhnya.

"Kok nggak ngajak ngajak, Jang?" tanya Lilis sambil menambahkan sedikit sambal ke dalam mangkok sehingga tangannya kembali bergesekan dengan tanganku.

"Nggak kuat modal, Teh..!" jawabku bercanda, aku sudah terbiasa bercanda dengannya.

Modal buat apa, Jang?" tanya Lilis heran.

"Buat ngelamar Teh Lilis!" jawabku diakhiri tawa geli walau sebenarnya tidak lucu.

“kamu ada ada saja. Kamu anak ke berapa, Jang dari berapa saudara?” tanya Lilis, pertanyaan yang sudah sering ditanyakannya hingga aku bosan menjawab. Kecantikan yang dimilikinya ternyata tidak berimbang dengan kecerdasan otaknya, apa mungkin dia telmi? Sehingga tidak mampu mengingat jawaban dari pertanyaan yang sudah sangat sering dia tanyakan. Tidak bisakah dia mengajakku mengobrol topik lain yang lebih menyenangkan.

Pada waktu yang telah ditentukan tepatnya hari senin, kami bertemu di stasiun Tanah Abang, sengaja kami tidak berangkat bareng dari rumah untuk menghindari kecurigaan para tetangga padahal bisa saja kami bertemu di stasiun Bogor. Aku tiba terlebih dahulu,30 menit lebih awal, aku menunggu gelisah hingga akhirnya Mbak Wati datang dengan diantar Mas Gatot yang tersenyum melihatku dari kejauhan.

Hampir saja aku tidak mengenal Mbak Wati karena penampilannya yang jauh berbeda dengan penampilannya sehari hari. Mbak Wati berpakaian muslim dengan menggunakan gamis lebar yang menyembunyikan kesintalan tubuhnya dan jilbab warna pink, senada dengan baju gamis yang dikenakannya. Kecantikannya semakin menonjol, beberapa pria jelas jelas melihat ke arah Mbak Wati mereka pasti terpesona oleh kecantikannya. Aku tersenyum senang, merka pasti tidak akan menyangka Mbak Wati akan menjadi milikku selama beberapa hari ke depan. Ya, dia akan menjadi milikku untuk sementara waktu.

" Aku titip istriku ya, Jang. Santai saja tidak usah tegang. Di Kemukus ritualnya nikmat, kamu boleh ngentotin istriku sampai puas, dijamin kamu akan ketagihan memek istriku yang bisa empot ayam. " bisik Mas Gatot membuatku risih, suara Mas Gatot terdengar riang saat mengucapkan hal itu.

"Kamu ini Mas, di temapt umum ngomong begitu.!" kata Mbak Wati mengomel,

"Iya Dek, maaf. Akukan ngomongnya pelan." jawab Mas Gatot membela diri.

"Ya sudah kamu pulang, nanti kemalaman sampe rumah." kata Mbak Wati mengusir Mas Gatot.

"Kita masuk, Jang ; " ajak Mbak Wati sambil menepuk pundakku. Aku menoleh mencari Mas Gatot yang sudah menghilang entah ke mana.

"Mas Gatot, cepet amat jalannya?" tanyaku heran karena tidak melihat Mas Gatot.

"Emang begitu Mas Gatot.. Biruan Jang, kita masuk biar dapat tempat duduk." kata Mbak Wati sambil menarik tanganku memasuki peron stasiun, reflek aku mengambil ransel dan tas Mbak Wati mengikutinya memasuki stasiun. Kami harus bergegas memasuki kereta agar dapat tempat duduk. Tidak seperti sekarang, jumlah penumpang disesuaikan dengan jumlah bangku yang ada. Kami harus berebutan mencari tempat duduk yang tidak bisa dikatakan nyaman dan kalau kami kehabisan bangku, kami harus rela duduk di lantai beralaskan koran, bahkan ada beberapa orang yang sengaja membawa tikar dari rumah.

Ternyata benar apa yang dikhawatirkan Mbak Wati, kami tidak dapat tempat duduk. Terpaksa kami duduk di pintu dekat dengan toilet yang bau. Mbak Wati menyuruhku mengunci pintu kereta agar tidak ada yang masuk dan membuat kami terganggu. Aku hanya mengangguk patuh mengikuti perintahnya. Aku belum pernah naik kereta ke Jawa, jadi aku menyerahkan semuanya ke Mbak Wati yang sudah sangat hafal situasi yang harus kami hadapi. Mbak Wati segera menggelar koran yang dibawanya untuk alas duduk. Kami duduk berdempetan beralaskan koran, Mbak Wati memilih duduk dekat pintu sehingga terbebas dari orang yang berlalu lalang dan menyenggol bagian tubuh.

" Tangan kamu dingin, Jang ! Jangan tegang begitu, kaya yang belum pernah ngentot saja.!!" bisik Mbak Wati berusaha mencairkan ketegangan yang terlihat jelas dari raut wajahku.

"Jangankan ngentot, pegang tangan perempuan baru tangan Mbak. " jawabku jujur., aku malu mengatakannya. Dibandingkan dengan teman temanku yang begitu bangga menceritakan pengalaman mereka mojok dengan cewek yang baru dikenalnya atau dengan pacarnya. Pengalaman yang membuatku merasa iri karena tidak bisa seperti mereka yang dengan mudah mendapatkan pacar atau teman mojok.

"Wah, aku beruntung dong, bisa dapet perjaka kamu. " Mbak Wati mengecup pipiku, seolah olah tidak ada orang di sekeliling kami, membuatku malu. Karena ada beberapa orang yang berada di pintu seberang yang jelas jelas melihat ke arah kami. Masa bodoh dengan pandangan iri mereka yang melihatku mendapatkan ciuman dari seorang wanita cantik.

Kereta Pun mulai jalan, pelan lalu semakin cepat meninggalkan stasiun Tanah Abang. Tubuh kami terguncang, Mbak Wati semakin merapatkan tubuhnya bersandar padaku. Hangat dan lunak ditambah aroma tubuhnya yang alami tanpa parfum membuatku gelisah, aku memberanikan diri merangkul pundaknya. Mbak Wati menyandarkan kepalanya di pundakku, membuat jantungku semakin berdegup kencang dan kontolku bergerak bangun dari tidurnya.

“Sampai Solo jam berapa, Mbak?” tanyaku sambil menghisap rokok kretek kesukaanku sekedar mengusir rasa gelisah karena tubuh Mbak Wati yang menyender padaku. Aku ingin memeluknya, keinginan yang aku pendam.

“Kalau lancar, jam tujuh juga sudah sampai, kalau telat ya bisa jam 9 kita sampai.” jawab Mbak Wati sambil memeluk tanganku sehingga menempel pada payudaranya yang empuk dan hangat, membuat kegelisahanku semakin memuncak. Apakah Mbak Wati akan memelukku seperti ini sepanjang perjalanan ke Solo?

Lama juga, pikirku. Aku melihat ke arah Mbak Wati yang memejamkan matanya, tanpa sadar aku mencium kepalanya. Tak lama, Mbak Wati tertidur di sampingku. Cantik, Mas Gatot benar benar beruntung mendapatkan istri secantik Mbak Wati, akupun sepertinya beruntung sebentar lagi bisa menikmati tubuhnya.
Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel